Nama lengkap Al-Muhtadi (869-870 M) adalah Abu Ishaq Muhammad
bin Al-Watsiq bin Al-Mu'tashim bin Harun Ar-Rasyid. Ia dilahirkan pada 219 H.
Ada yang mengatakan 215 H. Dia dikenal dengan sebutan Abu Abdillah. Ia adalah
putra Khalifah Al-Watsiq.
Khalifah Al-Muhtadi termasuk khalifah yang sangat
teguh memegang prinsip. Perilakunya baik, murah hati, dermawan, wara', gemar
beribadah, dan zuhud terhadap kesenangan dunia. Joesoef Sou'yb dalam Sejarah
Daulah Abbasiyah memaparkan ciri khalifah ini dengan kata-kata, "Ia bukan
seorang militer akan tetapi seorang ulama yang menyerahkan hidupnya untuk
kepentingan agama. Dan sikap hidupnya taat dan wara'."
Pembaiatannya menjadi khalifah ke-14 Bani Abbasiyah
terjadi pada Rabu malam bulan Rajab 256 H. Peristiwa itu terjadi ketika Khalifah
Al-Mu'taz mengikrarkan diri untuk mundur dari tampuk kekhalifahan dan pengakuan
terhadap kelemahannya dalam menjalankan roda pemerintahan. Ia lebih suka jabatan
kekhalifahan diserahkan kepada orang yang dianggap lebih mampu, dalam hal ini ia
lebih percaya untuk diserahkan kepada Muhammad bin Al-Watsiq Billah, atau lebih
dikenal dengan sebutan Al-Muhtadi.
Setelah kejadian tersebut, Khalifah Al-Mu'taz segera
mengangkat tangan Al-Muhtadi untuk membaiatnya sebagai khalifah, kemudian
orang-orang pun mengikuti langkahnya untuk membaiat Al-Muhtadi. Setelah itu ia
dibaiat secara khusus oleh Ahlul Halli wal Aqdi dan dibaiat secara massal di
atas mimbar oleh rakyat.
Pada akhir Rajab, terjadi peristiwa besar di Baghdad
dengan tersebarnya fitnah. Para penduduk mendatangi gubernur Baghdad sebagai
perwakilan khalifahnya yang bernama Sulaiman bin Abdullah bin Thahir. Mereka
menyerukan kepada gubernur agar segera membaiat Ahmad bin Al-Mutawakkil, saudara
kandung Al-Mu'taz. Hal itu terjadi karena para penduduk belum mengetahui
peristiwa yang terjadi di Samarra tentang pengangkatan khalifah baru Al-Muhtadi
sebagai pengganti Al-Mu'taz.
Suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada
Khalifah Al-Muhtadi untuk meminta tolong agar dibebaskan dan dihakimi masalah
sengketanya dengan orang lain. Khalifah pun menghukumi dan memberi keputusan
kepada keduanya.
Khalifah Al-Muhtadi memberikan putusan dengan begitu
adil sehingga salah seorang di antara mereka berucap, "Engkau telah menghukumi
dan memutuskan perkara di antara kami dengan wajah yang bersih dan putih berseri
laksana rembulan yang bersinar, yang tidak menerima orang yang menyuap dalam
pengadilannya dan tidak menghiraukan kejahatan orang yang akan
menzalimi."
Tatkala Khalifah Al-Muhtadi mendengar perkataan lelaki
itu, ia berucap, "Semoga Allah membaguskan apa yang engkau katakan. Sesungguhnya
aku tidaklah mengambil manfaat dari apa yang kau katakan tadi, karena
sesungguhnya tidaklah aku duduk di mahkamah ini (hakim) sehingga aku membaca dan
menghayati ayat Al-Qur'an ini: 'Kami akan memasang timbangan yang tepat pada
hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan pahalanya. Dan
cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.' (QS. Al-Anbiya: 47)."
Orang-orang pun menangis mendengar ucapannya tadi.
Tidak pernah ada orang yang menangis lebih banyak jumlahnya daripada hari
itu.
Khalifah Al-Muhtadi biasa melakukan puasa
berturut-turut sejak dilantik menjadi khalifah hingga terbunuh. Ia sangat suka
mengikuti perilaku Khalifah Umar bin Abdul Azis dalam menjalankan pemerintahan,
kewara'an, hidup serba kekurangan, banyak ibadah, dan sangat berhati-hati
mengambil keputusan. Ada banyak kesamaan antara Umar bin Abdul Azis dengan
Al-Muhtadi.
Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa' memaparkan
kisah menarik tentang ibadah Khalifah Al-Muhtadi ini. Suatu malam menjealng Isya
di bulan Ramadhan, Hasyim bin Qasim sedang menemani Khalifah Al-Muhtadi. Setelah
shalat Isya, sang khalifah mengajak Hasyim makan malam.
Sajian malam itu sangat sederhana. Hasyim mengira
setelah makanan itu akan ada lagi makanan lainnya. Ketika hal itu disampaikan
kepada khalifah, ia menjawab, "Di kalangan Bani Umayyah ada seorang bernama Umar
bin Abdul Azis. Engkau tahu bagaimana ia menyikapi dunia ini? Aku cemburu dengan
apa yang dilakukan Bani Hasyim. Maka aku mengambil sikap seperti yang engkau
saksikan."
Khalifah Al-Muhtadi wafat pada Senin, 14 Rajab 257 H.
Ia hanya memerintah setahun kurang lima hari. Ja'far bin Abdul Malik ikut
menshalatkan dan menguburkannya dekat makam Al-Muntashir bin
Al-Mutawakkil.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni