Kepemimpinannya Adalah Penaklukan, Hijrahnya Adalah Kemenangan, Keteladanannya Adalah Rahmat, Download Gratis Film Umar Bin Khattab 30 Episode di sini http://omar.collectionfree.com

Sifat Jujur dan Adil Imam Ali Bin Abi Thalib R.A

0 comments

Bukanlah suatu hal yang mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesama kawan.
Tetapi bila ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan.
Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a.

Dalam kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi yang
pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani. Karena merasa
yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan kembali secara baik ia mengadu
kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk menyelesaikan tuntutannya itu, di depan
peradilan Imam Ali r.a. mengatakan bahwa baju besi itu benarbenar miliknya. Ia menegaskan:
"Belum pernah aku menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu
kuhadiahkan kepada orang lain."

Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju
besi itu miliknya yang sah. Tanpa ragu-ragu ia menjawab: "Baju besi ini milikku sendiri. Aku
yakin Amirul Mukminin tidak akan berbuat bohong."
Mendengar keterangan yang berlawanan itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya
sekali lagi: "Apakah anda mempunyai keterangan tambahan?"

Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia
yakin bahwa barang itu memang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sambil
tersenyum: "Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, tetapi aku tidak mempunyai
keterangan tambahan."

Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan bahwa barang yang
dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang menjadi tergugat dalam perkara itu.
Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan diperkenankan pulang membawa barang
tersebut. Dengan wajah berseri-seri mencerminkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat
orang Nasrani itu beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam
Ali r.a. dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang
Nasrani itu berkata: "Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, benar-benar sama seperi hukum
yang berlaku bagi para Nabi!" Kemudian dengan khidmat ia berkata lebih lanjut: "Sekarang aku
bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin,
memang benarlah baju besi ini kepunyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku
mengikuti kafilah anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh salah seorang anggota
pasukan yang sedang kekurangan bekal."

Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan orang Nasrani yang sudah mengikrarkan
syahadat itu: "Karena anda sekarang sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah
menjadi kepunyaan anda!"

Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin lainnya. Mereka ramai
membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu. Benarlah bahwa hanya orang muslim
yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah, yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi
tak ada orang lain yang lebih terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah
jadi muslim itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah kemudian
mencatat, bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang muslim yang sangat gigih membela Imam
Ali r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan
Khawarij di Nehrawan.

Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa tingginya tingkat ketaqwaan,
kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi
dirasa sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan, melainkan sudah menjadi kenikmatan dan
kebahagiaan hidupnya sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan
cinta kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan
oleh putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.

Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a. benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar
dinyatakan benar, yang salah dinyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah
yang dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang yang
berkedudukan atau pun tidak. Dalam pandangan Imam Ali r.a. sebagai penegak hukum Allah,
semua manusia adalah hamba Allah yang sama derajat.

Dalam suatu kesempatan, Aqil bin Abi Thalib --kakak Imam Ali r.a.-- menceritakan
penyaksiannya sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: "Waktu
berkunjung ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang kedatangan seorang
tamu. Ia meminjam uang satu dirham untuk membeli beberapa potong roti. Uang itu belum
cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a. minta supaya
dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman. Qanbar mengambil madu
setakar."

"Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta supaya Qanbar mengambilkan kantong madu untuk
dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali
r.a. bertanya: 'Hai Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wadah madu ini!' Sebagai
jawaban Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari
wadah itu. Mendengar itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: 'Panggil Husein!'…"

Waktu Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera mengambil cambuk, tetapi Al Husein
cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"
Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada
Husein, Imam Ali r.a. bertanya: "Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum
dibagi?" Puteranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas madu. Kalau nanti kami
menerima bagian, akan kami kembalikan."

Dengan suara melunak Imam Ali r.a. menasehati puteranya: "Ayahmu yang akan mengganti!
Tetapi walaupun engkau mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu
sebelum orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah melihat
sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti dengan cambuk ini!"
Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata:
"Belikan dengan uang ini madu yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah diambil!"
"Demi Allah…, demikian kata Aqil, "…seolah-olah sekarang ini aku sedang melihat tangan Ali
memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke dalamnya!"
Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan saudaranya itu. Menurut
penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku
minta bantuan kepadanya (Imam Ali r.a.). Semua anakku kukumpulkan dan kuajak ke
rumahnya. Anak-anakku itu benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di
sana Ali berkata: 'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'…"
Malam hari itu aku datang lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian.
Setibanya di sana anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja
untukmu!"

Aku cepat-cepat mengulurkan tangan karena ingin segera menerima pemberiannya, dan kuduga
itu sebuah kantong. Ternyata yang kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja dibakar.
Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja
berkata kepadaku: "Itu baru besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku
dan engkau dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!"
Setelah ia membaca ayat 71-72 S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: "Dariku
engkau tidak akan memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain
yang sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluargamu."
Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika mendengar cerita tentang peristiwa itu
berkomentar: "Terlalu! Terlalu! Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak
seperti dia!"

Aqil bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di kalangan
orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat orang ahli yang dapat
dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin
Abi Thalib, Makramah bin Naufal Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits
bin Abdul Uzza Al Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal
silsilah dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.
Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada suatu hari Aqil
datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam Ali r.a. ia berkata: "Aku ini
orang butuh, orang miskin… berilah pertolongan kepadaku." "Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya pembagian bersama kaum muslimin lainnya," jawab
Imam Ali r.a.: "Engkau pasti kuberi."

Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a.
memerintahkan seorang: "Bawalah dia pergi ke toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya
mendobrak pintu toko-toko itu dan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya!"
Mendengar perintah Imam Ali r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: "Apakah engkau ingin aku
menjadi pencuri?"

"Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum muslimin dan memberikannya
kepadamu?" jawab Imam Ali r.a.
"Kalau begitu aku mau datang kepada Muawiyah," kata Aqil dengan nada mengancam.
"Terserah," jawab Imam Ali r.a. dengan kontan.
Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi
uang sebesar 100.000 dirham, dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan
berbicara dengan orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan
tentang apa yang telah diberikan Muawiyah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan lantang:
"Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah meminta kepada Ali supaya
memilih: 'aku atau agamanya'. Ternyata ia lebih suka memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku
pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih suka memilih aku daripada agamanya!"
Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. orang tidak segan-segan mengatakan terus
terang, sekalipun di depan Muawiyah. Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah
bertanya kepada Khalid bin Muhammad: "Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?"
"Disebabkan oleh tiga hal," jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. "Ia sanggup
menahan sabar bila sedang marah. Jika berbicara ia selalu berkata benar. Dan jika menetapkan
hukum ia selalu adil." Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa'iqul
Muhriqah."

Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX, halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang
berasal dari Rab'iy bin Hurasy sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh
pemuka-pemuka Qureiys, termasuk Sa'id bin Al Ash, yang waktu
itu duduk di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu
Abbas masuk, Muawiyah berkata kepada Sa'id: "demi Allah, aku akan mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mampu menjawabnya."
Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa'id mengingatkan: "Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu
Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaanmu."
Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya: "Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang
Ali bin Abi Thalib?"

Dengan serta merta Ibnu Abbas menjawab: "Abul Hasan rahimahullah adalah panji hidayat;
sumber taqwa; tempat kecerdasan berfikir; puncak ketinggian akal; cahaya keutamaan
manusiawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke jalan lurus; mengetahui isi
Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menafsirkan dan mentakwilkan dengan berpegang teguh
pada hidayat; menjauhkan diri dari perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari
jalan yang sesat; seorang mukmin dan bertakwa yang terbaik; orang yang paling sempurna
menunaikan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggangrasa
serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah di dunia ini…" dan seterusnya sampai kepada kata-kata: "…seorang suami dari
wanita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah s.a.w."

Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: "Mataku belum pernah melihat ada orang seperti dia dan
tidak akan pernah melihatnya sampai hari kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan
dikutuk selama-lamanya oleh Allah dan oleh seluruh ummat manusia sampai hari kiyamat."
Mendengar keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai
diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah menceritakan penyaksian
ayahnya dengan mengatakan: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk
di balai-balai berselimut kain kumal. Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: "Ya Amiral
Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima
sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda berbuat seperti itu terhadap diri anda sendiri?"
"Demi Allah," sahut Imam Ali r.a., "Aku tidak mau mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini
adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."

'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu
terlalu kasar dan makanan anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"
"Celaka benar engkau itu," jawab Imam Ali r.a. "Allah s.w.t. mewajibkan para pemimpin supaya
menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai
memperkosa penderitaan si miskin."

Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya
sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat perkakas
apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu. Aku segera
bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda
adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul
Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas
selain tikar'…"
"Ya Suwaid," jawab Imam Ali r.a., "dalam rumah yang bersifat sementara ini tidak perlu ada
perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke
sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."

Harun bin Sa'id juga menceritakan penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja'far
bin Abi Thalib datang kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: "Ya
Amiral Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja untukku.
Demi Allah, aku tidak mempunyai uang sama sekali selain harus menjual ternakku."
"Tidak," jawab Imam Ali r.a., "demi Allah, aku tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali
jika engkau menyuruh pamanmu mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta."
Imam Ali r.a. memperlakukan semua sanak keluarganya dengan perlakuan sama seperti
terhadap orang lain. Ia tidak mengistimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan
tidak pula memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga
dilatih dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya. Bahkan
kadang-kadang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup menurut cara-cara
yang diajarkan.

Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa seusai perang "Jamal" Imam Ali r.a. pergi ke
Kufah. Di sana ia masuk ke dalam Baitul Mal sambil berkata: "Hai dunia, rayulah orang selain
aku!" Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu itu
datang anak perempuan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang, kemudian genggaman anak
perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang dipegang. Kami katakan kepadanya:
"Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia mempunyai hak atas barang itu!" Ternyata Imam Ali
menjawab: "Jika ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada
anak ini sesuka hatinya!"

Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali pada prinsipnya memang tidak suka
melihat banyak kekayaan kaum muslimin tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan
sejarah yang ditulis oleh Abu Ja'far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah
Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. meminta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang
perlu dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah itu
Imam Ali r.a. mengemukakan pendapatnya: "Sebaiknya harta yang sudah terkumpul itu
dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan sedikitpun."

Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan tekun beribadah seperti Imam Ali
r.a. itu memang sukar sekali dijajagi. Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa
pemerintahannya ialah persamaan hak dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya
tidak berat sebelah kepada fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah.
Tanah-tanah garapan yang pada masa pemerintahan sebelumnya dibagi-bagikan kepada sanak
famili dan orang-orang terkemuka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut
dan dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu
barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-orang yang berhak berdasarkan prinsip persamaan.
Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri dengan tegas menyatakan
kebijaksanaannya: "Demi Allah, seandainya ada sebagian dari kekayaan itu yang sudah
dipergunakan orang untuk beaya pernikahan atau untuk membeli hamba sahaya perempuan,
pasti aku tuntut pengembaliannya!" Dijelaskan pula olehnya: "Sesungguhnya keadilan itu sudah
merupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan kesempitan di dalam suasana
adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana dzalim."

Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa daerah ialah:
"Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam menghadapi orang-orang yang hidup
kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya adalah juru bicara rakyat. Janganlah kalian
menahan-nahan kebutuhan seseorang dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya.
Untuk keperluan melunasi pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak
atau hamba sahaya yang diperlukan sebagai pembantu dalam pekerjaan. Janganlah sekali-kali
kalian mencambuk seseorang hanya karena dirham!"

Salah satu dari pesan-pesan khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat
dan lain-lainnya, ialah : "Datangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah
berhadapan dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: 'Hai
para hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian untuk
mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang menjadi hak
Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hendaknya hak Allah itu kalian tunaikan
kepada Khalifah-Nya'…"

"Jika orang yang bersangkutan menjawab 'tidak', janganlah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang
itu menjawab 'ya', pergilah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu. Janganlah
kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan pula membentak atau
bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada kalian, emas atau pun perak.
Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak berupa unta atau lainnya, janganlah kalian
masuk untuk memeriksa tanpa seizin dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak
ternak. Jika orang itu memberi izin kepada kalian untuk memeriksanya, janganlah kalian masuk
dengan lagak seperti orang yang berkuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian berbuat sesuatu yang akan
menyusahkan pemiliknya."

"Kemudian apabila harta kekayaan diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih
dan menentukan sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilihannya,
janganlah kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya
kalian tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang
menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta supaya meninggalkan
orang itu, tinggalkanlah dia!"

Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan dan amanatnya secara terperinci agar
jangan sampai terjadi penyalahgunaan dan perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya.
Sedemikian tingginya rasa keadilan yang menghiasi kehidupan Imam Ali r.a., sampai pernah
terjadi, bahwa pada waktu ia menerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan
sepotong roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipotong-potong menjadi
tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi tujuh bagian. Pada tiap
bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.

Sumber

Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Share this article :

Post a Comment

 
TEMPLATE ASWAJA| Umar Bin Khattab - All Rights Reserved