Imam Ali r.a. adalah seorang yang tidak pernah berbuat sesuatu yang berlainan antara ucapan
dan perbuatan. Ia menolak keras hasil perundingan antara Abu Musa dengan Amr, tetapi karena
ia telah menyatakan kesediaan menerima "tahkim" --walaupun hanya karena ia ditekan oleh
pengikutnya-- prinsip itu dipertahankan dengan konsekuen, selama fihak lawan benar-benar
hendak mencari penyelesaian berdasarkan hukum Al-Qur'an.
Hal ini dapat dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan yang diberikan kepada beberapa orang
pengikutnya yang mengajukan pertanyaan. Dalam penjelasannya itu Imam Ali r.a. mengatakan:
"Kami menerima tahkim. Oleh karena itu tahkim harus didasarkan kepada Kitab Allah, Al-
Qur'an. Al Qur'an itu tertulis pada lembaran-lembaran. Al-Qur'an tidak berbicara dengan lisan
dan tidak bisa tidak memerlukan penafsiran. Penafsiran itu sudah tentu keluar dari ucapan
orang. Setelah mereka minta kepada kami supaya kami mengadakan penyelesaian berdasarkan
tahkim Al-Qur'an, kami tidak mau menjadi fihak yang berdiri di luar Al-Qur'an. Sebab Allah
'Azaa wa Jalla telah berfiman, artinya: "Jika kalian bertengkar mengenai sesuatu, maka
kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya." (S. An Nisa: 59).
"Mengembalikan persoalan kepada Allah," kata Imam Ali r.a. seterusnya, "berarti kami harus
mencari penyelesaian hukum di dalam Kitab Allah. Dan mengembalikan persoalan kepada
Rasul-Nya, berarti kami harus mengambil sunnah Rasul Allah. Jika persoalan benar-benar
hendak diselesaikan berdasar hukum yang ada dalam Kitab Allah, sesungguhnyalah kami lebih
berhak berbuat daripada orang lain. Dan kalau hendak diselesaikan berdasarkan sunnah Rasul
Allah, pun kami jugalah yang lebih berhak daripada orang lain."
"Adapun ucapan mereka yang mengatakan: 'mengapa diadakan tenggang waktu (gencatan
senjata) dalam menempuh jalan tahkim?' Kata Imam Ali r.a. lebih lanjut, hal itu kami lakukan
agar menjadi jelas bagi orang yang tidak mengerti, dan agar menjadi mantap bagi orang yang sudah mengerti. Mudah-mudahan selama gencatan senjata itu Allah akan memperbaiki keadaan
ummat, agar menjadi terang, dan awal kesesatan itu dapat segera diluruskan."
"Sesungguhnya yang paling afdhal di sisi Allah," kata Imam Ali r.a. pula, "ialah orang yang lebih
menyukai berbuat kebenaran walau kebenaran itu mendatangkan kesukaran dan kerugian
baginya. Yaitu orang yang pantang berbuat kebatilan, walau kebatilan itu akan mendatangkan
kemudahan dan keuntungan baginya. Jadi, bagaimanakah kalian sampai menjadi bingung, dan
dari manakah keraguan yang menghinggapi fikiran kalian?"
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment