Abdullah Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid (813-833 M) mulai
memerintah Bani Abbasiyah pada 198-218 H/813-833 M. Ia adalah khalifah ketujuh
Bani Abbasiyah yang melanjutkan kepemimpinan saudaranya, Al-Amin.
Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat
itu, Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan
ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia.
Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga perguruan tinggi, perpustakaan, dan
tempat penelitian. Lembaga ini memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan.
Lembaga lain yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah
Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang diselenggarakan
di rumah-rumah, masjid-masjid, dan istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda
kekuatan penuh kebangkitan Timur, di mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan
ilmu pengetahuan dan puncak keemasan Islam.
Sayangnya, pemerintahan Al-Makmun sedikit tercemar
lantaran ia melibatkan diri sepenuhnya dalam pemikiran-pemikiran teologi
liberal, yaitu Muktazilah. Akibatnya, paham ini mendapat tempat dan berkembang
cukup pesat di kalangan masyarakat.
Kemauan Al-Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan kemauan yang tinggi terhadap ilmu
pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia menyediakan biaya dan dorongan yang
kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan
penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab,
seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat alam secara
umum.
Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas Khalifah
Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para penerjemah tersebut antara lain Yahya
bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin
Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi.
Hunain bin Ishaq adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat
kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan buku-buku Plato dan Aristoteles.
Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada Raja Roma, Leo Armenia, untuk
mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab.
Selain para pakar ilmu pengetahuan dan politik, pada
Khalifah Al-Makmun muncul pula sarjana Muslim di bidang musik, yaitu Al-Kindi.
Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad sebagai kota metropolis dunia Islam
sekaligus pusat ilmu pengetahuan, pusat kebudayaan, peradaban Islam, dan pusat
perdagangan terbesar di dunia selama berabad-abad lamanya.
Namun demikian, selain pemikiran Muktazilah, Khalifah
Al-Makmun juga tercemari oleh paham yang menganggap Al-Qur'an itu makhluk. Paham
ini melekat dan menjadi prinsip pemerintah. Orang yang tidak setuju dengan
pendapat ini akan dihukum. Inilah yang menimpa beberapa ulama yang istiqamah
seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad
Nuh.
Namun belakangan Imam Sajjadat dan Al-Qawariri
mengakui juga Al-Qur'an sebagai makhluk. Ketika ditelusuri, keduanya mengaku
karena terpaksa. Mereka berpendapat, dalam agama, kondisi terpaksa membolehkan
seseorang untuk mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan
keimanannya.
Kendati demikian, Imam Ahmad dan Muhammad Nuh tetap
tidak mau mengakui bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Sejarah mencatat ungkapan Imam
Ahmad kala itu, "Saya tidak mau pengakuan saya menjadi dalil orang-orang
setelahku." Ia juga pernah diminta oleh pamannya, Ishaq bin Hanbal untuk
melakukan taqiyyah (pura-pura), namun Imam Ahmad tidak mau.
Kedua tokoh itu segera dikirim kepada Khalifah
Al-Makmun yang sedang berada di medan pertempuran di Asia Kecil. Dalam
perjalanan dan ketika tiba di benteng Rakka, mereka mendapat kabar bahwa sang
Khalifah wafat. Jenazahnya dibawa ke Tarsus dan dimakamkan di tempat
itu.
Gubernur benteng Rakka segera mengembalikan Imam Ahmad
dan Muhammad Nuh ke Baghdad. Dalam perjalanan, Muhammad Nuh sakit lalu meninggal
dunia. Sedangkan Imam Ahmad dibawa ke Baghdad.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni