Kaum Muslimin berpikir tentang kekhalifahan itu menurut pandangan Arab murni. Kebetulan pula Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam tidak mewasiatkan kekhalifahan itu kepada siapa pun. Perselisihan yang terjadi antara kaum Ansar dengan Muhajirin di Saqifah Banu Sa'idah ketika Rasulullah wafat, serta perselisihan yang agaknya juga terjadi antara Banu Hasyim dengan Muhajirin yang lain sesudah baiat umum, tak ada alasan untuk meragukan, bahwa sebenarnya penduduk Medinah sudah cukup bersungguh-sungguh dalam memikirkan pemilihan Khalifah pertama itu, dan dasarnya memang tak terdapat, baik dalam Qur'an maupun dalam Sunah. Maka mereka waktu itu memilih penduduk yang tinggal di Medinah yang di kalangan Muslimin dipandang lebih tepat untuk memegang pimpinan. Andaikata masalah ini sampai melampaui batas ke luar Medinah, sampai kepada suku-suku Arab di luar kota Medinah tentu soalnya akan jadi lain. Dan pengukuhan Abu Bakr itu adalah suatu hal tiba-tiba yang menguntungkan memakai kata-kata Umar bin Khattab.
Tradisi yang dipakai dalam memilih Abu Bakr bukan itu pula yang dipakai dalam memilih kedua Khalifah sesudah itu Umar dan Usman. Sebelum meninggal Abu Bakr sudah berwasiat agar memilih Umar bin Khattab. Kemudian pengganti berikutnya oleh Umar diserahkan kepada enam orang yang nama-namanya disebutkan, agar memilih seorang di antara sesama mereka. Setelah Usman terbunuh serta timbul perselisihan sesudah itu antara Ali dengan Muawiyah, pihak Banu Umayyah melanjutkan kekuasaan itu secara turun-temurun dengan warisan yang diterima anak dari bapak. Kalau demikian sumber peristiwa itu tak ada alasan untuk mengatakan, bahwa dalam menjalankan kekuasaan, dalam Islam sudah ada suatu sistem yang baku. Tetapi yang ada ialah ijtihad yang didasarkan kepada peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam yang berubah-ubah dan didasarkan pada aneka macam bentuk sesuai dengan perubahan situasi.