ALLAH berfirman, Sesungguhnya shalat itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk
(QS Al-Baqarah [2]: 45).
Jika ayat ini dibaca dengan teliti, akan kita dapati bahwa ia memiliki “pemahaman terbalik” (inverse logics atau mafhûm mukhâlafah) bahwa shalat hanya memiliki nilai jika dilakukan dengan khusyuk.
Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan (‘ubûdiyyah) diri kita sebagai manusia di hadapan keagungan Rubûbiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk ini timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus ketakutan kita kepada Zat Yang Mahakasih dan Mahadahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang yang memiliki sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran seluruh keberadaannya kepada kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang selain Allah. Tidak bisa tidak ini berarti hadirnya hati.
Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda, “Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya hati.”
Diriwayatkan pula darinya Saw. bahwa “Dua rakaat shalatvorang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1.000 rakaatvshalat orang yang tak peduli.” Kepada Abu Dzar, Rasul Saw.vmengajarkan, “Dua rakaat shalat pendek yang disertai denganvtafakur adalah lebih baik daripada shalat sepanjang malam
dengan hati yang lalai.”
Di kesempatan lain, Rasul Saw. menamsilkan:
“Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukanvbagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.”
Mudah dipahami bahwa seekor burung sebagai hewan,vyang tak memiliki hati atau perasaan sebagaimana manusia yang sedang mematuk-matuk makanannya melakukan hal itu secara instingtif, sebagai bagian dari keharusannya untuk bertahan hidup. Berbeda halnya dengan manusia. Bahkan ketika sedang lapar, manusia menikmati makanannya itu. Bukan hanya melahapnya, atau bahkan sekadar menikmati rasanya, melainkan
juga menghayati cara penyajian dan suasana yang melingkupi waktu makan itu. Apatah pula ketika ia sedang menghadap kepada suatu Zat Yang Mahaagung sekaligus Mahalembut (Lathîf) sebagaimana Allah Subhâna-Hu wa Ta‘âlâ.
Jika hati tiada hadir, apa makna shalat, yang dikatakan sebagai sarana pertemuan kita dengan-Nya?
Ayatullah Khomeini memberikan ilustrasi menarik sehubungan dengan keharusan khusyuk atau hadirnya hati ini.
Kelak ketika kita di-hisâb (diperhitungkan), hal pertama yang akan ditanyakan kepada kita adalah tentang pelaksanaan ibadah shalat. Dan bahwa baik-buruk nasib kita di akhirat kelak akan ditentukan oleh baik-buruk shalat kita. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw.:
“Yang pertama sekali di-hisâb pada hari kiamat adalah shalat. Apabila baik shalat, akan baiklah yang selebihnya. Apabila buruk shalat, akan buruklah yang selebihnya.”
Nah, kita harus ingat bahwa yang akan di-hisâb oleh Allah adalah hati kita, sementara fisik kita telah hancur di dalam tanah. Maka, jika kita melaksanakan shalat di dunia tanpa kehadiran hati—tanpa khusyuk, dan hanya merupakan gerakangerakan badan serta bacaan lisan hati kita akan menjawab bahwa kita tak pernah melaksanakan shalat. Sehingga jangan sampai mudah-mudahan Allah Swt. menjauhkan kita menjadi orang yang bangkrut, seperti yang disabdakan Nabi Saw.:
“Seseorang melaksanakan shalat selama 50 tahun, dan tak ada yang diterima sedikit pun dari shalatnya.”
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment