Setelah membahas persyaratan shalat yang benar, mungkin ada baiknya kita bahas di sini bagaimana mungkin shalat benar-benar dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar?
Sebelumnya, perlu kita pahami sekadarnya, apakah yang dimaksud dengan perbuatan keji dan mungkar. Istilah “keji” merupakan terjemahan dari kata “fakhsyâ’”. Kata tersebut bermakna kejahatan yang besar (kekejian), sedangkan “mungkar” berarti semua perbuatan yang bertentangan dengan (memungkiri) kesadaran kemanusiaan. Dalam konteks ini, fakhsyâ’ berarti perbuatan-perbuatan yang mengotori kesucian dan kehormatan diri, seperti berzina, bermabuk-mabukan, dan sebagainya.
Ataupun perbuatan-perbuatan yang melanggar hak orang lain, seperti menindas, merampas hak orang lain, korupsi, dan sebagainya. Sementara itu, mungkar berarti segala jenis perbuatan yang melanggar syariah.
Mudah dipahami bahwa shalat (yang benar) yang dilakukan dengan khusyû‘ (kehadiran hati) dan khudhû‘ (kerendahan diri) akan menghasilkan penuhnya hati kita dengan kehadiran Allah Swt. Keadaan ini saja kiranya telah dapat menjadikan berbagai sumber dorongan kejahatan yang ada di dalam hati kita kecintaan berlebihan pada dunia terdesak kalau tak malah sepenuhnya terusir dari jiwa kita.
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongga dada.”
(QS Al-Ahzâb [33]: 4)
Artinya, jika hati seseorang telah dipenuhi dengan kehadiran Allah Swt., tak akan ada lagi tempat bagi sesuatu yang lain, yang tak sejalan dengan kehendak Allah Swt. Yakni, tak akan ada lagi kecenderungan kepada hal-hal keduniawian, yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar perintah dan larangan-Nya. Sejalan dengan itu, shalat yang dilakukan secara konsisten dan berdisiplin akan selalu memelihara “kesadaran akan Tuhan” (God consciousness) dalam diri kita. Yakni, perasaan bahwa kita terus-menerus berada dalam pengawasan Allah Swt. Inilah yang dalam istilah Al-Quran disebut sebagai “takwa”. Yakni, kehati-hatian luar biasa untuk mengendalikan diri agar tidak melanggar larangan-larangan yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Pendeknya, shalat yang benar akan membersihkan hati. Dan, dari hati yang bersih, tak akan keluar kecuali hal-hal yang bersih dan baik.
Tapi, lebih dari itu, aturan syariat (baca: fiqih) yang terkait dengan syarat sah shalat juga telah memperkecil atau bahkan (seharusnya) menutup sama sekali kemungkinan pelaku shalat melakukan keburukan dan kejahatan. Termasuk di dalamnya, keharusan pakaian dan tempat shalat bahkan makanan yang kita makan didapat secara halal. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. menyatakan, “Seorang laki-laki berdoa (habishabisan) hingga pakaiannya lusuh dan rambutnya berantakan.
Tapi, bagaimana Allah akan mengabulkan doanya sementara apa yang dipakainya berasal dari yang haram dan yang dimakannya juga berasal dari yang haram?”
Mengenai hal ini, Allamah Thabathaba’i seorang filosof, sufi, dan ahli tafsir (1892–1981) mengungkapkan:
“... Bahkan, jika ada seutas benang pun dalam pakaian itu yang diperoleh secara haram atau tidak sah menurut hukum, shalatnya pun tidak sah. Orang yang shalat lantaran dipaksa menghindari apa yang dilarang sedemikian rupa dicegah dari menggunakan milik yang diperoleh lewat cara-cara terlarang, atau menginjak hak-hak orang lain. Seterusnya, shalat hanya diterima bila seseorang telah menyingkirkan segala kerakusan, iri hati, serta sifat-sifat buruk dan jahat lainnya. Jelas bahwa sifat-sifat jahat ini adalah sumber segala kejahatan; dan orang yang shalat, dalam membersihkan dirinya dari sifat-sifat ini, bakal membersihkan dirinya pula dari perbuatan-perbuatan jahat dan tak pantas. Manakala sebagian orang sekalipun mereka mengerjakan shalat melakukan perbuatan-perbuatan jahat, hal ini disebabkan mereka tidak bertindak sesuai
aturan-aturan Islam mengenai shalat. Oleh sebab itu, shalat-shalat mereka tidak bakal diterima, dan mereka tidak menikmati hasil-hasil yang agung dari shalat.” (Dikutip dari Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, Pustaka
Hidayah, cetakan II, 1996 h. 2006.)
Secara logis, tak mungkin juga seseorang melakukan shalat (dengan benar), tapi pada saat yang sama masih melakukan kekejian dan kemungkaran. Shalat yang benar tentu dilambari keimanan kepada Allah Swt., yang menjadi “objek” penyembahan kita dalam ibadah ini. Tak mungkin seseorang shalat dengan benar jika ia tak sungguh-sungguh beriman kepada- Nya. Nah, orang yang beriman kepada Allah tentu akan sebisanya menjauhi bermaksiat (pembangkangan) kepada- Nya. Inilah yang disinggung dalam sebuah hadis Nabi Saw.:
“Tak berzina seorang pezina, ketika berzina, sedang ia berada dalam keadaan Mukmin. Tak mencuri seorang pencuri, ketika mencuri, sedang ia berada dalam keadaan Mukmin.”
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment