Sikap Umar Bin Khattab tentang Khalid
Khalid bin Walid sudah berhasil menumpas pembangkangan Banu Asad, dan sekarang ia pindah dari perkampungan mereka ke Butah menumpas kaum pembangkang Banu Tamim. Pemirrrpin mereka, Malik bin Nuwairah terbunuh dan dia yang kemudian mengawini istrinya, menyalahi adat kebiasaan orang Arab yang harus menghindari perempuan selama dalam perang. Abu Qatadah al-Ansari begitu marah atas pembunuhan Malik bin Nuwairah itu setelah menyatakan keislamannya.
Dia menduga itu suatu muslihat Khalid saja untuk dapat mengawini Laila yang cantik. Disebutkan bahwa konon ia memang sudah mencintainya sejak masa jahiliah dulu. Abu Qatadah dan Mutammam bin Nuwairah saudara Malik segera pergi ke Medinah dan menemui Abu Bakr dengan melaporkan segala yang dilihatnya itu. Tak lebih Abu Bakr hanya membayar diat (tebusan) atas kematian Malik, dan menulis surat agar tawanan dikembalikan. Tetapi ia tak habis heran mengapa Abu Qatadah sampai menyerang atau menuduh Khalid. Abu Qatadah membicarakan soal ini dengan Umar bin Khattab dan Umar mendukung pendapatnya. Keduanya menyerang dan mengecam Khalid. Kemudian Umar menemui Abu Bakr dan befkata dengan nada marah. "Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya," katanya.
Ketika Umar tetap mendesak, ia berkata: "Ah, Umar Dia sudah membuat pertimbangan tetapi meleset. Jatiganlah berkata yang bukan-bukan tentang Khalid." Umar tidak puas dengan jawaban itu dan tiada henti-hentinya ia menuntut agar Khalid dipecat. Melihat desakan yang demikian Khalifah kesal juga. "Umar," katanya kemudian, "saya tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan terhadap
orang-orang kafir!" Jawaban tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakr tak akan memecat Khalid.
orang-orang kafir!" Jawaban tegas ini tentu sudah menunjukkan bahwa Abu Bakr tak akan memecat Khalid.
Adakah dengan itu Umar sudah merasa puas bahwa dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai pehasihat dan sesudah itu ia harus mengalah kepada pendapat Khalifah dan jangan sampai membuat kecurigaan orang kepadanya? Tidak! Umar tetap marah besar terhadap Khalid dan mengecamnya sampai begitu keras.
Dikumpulkannya Mutammam, Abu Qatadah dan beberapa orang lagi. Dimintanya Mutammam membacakan syairnya yang meratapi Malik, la memperlihatkan simpatinya kepada Mutammam dan pada syair yang dibacanya itu. Bagaimana Umar akan merasa senang dan diam begitu saja melihat orang membunuh seorang Muslim lalu mengawini istrinya, padahal ia harus dirajam! Biar orang ini Saifullah sekalipun. Biar dia paman Umar dari pihak ibu dan sepupu ibunya. Biar dia sudah berjasa menumpas kaum pembangkang!
Soalnya berhubungan dengan disiplin masyarakat serta ketertibannya. Disiplin akan berada dalam bahaya bilamana sudah mulai ada perbedaan dalam memperlakukan manusia. Yang seorang dibiarkan melakukan pelanggaran, yang lain dijatuhi hukuman. Ia tetap tidak puas sebelum Abu Bakr memanggil Khalid ke Medinah, dan Umar pun yakin Khalifah akhirnya akan menyetujui pendapatnya dan memecat jenderal jenius itu. Tetapi ternyata Abu Bakr tidak melakukannya selain hanya memarahi Khalid karena perkawinannya dengan seorang perempuan yang darah suaminya belum lagi kering, di samping tindakannya yang sudah melampaui batas membunuh Malik dan anak buahnya dari kabilah Tamim. Abu Bakr memerintahkan Khalid berangkat ke Yamamah untuk menghadapi Musailimah dan anak buahnya. Ia yakin bahwa Allah akan membantu Khalid dalam menghadapi Banu Hanifah dan akan mendapat kemenangan terus-menerus dan orang akan lupa perkawinannya dengan Laila. Sekalipun begitu Umar tidak beranjak dari pendiriannya mengenai perbuatan Khalid itu dan keharusannya ia dipecat. Kegigihannya ini tampak juga pengaruhnya setelah kemudian ia bertugas sebagai Amirulmukminin. Ketika ia sudah memegang jabatannya itu, tindakan pertama yang dilakukannya memecat Khalid dari panglima pasukan, kemudian ia dipecat dari semua jabatan militer.
Peristiwa ini akan kita uraikan lebih terinci sesuai dengan tempatnya dalam buku ini nanti. Buku-buku sejarah tidak menyebutkan bahwa Abu Bakr pernah berselisih dengan Umar setajam seperti persoalan Khalid ini, perselisihan yang sejalan dengan watak kedua orang itu serta tujuan masing-masing mengenai politik negara. Umar berpendapat bahwa seseorang tak dapat lepas dari dosanya sebelum ia menebusnya. Dengan demikian keadaan akan menjadi stabil dan tertib hukum dapat ditegakkan atas dasar persamaan sejati yang kuat. Buat dia, memaafkan orang-orang penting yang melakukan pelanggaran besar akan sangat berbahaya bagi ketertiban masyarakat. Tetapi Abu Bakr pernah mengatakan bahwa Rasulullah yang memberi julukan Saifullah kepada Khalid, dan kalau daerah-daerah perbatasan di waktu damai harus diperkuat dengan ketidakjelasan hukum, maka waktu dalam keadaan bahaya juga harus diperkuat dengan cara serupa. Ketika Khalid dipanggil pulang oleh Abu Bakr dan diberi teguran keras, saat itulah umat Islam sedang sangat memerlukan Khalid dan kepemimpinannya dalam militer yang jenius itu, melebihi waktu mana sebelumnya. Itu sebabnya Abu Bakr tidak sampai memecatnya. Malah ia dikirim ke Yamamah untuk menumpas Musailimah, kemudian dikirim ke Irak dan berhasil membebaskan wilayah itu. Selanjutnya ia dipindahkan ke Syam sehingga dengan itu Rumawi sudah melupakan bisikan setan.
Bersikerasnya Umar dengan pendapatnya terhadap Khalid itu untuk mencegah timbulnya malapetaka, dan tetap meminta Abu Bakr terus menegurnya. Begitu mendapat kemenangan di Yamamah Khalid kawin lagi dengan seorang gadis. Sekali lagi Abu Bakr menulis surat yang berisi teguran keras dengan mengatakan: "Demi hidupku, ah Umm Khalid! Sungguh Anda orang tak berakal! Anda kawin dengan perempuan itu sedang bercak darah seribu dua ratus Muslim di beranda rumahmu belum lagi kering!" Dilihatnya surat itu oleh Khalid, lalu katanya: "Ini tentu perbuatan si kidal." Dan Umar bin Khattab memang kidal. Setelah membebaskan Irak dan sudah sampai di perkampungan Huzail dan mengikis mereka, ada dua laki-laki yang dibunuhnya, padahal mereka masing-masing membawa surat dari Abu Bakr yang menyatakan keislamannya. Atas perbuatannya ini menurut pendapat Umar Khalid harus dijatuhi hukuman, dan katanya tentang kedua orang itu: "Begitu ia bertindak terhadap penduduk di daerah perang."
Ada sebagian mereka yang merasa heran bahwa Umar sampai demikian rupa marah kepada Khalid, Khalid yang paman Umar sendiri dan Saifullah serta pembela agama-Nya. Dapat saja keheranan demikian dihilangkan berdasarkan sumber yang dikemukakan oleh beberapa sejarawan bahwa pandangan Umar terhadap Khalid memang tidak baik sejak sebelum ia menganut Islam. Selama hidupnya ia memang sudah tidak menyukainya. Barangkali Umar tak dapat melupakan Khalid ketika dalam Perang Uhud dan peranannya waktu itu, serta kemenangan kaum musyrik terhadap kaum Muslimin karena kehebatan Khalid. Kemudian serangannya terhadap Rasulullah, kalau tidak karena Umar yang lalu menghadangnya sehingga rencananya itu dapat digagalkan.
Bagaimanapun juga yang pasti Umar tidak senang kepada Khalid kendati ia sangat menghargainya serta mengagumi kehebatannya memimpin pasukan. Perasaan Khalid terhadap Umar pun demikian. Dalam segala hal yang datang dari Khalifah, yang tidak disukainya ia melihat campur tangan Umar. Ketika oleh Abu Bakr ia dipindahkan dari Irak ke Syam ia berkata: "Ini perbuatan si kidal anak Umm Sakhlah. Dia dengki kepada saya karena saya yang membebaskan Irak."
Setiap orang berhak heran melihat perselisihan yang begitu menonjol antara Abu Bakr dengan Umar mengenai masalah Khalid bin Walid itu. Tetapi kita harus kagum juga kepada kedua tokoh besar ini. Bagaimanapun perselisihan mereka yang sudah begitu jelas, namun demi kepentingan Islam dan umat Islam, keakraban dan eratnya kerja sama antara keduanya tak pernah berubah. Umar tetap setia kepada Abu Bakr dan pada janjinya. Ia menjalankan tugasnya dengan selalu memberikan pendapatnya, dan melaksanakan perintah Khalifah dengan penuh keikhlasan. Kepercayaan Abu Bakr kepada Umar juga tetap seperti dulu, sedikit pun tak terpengaruh oleh keadaan dari luar. Keikhlasan timbal balik dan kepercayaan yang begitu kuat, itulah dasar organisasi yang kukuh dan sumber kewibawaan dan kekuatannya. Itu sebabnya kedaulatan Islam pada masa kedua tokoh ini telah mencapai puncaknya, yang tak pernah ada dalam kedaulatan mana pun di dunia.
Nama Abu Bakr dan nama Umar dalam lembaran sejarah merupakan lambang ketulusan, kejujuran dan kekuatan. Tak ada yang dapat menandingi kebesaran dan keagungan pribadi mereka.
Abu Bakr menjatuhkan sanksi kepada Khalid bin Walid karena ia telah membunuh Malik bin Nuwairah dan mengawini Laila, maka ia lalu mengirimnya ke Yamamah. Tetapi ia telah memperoleh kemenangan besar, dan ini merupakan suatu pengumuman dari Allah untuk mengikis kaum murtad di segenap penjuru Semenanjung Arab, kendati untuk itu telah menelan korban seribu dua ratus Muslimin mati syahid.
Penduduk Medinah begitu sedih karena mereka yang telah mati syahid itu. Ketika itu yang sangat berduka cita Umar bin Khattab karena kematian Zaid adiknya, sehingga ketika Abdullah anaknya kembali ke Medinah ia berkata: "Mengapa kau pulang padahal Zaid sudah meninggal.
Tidak malu kau memperlihatkan muka kepadaku!?" Tetapi anaknya menjawab dengan jujur dan penuh iman: "Dia memohon mati syahid kepada Allah, permohonannya terkabul. Saya sudah berusaha supaya saya juga demikian, namun tidak juga diberikan."