Umar dan sistem kelas dalam masyarakat
Tetapi perubahan yang terjadi dalam orientasi politik Umar ketika itu tidak pula disertai perubahan pemikirannya dalam bidang sosial. Dalam beberapa masalah pokok, pemikiran Umar dari segi sosial berbeda dengan pemikiran Abu Bakr yang adakalanya sampai sangat berlawanan. Abu Bakr cenderung mempersamakan semua kaum Muslimin, tidak hendak membeda-bedakan yang Arab dan yang bukan-Arab, dan antara yang mula-mula dalam Islam dan yang kemudian. Pada masanya di dekat Medinah terdapat sebuah tambang emas dan pembagian emas yang dihasilkan dari tambang tersebut dipersamakan antara kaum Muslimin. Ketika dikatakan kepadanya tentang kelebihan mereka yang sudah lebih lama dalam Islam sesuai dengan kedudukan mereka, ia menjawab: "Mereka menyerahkan diri kepada Allah dan untuk itu mereka patut mendapat balasan; Dia Yang akan memberi ganjaran di akhirat. Dunia ini hanya tempat menyampaikan." Ia mengajak orangorang Mekah bermusyawarah untuk menyerbu Syam dan meminta bantuan mereka seperti yang telah dilakukannya terhadap penduduk Medinah. Tetapi kebalikannya Umar, ia dengan pemikirannya itu lebih cenderung pada sistem kelas (bertingkat). Ia mengutamakan mereka yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih utama lagi dari mereka adalah keluarga Rasulullah (ahlul bait). Pemikiran Umar demikian telah meninggalkan bekas dalam kehidupan umat Islam, dan dalam politik kedaulatan Islam telah mengemudikan sejarah Islam selama berabadabad, yang sampai sekarang masih berbekas. Nanti akan kita lihat bilamana pembicaraan sudah sampai pada soal administrasi negara dan tentang sistem pemerintahan, yang sudah tak dapat disangsikan lagi.
Pada masa Abu Bakr Umar tidak menyembunyikan kecenderungannya untuk lebih mengutamakan kelas-kelas tertentu. Tatkala Abu Bakr mengajak orang-orang Mekah bermusyawarah untuk menyerbu Syam dan meminta bantuan mereka seperti yang telah dilakukannya terhadap penduduk Medinah, Umar langsung menentang, yang dasarnya ingin menjaga agar kaum Muhajirin dan Ansar yang mula-mula dalam Islam didahulukan dari kaum Muslimin yang lain dalam soal kekuasaan dan dalam mengemukakan pendapat. Pendapat Umar ini ditentang oleh Suhail bin Amr dengan mengatakan: "Bukankah kami saudara-saudara kalian dalam Islam dan saudara seayah dalam keturunan? Karena dalam hal ini Allah telah memberi kedudukan kepada kalian, yang tak ada pada kami, lalu kalian mau memutuskan hubungan silaturahmi dan tidak menghargai hak kami!?" Umar menjawab terus-terang: "Seperti yang Anda lakukan, apa yang sudah saya sampaikan kepada kalian hanyalah sebagai nasihat dari orang yang sudah lebih dulu dalam Islam, dan lebih sesuai dengan keadilan yang berlaku antara kalian dengan Muslimin yang lebih berjasa daripada kalian."
Apa yang dilihat Umar dengan lebih mengutamakan orang-orang yang sudah lebih dulu dalam Islam dan veteran Badr serta keluarga Rasulullah, dasarnya bukanlah karena didorong nafsu, tetapi karena ingin memberikan kepuasan. Baginya tak ada pengaruh apa-apa dalam berhubungan dengan mereka semua dan dalam keadilannya terhadap mereka pada masa pemerintahan Abu Bakr dan pada masa pemerintahannya sendiri. Soalnya karena keadilan memang sudah menjadi bawaannya. Arti keadilan dalam dirinya sudah lengkap, gambarannya sudah menjelma dalam nuraninya. Selama dua tahun ia menjabat sebagai hakim dalam pemerintahan Abu Bakr tak pernah ada dua orang yang bersengketa mendatanginya sampai berulang-ulang.
Kesibukan kaum Muslimin menghadapi pertempuran, Perang Riddah, pembebasan Irak dan Syam sudah tentu besar sekali pengaruhnya terhadap semua itu. Sudah tentu juga, Umar yang terkenal karena keadilannya sangat besar pula pengaruhnya. Beberapa faktor yang mendorong orang untuk berperkara, karena pihak yang bersalah mengharapkan hakim akan bertindak salah dan menyimpang dari jalan yang benar atau bertindak berat sebelah lalu menyimpang dari yang semestinya. Tetapi orang tidak melihat, bahwa dalam hal mencari keadilan Umar tidak pernah bertindak berat sebelah terhadap siapa pun, atau memeriksa suatu perkara tidak cermat dan tanpa diteliti sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran itu sampai kemudian dapat diungkapkan. Dengan sikapnya yang demikian tidak heran orang yang berperkara akan datang kepadanya untuk memperoleh kebenaran dan keadilan itu. Juga tidak heran jika orang yang jahat takut sekali akan kena tamparannya dan terpukul oleh kejahatannya sendiri dan kebenaran dikembalikan kepada yang berhak.
Sejak awal pertumbuhannya keadilan sudah menjadi sifat dasar Umar sudah menjadi bawaannya. Kemudian cita keadilan itu tumbuh dalam dirinya sampai mencapai kesempurnaannya. sebab dengan akal pikiran dan nuraninya ia sudah berada di atas segala nafsu kehidupan dunia sehingga ia tak dapat dikuasai oleh nafsu. Di masa mudanya ia bekerja sebagai pedagang dan hasilnya dapat memberi makan baginya dan bagi keluarganya, rezeki yang sekadar cukup, bukan yang berlebihan atau bermewah-mewah. Dalam perdagangan ia pergi ke Irak, ke Syam dan ke Yaman. Di tempat-tempat yang dikunjunginya itu lebih cenderung ia untuk bertemu dengan para amir dan kalangan terpelajarnya untuk menambah pengetahuan dengan jalan berbicara dengan mereka, daripada untuk memperoleh keuntungan dari perdagangannya dan kemudian menjadi kaya. Sesudah menjadi Muslim, sedikit demi sedikit keislamannya diarahkan pada penyucian diri, dan untuk itu ia sendiri hidup sebagai seorang zahid. Karenanya, ia tidak memerlukan segala yang ada di tangan orang, ia tak merasa memerlukan mereka, juga ia tak mempunyai maksud apa-apa dengan mereka. Barangkali sikap kerasnya yang sudah terkenal itu, itu pula yang mendorong dan membantunya bersuci diri. Ia tidak peduli akan mengatakan kepada siapa pun apa yang diyakininya tanpa harus mengambil hati atau mengharapkan orang senang atau tidak. Bukankah begitu selesai Perjanjian Hudaibiah ia menemui Rasulullah dan mengatakan: "Bukankah Anda Rasulullah? Bukankah kita Muslimin? Bukankah mereka musyrik? Mengapa kita mau merendahkan diri kita dalam soal agama kita?"
Keberaniannya itu tidak dibuat-buat atau akan dijadikannya kebanggaan yang tidak diperlukannya, dari siapa pun seperti yang suka dilakukan orang, jika memerlukan sesuatu bermuka manis dan merayu-rayu. Yang berlaku demikian hanya orang yang sudah tergoda dan dikuasai dunia.
Tetapi orang yang dapat menguasai dunia ia sudah tidak memerlukannya lagi. Ia tidak mau merayu-rayu dan bermanis-manis muka. Begitulah orang yang berjiwa besar dengan hati yang bersih. Dalam hal ini Umar berada di barisan terdepan.
Sifat-sifat demikian yang sudah menyatu dalam diri Umar, membuatnya lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan dirinya, keluarga atau kerabatnya. Pertimbangan ini yang kemudian membawanya sampai ia yakin pada politik Abu Bakr dalam hal pembebasan Irak dan Syam, dan menyebabkan Abu Bakr menilainya pantas ia menjadi penggantinya dalam memimpin umat. Tetapi Umar orangnya keras dan kasar. Ini pula yang membuat banyak orang bijak tidak suka berhubungan dengan dia, padahal orang-orang bijak itu yang menjadi pembantu-pembantu dekat Khalifah dalam mengatur politik negara. Apabila hubungan antara kedua pihak terputus dan tidak lagi membantunya dengan nasihat atau pendapat, maka sulitlah ia akan dapat mengatur mereka dan mengatur negara dengan pendapat mereka.
Tidakkah sebaiknya Abu Bakr mempertimbangkan sifat-sifat Umar dan kebijakan politiknya itu dengan watak kerasnya yang sudah menjadi bawaannya, yang bukan tidak mungkin akan merusak suasana, di
samping itu tak akan dapat digantikan oleh ciri-ciri khasnya yang lain?
samping itu tak akan dapat digantikan oleh ciri-ciri khasnya yang lain?
Hal ini yang selalu menjadi pikiran Abu Bakr ketika dalam sakitnya ia merasa akan berakhir dengan kematian. Perlukah Muslimin dibiarkan memilih sendiri, tanpa memberi pendapat atau mencalonkan seorang pengganti, dan ini pula teladan yang diperolehnya dari Rasulullah? Inilah cara yang paling mudah dan ringan.
Tetapi yang teringat oleh Abu Bakr peristiwa Saqifah Bani Sa'idah dan sikap Ansar, dan teringat apa yang hampir terjadi ketika itu kalau Allah tidak mempersatukan tekad Muslimin dengan segera membaiatnya. Kalau sampai terjadi perselisihan di kalangan Muslimin sewaktu-waktu ia meninggal, maka perselisihan itu akan lebih parah dan lebih berbahaya, yang akan terjadi hanya antara kaum Muhajirin dengan Ansar sendiri sesudah tokoh-tokoh yang lain masih terlibat dalam perjuangan di Irak dan di Syam dalam menghadapi Persia dan Rumawi. Jika Abu Bakr meninggal lalu terjadi perselisihan, perselisihan demikian akan berkembang menjadi kerusuhan, yang mungkin berkecamuk ke seluruh negeri Arab.
Suasana akan menjadi kacau dan politik perluasan yang baru dimulai itu akan berakhir. Tetapi kalau penggantinya sudah ditunjuk dan Muslimin sepakat dengan orang yang ditunjuk, maka apa yang dikhawatirkan itu akan dapat dihindari. Kalaupun Rasulullah tidak menunjuk pengganti, soalnya supaya jangan ada yang mengira bahwa pengganti yang ditunjuk itu sudah ditentukan bagi kaum Muslimin dengan wahyu dari Allah, sehingga ia akan menjadi Khalifatullah — pengganti Tuhan. Kalau Abu Bakr yang menunjuk penggantinya, hal serupa itu tak perlu dikhawatirkan dan kaum Muslimin dapat dihindarkan dari perselisihan, politik perluasan dapat diteruskan dan akan berhasil. Ini sajalah dilaksanakan. Biarlah Umar menjadi penggantinya. Biarlah Muslimin bersatu menerimanya. Kalau kesepakatan itu dapat diwujudkan, maka itulah jaminan dari Allah yang akan memberikan kemenangan kepada agama-Nya.