Dia dilahirkan pada pertengahan Muharram 684 H dan dilantik
sebagai khalifah pada Jumadil Ula 701 H (1302-1334 M) berdasarkan wasiat
ayahnya. Kabar gembira tentang diangkatnya sebagai khalifah langsung tersebar ke
seluruh pelosok wilayah Islam.
Pada 702 H, pasukan Tartar menyerang Syam. Sultan Malik An-Nashir Muhammad bin Qalawun yang mendengar penyerangan ini keluar menyongsong mereka bersama Khalifah Al-Mustakfi Billah I. Kemenangan berada di pihak kaum Muslimin. Orang-orang Tartar terbunuh dalam jumlah yang besar, sedangkan sisanya melarikan diri.
Pada 706 H, Sultan Malik An-Nashir bermaksud berangkat menunaikan ibadah haji. Dia berangkat dari Mesir. Beberapa orang pembesar keluar bersamanya untuk mengantarkannya, namun sultan menolak. Tatkala sampai di Karak, dibentangkan untuknya jembatan penyeberangan.
Pada 702 H, pasukan Tartar menyerang Syam. Sultan Malik An-Nashir Muhammad bin Qalawun yang mendengar penyerangan ini keluar menyongsong mereka bersama Khalifah Al-Mustakfi Billah I. Kemenangan berada di pihak kaum Muslimin. Orang-orang Tartar terbunuh dalam jumlah yang besar, sedangkan sisanya melarikan diri.
Pada 706 H, Sultan Malik An-Nashir bermaksud berangkat menunaikan ibadah haji. Dia berangkat dari Mesir. Beberapa orang pembesar keluar bersamanya untuk mengantarkannya, namun sultan menolak. Tatkala sampai di Karak, dibentangkan untuknya jembatan penyeberangan.
Ketika berada di
tengah jembatan, ternyata jembatan buatan itu runtuh. Dia dan orang-orang yang
berada di depannya selamat, karena kuda yang dia tumpangi dapat melompat tinggi.
Sedangkan lima puluh yang berada di belakangnya berjatuhan. Empat diantaranya
meninggal, sedangkan sebagian besar pasukannya jatuh ke jurang.
Setelah itu sultan menetap di Karak. Dia lalu menulis
surat ke Mesir yang mengabarkan bahwa secara sukarela dia mengundurkan diri dari
kesultanan. Hakim di Mesir menyetujui keinginannya lalu mengabarkan pengunduran
diri sultan kepada hakim di Damaskus. Barulah setelah itu diangkat Ruknuddin
Baybars Al-Jasyangkir sebagai sultan pada 20 Syawwal. Dia bergelar Al-Malik
Al-Muzhaffar.
Pada Rajab 709 H,
Sultan Malik An-Nashir kembali ke Mesir dan meminta agar kekuasaan yang dulu
pernah dia pegang dikembalikan lagi kepadanya. Untuk tujuan ini telah banyak
orang yang menyatakan dukungan kepadanya. Dia datang ke Damaskus pada bulan
Sya’ban, kemudian ke Mesir pada Idul Fitri. Sultan Malik naik ke atas benteng.
Sedangkan Al-Muzhaffar berada di tengah-tengah sahabatnya sebelum kedatangan
Sultan Malik. Begitu datang, Al-Muzhaffar ditangkap dan dibunuh tahun itu
juga.
Pada 736 H, terjadi
perselisihan antara sultan dan khalifah. Akhirnya khalifah ditangkap, kemudian
dipenjarakan di sebuah benteng dan tak seorang pun boleh menemuinya. Setelah
itu, pada Dzulhijjah 737 H, Khalifah Al-Mustakfi diasingkan ke
Qush.
Selain khalifah,
semua anak dan keluarganya ikut pula diasingkan. Sultan Malik menyediakan semua
kebutuhan khalifah. Semua keluarga khalifah yang diasingkan kala itu mendekati
jumlah seratus orang. Al-Mustakfi sendiri berada di Qush sebagai orang buangan
hingga wafat pada 740 H. Dia dimakamkan di tempat itu. Saat meninggalnya,
Al-Mustakfi berusia 50 tahun lebih.
Ibnu Hajar dalam Ad-Durr Al-Kaminah menuliskan, Al-Mustakfi dikenal
sebagai seseorang yang memiliki perilaku dan akhlak mulia, dermawan, tulisannya
indah dan pemberani. Dia pandai bermain bola dan jago memanah. Dia selalu duduk
dengan para ulama dan ilmuwan. Bahkan dalam beberapa hal dia banyak melebihi
mereka. Walaupun secara resmi diasingkan, namun para khatib masih tetap
menyebutkan namanya dalam khutbah-khutbah mereka. Di awal-awal kekuasaannya
terjalin hubungan erat antara dia dan sultan. Mereka berdua sering keluar ke
alun-alun untuk bermain bola. Bahkan dalam pandangan banyak orang, mereka
laksana dua orang saudara.
Penyebab terjadinya konflik antara keduanya adalah tatkala ada satu
panggilan yang di atasnya ada tulisan khalifah yang meminta sultan untuk
menghadiri pengadilan. Sultan sangat marah menerima surat panggilan itu.
Peristiwa itu akhirnya membuat sultan menangkap khalifah dan mengasingkannya ke
Qush. Namun sultan tetap memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
khalifah, bahkan melebihi kadar yang ia berikan pada saat khalifah berada di
Mesir.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni