Beberapa bulan kemudian, bertemulah dua orang perunding di sebuah tempat yang letaknya
tidak jauh dari Shiffin. Amr bin Al Ash mewakili Muawiyah, dan Abu Musa Al Asy'ariy mewakili Imam Ali r.a. Dalam perundingan itu Amr dengan gigih bertahan membela Muawiyah, sedangkan
Abu Musa berpendirian "asal damai" dan "asal selamat". Dengan berbagai siasat dan muslihat,
akhirnya Amr berhasil menyeret Abu Musa kepada suatu konsepsi yang meniadakan
kekhalifahan Imam Ali r.a.
Berdasarkan prinsip "asal damai" dan "asal selamat", Abu Musa mengusulkan supaya fihak Amr
bersedia menerima Abdullah bin Umar Ibnul Khattab sebagai calon Khalifah yang akan
menggantikan Imam Ali. Usul Abu Musa itu dijawab oleh Amr: "mengapa anda tidak
mengusulkan anak lelakiku yang bernama Abdullah? Anda kan tahu sendiri anakku itu seorang
yang shaleh!"
Pembicaraan berlangsung terus. Setelah lama berunding akhirnya dua orang itu sepakat untuk
memberhentikan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan memberhentikan Muawiyah sebagai
pemimpin di Syam dan menyerahkan kepada ummat Islam untuk memilih Khalifah lain yang
disukainya.
Begitu licinnya Amr mengelabui Abu Musa, sampai Abu Musa sendiri merasa adil dalam
melaksanakan tugas sebagai wakil Imam Ali r.a. Selain itu Abu Musa sedikit pun tidak
mempunyai kecurigaan bahwa Amr akan menyimpang dari kesepakatan.
Selesai berunding, Amr dan Abu Musa sepakat akan mengumumkan hasil perundingan itu di
depan khalayak ramai. Untuk merealisasinya, oleh Amr diminta kepada Abu Musa supaya lebih
dulu mengumumkan pemberhentian Imam Ali, kemudian barulah Amr akan mengumumkan
pemberhentian Muawiyah. Seperti orang terkena sihir Abu Musa mengiakan saja apa yang
diminta oleh Amr, kendatipun ia telah diperingatkan oleh Ibnu Abbas agar jangan bicara lebih
dulu.
Di depan orang banyak Abu Musa mengumumkan, bahwa dua orang perunding telah bersepakat
untuk memberhentikan imam Ali dan Muawiyah, demi kerukunan dan perdamaian di antara
kaum muslimin. Setelah memberi penjelasan sedikit, dengan lantang Abu Musa berkata:
"Sekarang aku menyatakan pemberhentian Ali sebagai Khalifah!"
Selesai Abu Musa, tampillah Amr bin Al Ash. Ia tidak berbicara seperti Abu Musa. Ia tidak
mengumumkan bahwa dua orang perunding telah sepakat memberhentikan Imam Ali dan
Muawiyah. Amr hanya mengatakan: "Abu Musa tadi telah menyatakan dengan resmi
pemberhentian Ali bin Abi Thalib dari kedudukannya sebagai Khalifah. Mulai saat ini ia tidak
lagi menjadi Khalifah! Sekarang aku mengumumkan bahwa aku mengukuhkan kedudukan
Muawiyah sebagai Khalifah, pemimpin kaum muslimin!"
Mendengar kata-kata Amr, Abu Musa sangat marah. Ia tak mungkin lagi menjilat ludah yang
suda jatuh. Abu Musa pergi meninggalkan tempat perundingan. Sejak itu namanya tidak pernah
disebut-sebut lagi dalam sejarah.
Beberapa waktu sebelum Abu Musa menghilang, ia masih menerima sepucuk surat dari Abdullah
bin Umar Ibnul Khattab, sebagai reaksi terhadap usul pencalonannya, yang diucapkan Abu Musa
dalam perundingan. Surat Abdullah tersebut sebagai berikut:
"Hai Abu Musa, engkau membawa-bawa diriku ke dalam persoalan yang engkau sendiri tidak
mengetahui bagaimana fikiranku mengenai hal itu. Apakah engkau mengira bahwa aku akan
bersedia mencampuri urusan yang engkau mengira aku ini lebih terkemuka dibanding Ali bin Abi
Thalib? Bukankah sudah sangat jelas bahwa ia jauh lebih baik daripada diriku? Engkau sungguh
sia-sia, dengan begitu engkau sendirilah yang menderita rugi. Aku sama sekali bukan orang yang
mengambil sikap permusuhan. Engkau benar-benar telah membuat marah Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah karena ucapanmu mengenai diriku.
"Lebih-lebih Ali bin Abi Thalib, karena melihat engkau telah tertipu oleh Amr. Padahal engkau
itu seorang pengajar Al Qur'an, seorang yang pernah menjadi utusan penduduk Yaman untuk
menghadap Rasul Allah s.a.w., seorang yang pernah diberi kepercayaan membagi-bagikan
ghanimah pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar. Ternyata sekarang telah tertipu oleh
ucapan-ucapan Amr bin Al Ash, sampai engkau lancang dan memecat Ali sebelum memecat
Muawiyah!"
Menanggapi surat Abdullah bin Umar Ibnul Khattab tersebut, Abu Musa menulis: "Aku bukannya
hendak mendekatimu dengan jalan mendudukkan dirimu atau membai'atmu sebagai Khalifah.
Yang kuinginkan hanyalah keridhoan Allah s.w.t. Kesediaanku memikul tugas ummat ini bukan
suatu hal yang buruk atau tercela. Sebab ummat ini seolah-olah sedang berada di ujung
pedang. Selama hidup sampai mati aku akan tetap mengatakan, bahwa yang kuinginkan ialah
agar ummat ini selalu damai. Sebab jika tidak, ummat ini tidak akan dapat kembali kepada
kebesaran semula."
Seterusnya Abu Musa mengatakan: "Adapun mengenai ucapanku tentang dirimu yang dapat
membuat marah Ali dan Muawiyah, sebenarnya dua orang itu sudah lebih dulu marah kepadaku.
Tentang tipu muslihat Amr terhadap diriku, demi Allah, tipu muslihatnya itu tidak merugikan
Ali bin Abi Thalib dan juga tidak menguntungkan Muawiyah. Sebab syarat yang sudah kami
tetapkan bersama ialah, bahwa kami hanya terikat oleh apa yang sudah disepakati bersama,
dan bukan terikat oleh apa yang kami perselisihkan. Adapun mengenai apa yang engkau
dilarang melakukannya oleh ayahmu, demi Allah, seandainya persoalan ini dapat diselesaikan,
engkau akan terpaksa menerimanya!"
Dari surat jawaban Abu Musa kepada Abdullah itu jelaslah, bahwa Abu Musa benar-benar
fikirannya dicekam rasa rindu perdamaian. Dan demi perdamaian ia tidak segan-segan
menyimpang jauh dari tugas yang dipikulnya dan rela menjebloskan pemimpinnya sendiri.
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment