Setelah menggulingkan Daulah Umayyah yang telah berkuasa
selama 90 tahun, orang-orang Abbasiyah mengeluarkan perintah pada tahun 750 M
untuk mengikis habis orang-orang yang ada kaitannya dengan Dinasti Umayyah.
Mata-mata pun disebar ke seluruh pelosok negeri unuk mencari jejak mereka. Hanya
segelintir orang yang selamat dari tebasan pedang tentara Abbasiyah. Di
antaranya seorang pemuda berusia 19 tahun, yaitu Abdurrahman bin Muawiyah bin
Hisyam bin Abdul Malik.
Ia lari dari Irak, mengarungi gurun Syria menuju Palestina. Kemudian menyeberangi gurun Sinai ke Mesir, lalu melewati beberapa wilayah Afrika menuju Andalusia (Spanyol) yang telah ditaklukkan oleh nenek moyangnya dari Dinasti Umayyah.
Ia lari dari Irak, mengarungi gurun Syria menuju Palestina. Kemudian menyeberangi gurun Sinai ke Mesir, lalu melewati beberapa wilayah Afrika menuju Andalusia (Spanyol) yang telah ditaklukkan oleh nenek moyangnya dari Dinasti Umayyah.
Abdurrahman memasuki Andalusia
hanya diikuti oleh 400 budak yang setia pada Bani Umayyah. Ada yang mengatakan,
ketika dia mendarat pada 755 M, pasukan tentara Syam menghadiahkan seorang budak
perempuan yang sangat cantik. Ketika melihat dan memerhatikan kecantikannya, dia
berkata, “Sesungguhnya hati dan mata ini telah sepakat. Jika aku meninggalkan
perempuan ini, maka berarti aku telah menzaliminya. Namu jika aku sibuk dengan
perempuan ini, maka aku menzalimi kepentinganku. Karena itu, aku tidak
memerlukannya.” Kemudian dia mengembalikan perempuan itu kepada mereka.
Tatkala barisan tentaranya
dirasakan sudah banyak pengikutnya, Abdurrahman mulai merangkak menyerang
Cordoba. Dia berhasil menaklukkan kota itu dan menjadikannya sebagai ibukota
kerajaan. Namun tak lama setelah itu Andalusia dilanda pergolakan terus-terus
yang dipelopori oleh orang Yamaniyun (Arab Selatan) dan bangsa Barbar.
Pada saat yang sama, Khalifah
Al-Manshur mengirimkan bala tentaranya yang terdiri dari para budak belian yang
setia kepada Daulah Abbasiyah untuk mengembalikan Andalusia ke tangan mereka.
Lagi-lagi, Abdurrahman mampu memadamkan berbagai pergolakan tersebut, serta
memukul mundur tentara Al-Manshur.
Tatkala Harun Ar-Rasyid memegang kendali pemerintahan di Baghdad,
Charlemagne (Raja Prancis), dengan leluasa memerangi musuhnya di Andalusia,
karena Harun Ar-Rasyid sedang memerangi Byzantium, musuh Charlemagne. Raja
Prancis itu menyeberangi gunung Brawns untuk menyerang Abdurrahman. Namun karena
ada berita kekacauan yang melanda imperiumnya, dia terpaksa kembali lagi dan
urung menyerang Andalusia.
Kekalahan Prancis membuat Abdurrahman Ad-Dakhil tenang. Tatkala
memasuki Andalusia, ia menemukan bahwa tentaranya telah diatur sesuai dengan
cara yang berlaku dalam kabilah Badui. Dia kemudian membangun angkatan
bersenjata yang teratur yang jumlahnya tidak kurang dari empat puluh ribu
personil. Dia sadar bahwa Andalusia sangat mungkin diserang dari tiga arah di
lautan. Oleh sebab itu, dia kemudian membangun armada perang laut yang tergolong
sebagai armada yang pertama kali di Andalusia. Armada inilah yang pada zaman
Abdurrahman III menjadi armada perang laut terkuat di Barat dan Laut Tengah.
Pada zamannya pula, Andalusia
mencapai pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi, dan perkembangan peradaban yang
sangat pesat. Tampaknya dia telah menyiapkan hal itu dalam masa yang cukup lama.
Suatu kemajuan yang belum pernah dicapai oleh Andalusia sebelumnya. Cordoba
bersaing dengan Konstantinopel dan Baghad dari segi kemegahan, kemewahan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan seni. Cordoba dikenal sebagai Pengantin
Andalusia dan Permata Dunia.
Tiga tahun sebelum meninggal dunia, Abdurrahman merenovasi dan
memperluas bangunan Masjid Cordoba. Atapnya disangga oleh tiang-tiang besar yang
berjumlah 1293 tiang. Dia laksana Ka’bah kaum Muslimin di dunia Islam bagian barat. Hingga kini masjid
itu masih berdiri megah. Ia termasuk tempat yang paling banyak dikunjungi oleh
para wisatawan setelah Istana Al-Hamra, sebagai peninggalan sejarah yang
menarik.
Selain itu,
Abdurrahman juga dikenal sebagai seorang penyair dan orator ulung. Meskipun
sejarah menyebutkan bahwa dia adalah pemuda terusir, namun dengan ketegaran dan
kemauan kerasnya ia berhasil mendirikan Daulah Umayyah II yang mampu bertahan
hingga 1031 M. Dia mampu mengatasi serangan dari dua kekuatan besar di Timur dan
Barat, Harun Ar-Rasyid dan Charlemagne.
Setelah memerintah selama 32 tahun, Abdurrahman
Ad-Dakhil meninggal pada 172 H dalam usia 61 tahun. Dari seorang pelarian
politik, ia menjadi penguasa yang disegani kawan dan lawan.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi
Bastoni