Abdullah bin Ubai menemui Rasulullah dan membantah bahwa ia berkata demikian. Tetapi wahyu datang mendustakannya. Ketika itu Abdullah anak Abdullah bin Ubai — yang sudah menganut Islam dengan baik berkata: "Rasulullah, saya mendengar Anda menginginkan Abdullah bin Ubai dibunuh. Kalau memang begitu, berikanlah tugas itu kepada saya, akan saya bawakan kepalanya kepada Anda.
Orang-orang Khazraj sudah tahu, tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya khawatir Anda akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, saya tak akan dapat menahan diri membiarkan orang yang membunuh ayah saya berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir, dan saya akan masuk neraka." Rasulullah menjawab: Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita." Sejak itu penduduk Medinah melihat kepada Abdullah bin Ubai dengan penuh curiga dan tidak lagi menghargainya.
Tatkala pada suatu hari Nabi sedang berbicara dengan Umar mengenai masa lah-masalah kaum Muslimin, sampai juga menyebut-nyebut Abdullah bin Ubai dan yang juga disalahkan oleh golongannya sendiri. "Umar, bagaimana pendapatmu," kata Rasulullah. "Ya, kalau Anda bunuh dia ketika Anda katakan kepada saya supaya dibunuh saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang saya suruh bunuh tentu akan Anda bunuh." "Sungguh sudah saya ketahui bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya."
Sesudah Abdullah bin Ubai meninggal dan Nabi bermaksud menyembahyangkannya, Umar segera mengingatkan tipu daya dan kejahatan orang itu terhadap Islam, dengan membacakan firman Allah: "Engkau memohonkan ampunan untuk mereka atau tidak memohonkan ampunan, sampai tujuh puluh kali sekalipun, Allah tidak akan mengampuni, sebab mereka sudah mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada golongan orang fasik." (Qur'an, 9:80). Nabi tersenyum melihat semangat Umar demikian rupa menyerang orang yang sudah meninggal seraya katanya: "Kalau saya tahu dengan menambah lebih dari tujuh puluh dapat diampuni akan kutambah."
Nabi menyembahyangkan juga dan ikut mengantarkan sampai selesai penguburan. Setelah itu datang firman Allah: "Sekali-kali janganlah kau menyembahyangkan siapa pun dari mereka yang mati, juga janganlah berdiri di atas kuburannya; mereka mengingkari Allah dan Rasul-Nya, dan mati dalam keadaanfasik." (Qur'an, 9:84).
Rasulullah mengumumkan tentang keberangkatan menunaikan ibadah haji pada tahun keenam sesudah hijrah ke Medinah. Sesampainya ke dekat Mekah, pasukan berkuda Kuraisy menghadangnya dan melarang memasuki Mekah. Mereka bersumpah bahwa Muhammad tak boleh masuk dengan paksa, padahal kedatangan Rasulullah untuk menunaikan ibadah haji; bukan untuk berperang. Oleh karena itu ia dan sahabat-sahabatnya berhenti di Hudaibiah dan bermaksud mengadakan perundingan dengan pihak Kuraisy agar dibukakan jalan untuk melakukan tawaf di Ka'bah dan menyelesaikan kewajiban haji. Ia memanggil Umar bin Khattab supaya memasuki Mekah dan berbicara dengan Kuraisy mengenai maksud kedatangannya. Tetapi Umar berkata: "Rasulullah, saya khawatir Kuraisy akan mengadakan tindakan terhadap saya, mengingat di Mekah sudah tidak ada lagi Banu Adi bin Ka'b yang akan melindungi saya. Kuraisy sudah cukup mengetahui bagaimana permusuhan saya dan tindakan tegas saya terhadap mereka dulu.
Saya ingin menyarankan orang yang lebih baik dalam hal ini daripada saya, yaitu Usman bin Affan."Usman pun memasuki Mekah. Lama ia mengadakan pembicaraan dengan Kuraisy dan terpisah dari Muslimin, sehingga dikira ia sudah dibunuh. Maka Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mengadakan ikrar atau yang dikenal dengan Bai'at Ridwan akan memerangi Kuraisy kalau sampai Usman dibunuh. Tetapi tak lama kemudian Usman kembali dan mengatakan bahwa untuk menjaga kewibawaan Kuraisy di kalangan orang-orang Arab mereka menolak kedatangan Muslimin ke Mekah tahun ini. Namun mereka tidak menolak perundingan untuk keluar dari suasana permusuhan, sesudah diyakinkan bahwa Muhammad datang akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk berperang. Pembicaraan dilanjutkan antara kedua pihak untuk mengadakan perjanjian dan mencari perdamaian. Tetapi Umar tampaknya sudah kesal benar karena Nabi menyetujui pembicaraan demikian, sehingga ia melompat dan pergi menemui Abu Bakr, dan katanya: Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah? Abu Bakr menjawab: Ya, memang! Bukankah kita ini Muslimin? tanya Umar lagi. Ya. memang! kata Abu Bakr. Umar melanjutkan: Bukankah mereka kaum musyrik? Ya, benar! jawab Abu Bakr. Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita? tanya Umar. Akhirnya kata Abu Bakr kepada Umar: Umar, duduklah, taatilah dia dan jangan langgar perintahnya. Saya bersaksi, bahwa dia Rasulullah. Umar pun kemudian berkata: Saya bersaksi bahwa dia Rasulullah.
Umar merasa tidak puas pembicaraannya dengan Abu Bakr. Ia pergi menemui Rasulullah dengan garis-garis kemarahan masih membayang di mukanya. Maka katanya: Rasulullah, bukankah Anda Rasulullah? Ya, memang, jawab Nabi. Bukankah kita ini Muslimin? tanya Umar lagi. Ya, memang! Bukankah mereka kaum musyrik? Ya, benar! Tanya Umar lagi: Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita? Lalu kata Rasulullah: "Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya." Dengan jawaban itu Umar terdiam. Setelah itu kemudian ia pernah berkata: Saya masih mengeluarkan zakat, berpuasa, salat dan membebaskan budak di antara yang saya kerjakan waktu itu, sebab saya khawatirkan kata-kata yang saya ucapkan itu, sementara saya mengharapkan segala yang terbaik.
Kita lihat bagaimana ia begitu percaya diri dan sangat membanggakan pendapatnya. Betapa Umar tidak akan merasa bangga dengan pendapatnya itu karena Qur'an sudah memperkuat sikapnya dalam menghadapi para tawanan Badr. la tetap dengan pendapatnya bahwa Abdullah bin Ubai harus dibunuh sampai kemudian ia dapat diyakinkan bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintahnya.
Begitu juga ia masih bertahan dengan pendapatnya mengenai Perjanjian Hudaibiah, sampai kemudian turun wahyu memperkuat Rasulullah dan disebutkan bahwa perjanjian itu akan merupakan kemenangan besar. Perdebatannya dengan Rasulullah seperti ia berdebat dengan orang lain sebelum dapat dibuktikan kebenarannya, baik dengan wahyu atau melihat bukti yang nyata atau sebaliknya.
Kita melihat bahwa dengan pikirannya Umar tidak berorientasi kepada teori-teori yang abstrak yang disusun dan diuji coba agar dapat dijadikan pegangan yang logis, tetapi langsung orientasinya kepada Islam, seperti sebelum itu, dengan pengalaman yang praktis dalam kenyataan hidup yang dihadapinya. Pengalaman praktis ini jugalah yang menggugah pikirannya mengenai para tawanan Badr, mengenai Abdullah bin Ubai dan mengenai Perjanjian Hudaibiah. Ini juga yang kemudian menggugah pikirannya, yang tidak disertai turunnya wahyu, mengenai persoalan-persoalan umat Islam umumnya, atau yang khusus mengenai Nabi.
Kegemaran penduduk Mekah memang minuman keras, dan Umar pun di masa jahiliah termasuk orang yang sudah sangat kecanduan khamar. Ketika itu kaum Muslimin juga minum minuman keras selama mereka masih tinggal di Mekah sampai beberapa tahun kemudian setelah hijrah ke Medinah. Umar melihat betapa minuman itu dapat membakar amarah hati orang dan membuat peminumnya saling mengecam dan memaki.
Tidak jarang orang-orang Yahudi dan kaum munafik menggunakan kesempatan minum minuman itu untuk membangkitkan pertentangan lama antara Aus dengan Khazraj. Sehubungan dengan itu Umar menanyakan soal minuman keras ini kepada Rasulullah ketika itu Qur'an belum menyinggungnya maka kata Nabi: Allahumma ya Allah, jelaskanlah soal ini kepada kami. Setelah itu kemudian turun ayat ini: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, keduanya mengandung dosa hesar dan heherapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (Qur'an, 2:219). Karena dalam ayat ini minuman belum merupakan larangan kaum Muslimin tetap saja menghabiskan waktu malam dengan minum minuman khamar sebanyak-banyaknya. Kalau mereka melakukan salat, sudah tidak tahu lagi apa yang mereka baca.
Kembali Umar bertanya dan katanya: Allahumma ya Allah, jelaskanlah tentang khamar itu kepada kami. Minuman ini merusak pikiran dan harta! Kemudian turun ayat ini: "Orang-orang beriman! Janganlah kamu mendekati salat dalam keadaan mabuk supaya kamu tahu apa yang kamu ucapkan." Sejak itu muazin Rasulullah berkata: Orang yang mabuk jangan mendekati salat. Kaum Muslimin sudah mulai mengurangi minum khamar kendati belum berhenti samasekali. Pengaruh buruk yang ada pada sebagian mereka masih terasa. Ketika sedang minum-minum salah seorang dari Ansar sempat mencederai salah seorang dari Muhajirin dengan tulang unta yang mereka makan akibat perselisihan di antara mereka. Dan ada dua suku yang sedang mabuk bertengkar lalu mereka saling tikam. Umar kembali berkata setelah melihat semua itu: Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang hukum khamar ini dengan tegas, sebab ini telah merusak pikiran dan harta. Setelah itu firman Allah turun: "Hai orang-orang beriman! Bahwa anggur dan judi, dan (persembahan kepada) batu-batu, atau meramal nasib dengan anak panah, suatu perbuatan keji buatan setan. Jauhilah supaya kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi maksud setan hanya akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan mengalangi kamu mengingat Allah dan melaksanakan salat. Tidakkah kamu hendak berhenti juga?" (Qur'an, 5:90-91).
Di kalangan Muslimin ada orang yang merasa kurang senang dengan larangan itu, lalu berkata: Mungkinkah khamar itu kotor, keji,padahal sudah bersarang di perut si polan dan si polan yang sudah terbunuh dalam Perang Uhud, di perut si anu dan si anu yang sudah terbunuh dalam Perang Badr? Maka firman Allah ini turun: "Bagi mereka yang beriman dan berbuat baik tiada berdosa atas apa yang mereka makan (waktu lalu), selama mereka menjaga diri dan beriman dan berbuat segala amal kebaikan, kemudian menjaga diri dan beriman, kemudian sekali lagi menjaga diri dan berbuat baik. Allah mencintai orang yang berbuat amal kebaikan. " (Qur'an, 5:93).
Demikian salah satu peranan Umar sehubungan dengan beberapa persoalan umat Islam secara umum sebelum ada ketentuan wahyu. Mengenai hubungan dengan Rasulullah secara pribadi dalam pandangan Umar bukan tidak sama dengan segala urusan Muslimin yang lain.
Oleh karenanya tidak segan-segan ia membicarakannya dengan Nabi. Bukhari menyebutkan dengan mengacu kepada Aisyah yang mengatakan: Umar berkata kepada Rasulullah Sallalldhu 'alaihi wa sallam: "Pasangkan hijablah untuk istri-istrimu. Tetapi Nabi tidak melakukan nya. Ketika itu istri-istri Nabi malam-malam pergi ke tempat-tempat orang buang air. Suatu ketika Umar bin Khattab melihat Saudah binti Zam'ah sosok perempuan ini tinggi maka kata Umar: saya mengenal Anda, Saudah. Harapannya supaya memakai hijab, maka Allah menurunkan ayat hijab." Disebutkan bahwa Umar berkata: "Rasulullah, yang datang kepada Anda ada orang yang baik, ada yang jahat. Sebaiknya para Ummul-mu'minin ('Ibu orang-orang beriman') suruh memakai hijab." Ayat hijab seperti firman Allah ini: "Wahai istri-istri Nabi!
Kamu tidak seperti perempuan lain mana pun; jika kamu bertakwa, janganlah terlalu lunak bicara, supaya orang yang ada penyakit di dalam hatinya, tidak bangkit nafsunya; tapi bicaralah dengan katakata yang baik. Dan tinggallah di rumah kamu dengan tenang, dan janganlah memamerkan diri seperti orang jahiliah dulu; dirikanlah salat dan keluarkanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; Allah hanya hendak menghilangkan segala yang nista dari kamu, ahli bait, dan membuat kamu benar-benar suci dan bersih." (Qur'an, 33:32-33). Dan firman-Nya lagi: "Wahai Nabi! katakanlah kepada istriistrimu, putri-putrimu dan perempuan-perempuan beriman, agar mereka mengenakan jilbab (bila keluar), supaya mereka lebih mudah dikenal dan tidak diganggu. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih." (Qur'an, 33:59).