Salim II lahir pada 28 Mei 1524. Ia menjabat sebagai
Sultan Turki Utsmani sejak 1566 hingga 1574 M. Ia adalah putra Sulaiman
Al-Qanuni dan istri tercintanya, Roxelana.
Setelah naik tahta sesudah intrik istana dan pertentangan antar saudara, Salim II menjadi sultan pertama yang sama sekali tidak tertarik dengan ekspedisi militer dan mencoba menyerahkan kekuasaan ke tangan para menterinya.
Wazir agungnya, Mehmed Sokollu—seorang mualaf Serbia dari daerah yang kini bernama Bosnia-Herzegovina—yang mengendalikan sebagian urusan negeri. Dan dua tahun setelah naik tahta, Sultan Salim II berhasil mengadakan perjanjian dengan Kaisar Romawi Habsburg Maximilian II pada 17 Februari 1568 di Istanbul, di mana sang Kaisar bersedia membayar “hadiah” tahunan kepada Daulah Utsmaniyah.
Pada September 1567, Sultan Salim II mengeluarkan perintah untuk melakukan ekspedisi militer besar-besaran ke Aceh, setelah adanya petisi dari Sultan Aceh kepada Sultan Sulaiman yang telah meninggal setahun sebelumnya. Petisi tersebut meminta bantuan kepada Turki untuk menyelamatkan kaum Muslimin yang terus dibantai kaum Portugis karena meningkatnya aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para saudagar Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah.
Pasukan ini dipimpin oleh Laksamana Kurtoglu Hizir Reis dari Suez bersama dengan sejumlah ahli senapan, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama diperlukan, namun dalam perjalanannya armada besar ini hanya sebagian—sekitar 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak dan teknisi—yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada 1571. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada 1568.
Sultan Salim II berkuasa sejak 9 Rabiul Awwal 974 H. Sebenarnya dia tidak memiliki kemampuan memadai untuk melakukan penaklukan-penaklukan yang pernah dilakukan ayahnya, Sultan Sulaiman. Untungnya ia dibantu oleh seorang menterinya yang sangat mumpuni, seorang mujahid besar dan politikus ulung yang bernama Muhammad Pasya As-Shuqli.
Andaikata tidak, kemungkinan besar pemerintahan Utsmani telah ambruk. Sebab menterinya inilah yang telah memberikan wibawa dan pengaruh pemerintahan di kalangan musuh-musuhnya. Dia mengadakan kesepakatan dengan Austria yang ditandatangani pada 975 H/1567 M di mana Austria telah menjaga semua kewajibannya yang harus ditanggungnya di negara Hungaria. Austria juga membayar upeti tahunan kepada pemerintahan Utsmani. Pengakuan juga datang dari pemerintahan Valachie, Transilvania, dan Bugdan.
Pada 17 Jumadil Awwal 979 H/17 Oktober 1571 M terjadi Perang Lepanto. Pasukan Utsmani mengepung pasukan Kristen dan mereka menyusup ke tengah-tengah kapal musuh. Perang berkecamuk dengan sengit dan kedua belah pihak memperlihatkan sikap kepahlawanan dan keberanian yang luar biasa.
Ternyata Allah menghendaki kekalahan kaum Muslimin, sehingga pada perang tersebut kehilangan 30.000 tentara. Ada juga yang menyebutkan 20.000 dan menderita kerugian sebanyak 200 kapal perang. Sebanyak 93 di antaranya tenggelam, sedangkan sisanya dirampas musuh dan dibagikan sebagai armada-armada Kristen. Sementara itu, yang menjadi tawanan musuh berjumlah 10.000 orang.
Benua Eropa berpesta pora atas kemenangan mereka di Lepanto. Sebab ini merupakan peristiwa pertama yang mereka raih sejak awal abad ke-15 Masehi, di mana pasukan Utsmani mengalami kekalahan yang sangat tragis. Mereka berteriak-teriak dengan menyebut nama tuhan atas kemenangan yang mereka capai.
Dampak peperangan Lepanto telah menimbulkan pesimisme di kalangan pasukan Utsmani. Kini dominasi kekuatan pasukan Utsmani telah hilang dari Laut Tengah. Dengan hilangnya wibawa Utsman, maka sirna pula rasa takut di tengah warga Eropa yang sebelumnya demikian kuat. Mitos bahwa pasukan Utsmani tidak terkalahkan dan tiada tandingannya, kini musnah sudah. Kekuatan Daulah Utsmaniyah menjadi goyah dalam peta perpolitikan Eropa.
Sejak kekalahan itulah, pemerintahan Utsmani tidak berpikir kembali untuk melakukan pembangunan masa keemasan mereka di lautan. Sebab kekalahan itu juga jadi pertanda titik awal kemerosotan masa kejayaan laut Kekhilafahan Utsmani.
Setelah Perang Lepanto, pemerintahan Utsmani mengubah kebijakannya dengan menjadikan fokus perhatiannya untuk menjaga tempat-tempat suci kaum Muslimin, kemudian Laut Merah dan Teluk Arab sebagai sabuk pengaman bagi tempat-tempat tersebut. Semua itu menuntut adanya armada yang mampu membendung pasukan Portugis.
Sultan Salim II meninggal pada 982 H/1574 H. Para sejarawan menyebutkan sebab kematiannya karena ia terpeleset di kamar mandi, dan jatuh sakit hingga meninggal dunia.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni