Mendambakan ketertiban masyarakatnya dan kota Mekah
Hal ini dapat diterima karena lebih sesuai dengan apa yang sudah umum diketahui tentang pribadi dan psikologi Umar. Dia asli dari masyarakatnya sendiri, sangat fanatik terhadap mereka, ingin sekali melihat ketertiban dan kedudukan kota mereka yang kuat. Di samping itu ia laki-laki yang praktis, suka bekerja. Nilai pikiran baginya ialah dampaknya yang nyata dalam kehidupan. Tetapi merenung hanya untuk merenung, berpikir semata-mata hanya untuk berpikir dan berlama-lama menimang-nimang untuk mencari kebenaran di balik itu, kendati untuk kebenaran dan pemikiran itu tak memberi kesan yang berpengaruh dalam kehidupan mereka, maka tidaklah dia sendiri akan tertarik atau akan dapat melepaskan diri dari kebiasaan masyarakatnya. Itulah pandangannya sekitar masalah-masalah duniawi secara keseluruhan, bahkan yang berhubungan dengan masalah-masalah rasa simpati itu sendiri. Ia tidak senang melihat pemuda yang menghabiskan waktunya hanya untuk bercumbu dengan perempuan atau mendendangkan kecantikannya, dengan maksud hendak menggodanya. Baginya, yang demikian hanya memperlihatkan kelemahan, yang tak patut bagi seorang laki-laki yang sudah cukup dewasa. Karenanya, ia tak pernah bersimpati kepada orang-orang yang bercinta-cinta dengan jalan menyanyi-nyanyikan nyanyian rindu asmara sebagai profesinya. Mengenai pandangannya tentang keyakinannya itu, terlihat dari keberangannya yang luar biasa terhadap saudara sepupunya, Zaid bin Amr, sebab dia meninggalkan agama masyarakatnya, dan pergi mencari agama benar itu dari yang lain. Buat Umar semua itu khayal belaka yang tak ada artinya dalam hidup, dan tidak sesuai dengan wataknya yang ingin melihat ketertiban umum serta kedudukan Mekah yang kuat di mata semua orang Arab.
Kecenderungan berpikir demikian memang sejalan dengan sosok Umar — bertubuh kuat dan kekar. Oleh karena itu ia percaya kepada kekuatan dalam segala sikapnya. Kepercayaannya kepada kekuatan yang paling menonjol tampak pada permulaan kerasulan Nabi, saat ia sedang berada di puncak keperkasaannya dengan segala kekerasan watak dan semangatnya sebagai pemuda yang belum merasakan asam garamnya kehidupan. Itu pula sebabnya ia menyiksa siapa saja pengikut Nabi yang dapat disiksanya, supaya keluar dari agamanya. Kalau ia mampu memerangi mereka semua, niscaya akan diperanginya. Tetapi dia tahu bahwa kabilah-kabilah Kuraisy melarang yang demikian, dan kabilahnya sendiri — Banu Adi — tidak sependapat dengan dia. Itu sebabnya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kuraisy lainnya, kemampuannya terbatas hanya sampai pada penyiksaan kaum duafa atau orang-orang yang lemah, tanpa dapat melakukan kekerasan terhadap Abu Bakr, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan yang lain, yang akan dilindungi oleh kabilah-kabilah mereka. Tetapi yang
masih dapat dilakukannya, mengadakan pemboikotan dan menyakiti siapa saja yang dapat dijangkaunya.
masih dapat dilakukannya, mengadakan pemboikotan dan menyakiti siapa saja yang dapat dijangkaunya.
Sungguhpun begitu, di samping semua itu sebenarnya Umar orang yang berhati lembut, berperasaan halus dalam arti keadilan. Salah satu bukti kelembutan hatinya tatkala adiknya hendak melindungi suaminya dipukulnya sekeras-kerasnya. Setelah dilihatnya adiknya sampai berdarah, ia menyesal dan menyadari kesalahannya sendiri. Kelembutan demikian sering kita jumpai pada orang-orang yang kuat dan bertangan besi tatkala mereka sudah melampaui batas dalam berpegang pada kekuatan. Percakapannya dengan Umm Abdullah binti Abi Hismah ketika siap akan berangkat hijrah ke Abisinia, memperlihatkan sikap yang sangat lemah lembut kepadanya. Umm Abdullah pun begitu terharu melihat sikapnya yang demikian sehingga ia berkata kepada suaminya yang ketika itu baru datang: "Kalau saja tadi Anda melihat Umar dan sikapnya yang begitu lemah lembut serta kesedihannya melihat kami, sampai-sampai saya mengharapkan ia masuk Islam." Sifat-sifat demikian ini dapat menerjemahkan kepada kita mengapa ia kemudian masuk Islam.
la ingin sekali melihat ketertiban dan kedudukan Mekah yang kuat, di samping keprihatinannya jika ajakan agama baru ini nanti akan merusaknya. Sesudah ia melihat Nabi dan sahabat-sahabatnya mengajak orang kembali kepada Tuhan dengan cara yang baik dan jangan membuat kerusakan di muka bumi, kemudian dilihatnya mereka begitu teguh berpegang pada agama itu, dan akidah bagi mereka iebih berharga daripada segala apa yang ada di dunia, bahkan lebih berharga daripada hidup mereka sendiri, ia kembali berpikir tentang mereka dan tentang sikapnya sendiri terhadap mereka. Mereka sudah diancam, dianiaya dan disiksa, namun mereka pantang menyerah. Atas segala penderitaan yang mereka alami, mereka hanya berkata: "Allah adalah Tuhan kami."
Mereka lebih-lebih lagi dianiaya dan disiksa. Malah mereka memilih untuk mengorbankan tanah tumpah darah daripada mengorbankan akidah. Mereka pun mengarungi lautan, hijrah dan berlindung di bumi Allah yang lain dengan agama mereka. Agama ini bukan sekadar konsep teori yang tak memberi dampak apa-apa kepada pemeluknya, juga dalam kehidupan jemaah tempat mereka hidup, tetapi sudah merupakan kekuatan pendorong yang pengaruhnya begitu dahsyat, baik dalam kehidupan pribadi ataupun dalam kehidupan bersama. Pengaruh demikian sudah mulai tampak dalam kehidupan Mekah begitu Islam lahir. Dan pengaruh ini makin lama akan lebih besar dan makin jelas.
Bagaimana akhirnya keadaan Mekah dan kedudukannya jika hijrah ini berjalan terus, dan orang-orang mengetahui bahwa anak negerinya tak dapat tinggal di tempat sendiri karena diperlakukan begitu kejam, padahal ada pertalian kerabat dan hubungan baik antara mereka dengan kabilah-kabilah yang juga termasuk Mekah. Mereka diperlakukan begitu kejam hanya mereka berbeda keyakinan dengan masyarakatnya. Di tanah Arab ketika itu memang terdapat berbagai macam kepercayaan: ada yang percaya kepada berhala-berhala, ada Ahli Kitab orang-orang Yahudi dan Nasrani, ada penganut agama Majusi mengikuti orang Persia. Bukankah akan lebih baik buat Mekah bila Muslimin pergi meninggalkannya, mereka tidak diganggu dan tidak akan digoda karena akidah mereka, dan biarkan masing-masing bebas memeluk agama dan bersama-sama dengan mereka? Bukankah orang semacam Umar sudah belajar seperti yang lain, dan pengetahuannya tentang pemikiran Persia, Rumawi, Yahudi dan Nasrani sudah melebihi yang lain, masih akan menjauhi Muslimin? Tidakkah sebaiknya ia mau menggunakan penalarannya yang lebih cermat dan teliti mengenai agama mereka, bukan penalaran orang yang fanatik dan dengki?!
Dia dan masyarakatnya sudah tahu tentang ajakan Muhammad dan tentang Qur'an yang diwahyukan kepadanya. la pun sudah tahu berita tentang mereka yang memasang telinga mendengarkan Rasulullah yang sedang salat tengah malam di rumahnya. Bagaimana mereka kembali lagi memasang telinga mendengarkan Rasulullah membaca Qur'an itu. la pun tahu bagaimana mereka saling menyalahkan. Kemudian juga ia tahu bahwa ketika Abul-Hakam bin Hisyam ditanya apa yang sudah didengarnya ia menjawab: "Kami dengan Abdu-Manaf saling berebut kehormatan: Mereka memberi makan, kami pun memberi makan; mereka menanggung, kami pun begitu; mereka memberi, kami pun memberi, sehingga kami dapat sejajar dan sama tangkas daiam perlombaan. Tiba-tiba kata mereka: 'Di kalangan kami ada seorang nabi yang menerima wahyu dari langit! Kapan kita akan menjumpai yang semacam itu? Tidak! Kami samasekali tidak akan percaya dan tidak akan mempercayai atau membenarkannya!" Atas dasar itu Abul-Hakam dan kawan-kawannya tetap menyiksa kaum Muslimin dengan sewenangwenang tanpa alasan yang benar. Dan Muslimin pun tetap berpegang pada agamanya tanpa menyerah karena siksaan. Bahkan cinta mereka lebih besar dan lebih kuat lagi berpegang pada agama itu.
Bukankah ini suatu bukti yang kuat bahwa mereka dalam kebenaran dan bahwa Abu Jahl tidak mau memperhatikan, tidak mau beriman atau mempercayai agama Muhammad karena antara Keluarga Abdu-Syams dengan Keluarga Abdu-Manaf terjadi persaingan yang keras?! Tetapi mengapa Umar tidak mau memperhatikan agama baru ini, padahal antara Keluarga Adi dengan Keluarga Abdu-Manaf tak ada persaingan? Itu sebabnya Umar pergi bersembunyi di balik kain Ka'bah untuk melihat Muhammad sembahyang, dan untuk mendengarkan ia membaca Qur'an dalam salatnya itu. Karenanya, ia ingin sekali membaca Surah Ta-Ha dalam kitab yang ada di tangan adik perempuannya.
Ia sudah merenungkan semua itu, dan lama sekali memikirkan sampai akhirnya ia mendapat hidayah. Allah telah memperkual agama-Nya dengan Umar, dan dia pun membela Rasul-Nya. Nabi 'alaihis-salam memang ingin sekali Islam dapat diperkuat dengan orang yang kuat dan berani, yang tidak takut menghadapi musuh dalam membela akidah. Nabi berdoa kepada Tuhan:
"'Ya Allah, perkuat Islam dengan Abul-Hakam bin Hisyam atau Umar bin al-Khattab."
"'Ya Allah, perkuat Islam dengan Abul-Hakam bin Hisyam atau Umar bin al-Khattab."