Ternyata, khusyuk dan kehadiran hati belumlah semua syarat bagi diterimanya shalat seseorang. Rasulullah mengajarkan, “Shalat tidak sempurna melainkan dengan zakat.” Inilah kiranya hikmah di balik penjajaran ibadah shalat dengan membayar zakat di banyak ayat Al-Quran, antara lain:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat .…”
(QS Al-Baqarah [2]: 110)
“Dan (Isma‘il a.s.) menyuruh keluarganya untuk mendirikan shalat dan membayar zakat, dan ia adalah
orang yang diridhai oleh Tuhannya.”
(QS Maryam [19]: 55)
Al-Quran juga mengutip pernyataan Nabi Isa:
“Dan Dia menjadikanku orang yang diberkati di mana pun aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku
untuk mendirikan shalat dan membayar zakat selama hidupku.”
(QS Maryam [19]: 31)
Namun, peringatan Allah yang paling tegas mengenai hal ini adalah ketika Dia mengancam:
“(Neraka) Wail bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yang riya (tidak ikhlas karena Allah dan pamer). Dan menolak memenuhi keperluan dasar orang.”
(QS Al-Mâ‘ûn [107]: 4-7)
Kiranya sejalan belaka dengan itu, Imam Ja‘far diriwayatkan berulang-ulang menegaskan:
“Tidak diterima shalat orang yang tak memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lapar dan telantar.”
Bahkan, dapat disimpulkan dari keseluruhan kandungan Surah Al-Mâ‘ûn yang merupakan sumber cuplikan ayat-ayat di atas, bahwa orang-orang seperti ini tak lebih dari orang-orang yang berpura-pura beragama (yukadz-dzibu bid-dîn), atau hanya dalam hal lahiriahnya saja tampak beragama. Karena meski mereka termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat (al-mushallîn) mereka menolak anak yatim dan tak
berupaya menyantuni orang miskin
(QS Al-Mâ‘ûn [107]: 1-3).
Dapat disimpulkan bahwa shalat yang benar memiliki baik dimensi individual maupun sosial. Banyak orang menunjuk kenyataan bahwa shalat, yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam, menyimbolkan kedua dimensi ini. Takbir yang dihayati merupakan perwujudan khusyuk, yakni kesadaran penuh bahwa Allah Mahaagung dan bahwa kita adalah hamba-Nya yang rendah dan kecil. Dan bahwa tak ada sesuatu pun yang lebih penting dari Allah. Sedangkan salam khususnya salam kepada manusia adalah simbol bagi keharusan kita menjalankan fungsi kekhalifahan manusia untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh bagian alam semesta.
Akhirnya, mudah-mudahan kini kita sudah tak akan merasa aneh lagi jika melihat banyak orang yang shalat, tapi tak banyak yang tercegah dari perbuatan keji dan mungkar. Marilah, seraya meminta ‘inâyah (pertolongan) dari Allah, kita perbaiki kualitas shalat kita sehingga dapat benar-benar menjadi shalat yang diterima oleh Allah, dan dapat memberikan berbagai manfaatnya bagi kita.
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment