“Makin sedikit upaya, makin bertenaga.”
—Bruce Lee
Belakangan ini, orang makin sadar betapa kelambatan (slowliness, bukan keterlambatan atau tardiness) jauh lebih efektif ketimbang kecepatan yang, pada masa sekarang, lebih sering berarti keterburuan.4 Bahkan, sudah mulai ada kritik terhadap apa yang sekarang disebut sebagai multitasking, yakni mengerjakan banyak hal dalam satu waktu. Menyamakan otak manusia dengan system computer sebuah mesin yang kelebihannya
antara lain terletak dalam hal ini (multitasking) diduga merupakan suatu kekeliruan karena keduanya memiliki
cara kerja yang sama. Bahkan, ternyata, apa yang dikira sebagai multitasking dalam komputer itu, bukanlah multitasking yang sebenarnya. Komputer tetap melakukan satu pekerjaan dalam satu waktu. Hanya saja, karena kemampuannya memproses pekerjaan dalam waktu yang amat singkat, terkesan beberapa pekerjaan dilakukannya secara sekaligus, padahal kenyataannya ia melakukan berbagai pekerjaan itu secara
berturutan. Kebiasaan orang sekarang melakukan beberapa pekerjaan secara sekaligus diduga bukan hanya menyebabkan kualitas hasil pekerjaannya tak maksimal, melainkan dalam jangka panjang dapat menyebabkan penurunan kemampuan otak.5 Kesimpulannya, dalam banyak hal, melakukan suatu pekerjaan dalam satu waktu (one at a time) adalah yang paling baik.
Dan, persis, inilah thuma’nînah. Shalat, yang dilakukan dengan benar dan teratur, sudah tentu mengajarkan dan membiasakan pelakunya untuk memiliki habit thuma’nînah. Seorang pengusaha, atau karyawan, yang terbiasa melakukan pekerjaan secara thuma’nînah akan dapat memaksimalkan hasil pekerjaannya. Gay Hendricks dan Kate Ludman, dalam Corporate Mystics, menyebutkan sikap tidak terburu-buru ini
sebagai salah satu sifat para pengusaha dan eksekutif sukses di AS yang ditelitinya. Menurut kedua penulis, mereka terus belajar untuk berkonsentrasi pada masa sekarang, pada apa yang sedang mereka kerjakan, dan bukannya terburu-buru untuk segera melakukan pekerjaan yang selanjutnya. Bersikap terburu-buru bukan hanya mengakibatkan hasil pekerjaan tak akan maksimal, melainkan juga menimbulkan “keterpecahan
fundamental yang hanya menghasilkan tekanan dan ketegangan” yang tidak perlu.
Bukan hanya itu, salah satu anjuran bagi para pekerja yang berharap untuk dapat mencapai peak performance adalah mereka harus selalu menyediakan waktu di sela-sela waktu mereka untuk menenangkan diri dan relaks di antara jam-jam kerja mereka. Tak sedikit pula yang menganjurkan meditasi pada waktu-waktu seperti itu, meski hanya untuk lima menit.
Meditasi rutin di sela-sela waktu bahkan diyakini diperlukan bagi siapa saja. Kebiasaan seperti ini dipercayai mampu memulihkan, menenangkan, dan mengheningkan pikiran sehingga bukan saja ia siap untuk kembali bekerja dengan kekuatan penuh, melainkan juga memungkinkan pikiran-pikiran kreatif untuk dapat lahir (Lihat, Bab 7, “Thuma’nînah dan Flow”). Sebagian orang menyebutnya sebagai “zero mind process”.
Tanpa semacam meditasi, kecenderungan kemampuan otak dalam memproses pekerjaan akan secara alami menurun sepanjang hari. Relaks atau meditasi akan mengembalikannya kepada suatu kesegaran baru.
Seperti disebutkan dalam Bab 10, “Apakah Shalat Bisa Digantikan dengan Meditasi?”, shalat menyela rutinitas kita sehari-hari dengan beberapa jeda. Dalam jam kerja normal, kita sedikitnya mendapatkan jeda dua kali ketika melakukan shalat zuhur dan shalat asar.
Akhirnya, tak diragukan, shalat menanamkan habit disiplin. Bukan saja lima shalat wajib memiliki waktunya sendirisendiri, di dalamnya termasuk waktu-waktu yang hanya mungkin ditepati jika seseorang memiliki komitmen yang kuat terhadap disiplin. Yang paling menonjol di antaranya di samping shalat tahajud di tengah malam yang amat dianjurkan adalah waktu shalat subuh. Jangka-waktunya yang singkat dan di ujung waktu-waktu tidur mengharuskan kita untuk bangkit justru pada saat kita paling tak ingin melakukannya. Khusus berkaitan dengan shalat subuh ini, kita juga perlu ingat dengan pepatah yang menyatakan: “early birds get the most”, “yang paling pagi dapat yang paling banyak”, di samping banyak orang percaya bahwa waktu pagi adalah saat-saat yang di dalamnya pikiran kita paling segar dan kita paling efektif melakukan pekerjaan pada masa-masa ini.
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment