Telah menjadi keyakinan orang yang beragama, bahwa manusia dapat merencanakan sesuatu dan berusaha mewujudkan rencananya. Akan tetapi apakah rencana tersebut akan tercapai atau gagal, manusia yang merencanakan tadi tak dapat menentukannya. Penentuan terakhir di tangan Allah s.w.t.
Banyak orang yang ingin agar isterinya dapat melahirkan putera atau puteri di tempat tertentu dan disaksikan oleh keluarga yang lengkap. Apakah keinginan atau rencana orangtua itu akan tercapai, Allah s.w.t. yang menentukan.
Bagaimana halnya dengan kelahiran Imam Ali r.a.? Di mana beliau dilahirkan? Di rumah Abu Thalib atau di tempat lain?
Bagaimana halnya dengan kelahiran Imam Ali r.a.? Di mana beliau dilahirkan? Di rumah Abu Thalib atau di tempat lain?
Tentang tempat kelahiran Imam Ali r.a., A1 Hakim dalam buku "Al Mustadrak", jilid III, halaman 483, antara lain mengemukakan: Ketika itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali, bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib. Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.
Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Disaat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap:
"Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya".
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra keempat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja.
Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah. Guna memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti "luhur".
Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Disaat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap:
"Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya".
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra keempat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja.
Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah. Guna memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti "luhur".
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment