Beberapa waktu sesudah perang Ahzab (Khandaq), Rasul Allah s.a.w. berangkat membawa kaum muslimin kurang lebih 1500 orang. Beliau berangkat ke Makkah bukan dengan maksud untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Tak ada sebilah pedang yang terhunus.
Berita tentang keberangkatan Rasul Allah s.a.w. ini sampai juga kepada kaum Qureiys. Mendengar berita itu kaum Qureiys segera membikin persiapan. Mereka khawatir kalau-kalau keberangkatan Rasul Allah s.a.w. itu hanya merupakan tipu muslihat untuk menyerbu Makkah. Khalid bin Al Walid dan pasukannya menghadang kaum muslimin di tempat beberapa mil jauhnya di luar kota Makkah. Rasul Allah s.a.w. setelah mendengar berita gerak-gerik pasukan Qureiys itu tetap melanjutkan perjalanan. Untuk menghindari konflik senjata beliau dengan sejumlah sahabat menempuh jalan lain, meskipun jalan itu agak sulit dilewati. Akhirnya beliau tiba di sebuah tempat bernama Hudaibiyah.
Mengetahui perkembangan baru yang ditempuh oleh rombongan Rasul Allah s.a.w. Khalid bin Al Walid dan pasukannya segera kembali ke Makkah untuk mempertahankan kota. Ketika itu semua orang Qureiys sudah dihinggapi kegelisahan dan khawatir menghadapi kaum muslimin. Walaupun begitu mereka tetap bertekad hendak mencegah masuknya rombongan Rasul Allah s.a.w. dengan cara apa saja. Selang beberapa hari, fihak Qureiys mengirim utusan kepada Nabi Muhammad s.a.w. guna mengetahui benar-benar apa yang sesungguhnya menjadi maksud kedatangan beliau dan rombongan. Setelah melakukan dialog seperlunya, perutusan itupun kembali. Mereka percaya, bahwa kedatangan kaum muslimin benar-benar hendak menunaikan ibadah haji. Sewaktu hal itu dilaporkan, kaum musyrikin Qureiys tak mempercayainya. Malahan perutusan itu dituduh berkhianat hendak membantu Rasul Allah s.a.w.
Kaum musyrikin mengirim utusan lagi dipimpin seorang gembong terkemuka. Hasilnya sama saja dengan perutusan yang pertama: Kaum musyrikin Qureiys masih tak percaya. Kini dikirim utusan seorang saja, yaitu 'Urwah bin Mas'ud Ats Tsaqafiy. Sekembalinya dari perundingan dengan Nabi Muhammad s.a.w., 'Urwah mengemukakan kepada kaum musyrikin Qureiys, bahwa "Rasul Allah s.a.w. menawarkan satu rencana yang baik, oleh sebab itu terimalah!"
Sejalan dengan itu Rasul Allah sendiri kemudian mengirim seorang utusan, yaitu Kharrasiy Al Khuza'iy guna menemui orang Qureiys. Musyrikin Qureiys tidak mau menerima utusan itu. Bahkan unta kendaraannya dibantai dan hampir saja ia dibunuh, kalau tidak dicegah oleh salah seorang gembong Qureiys.
Rasul Allah s.a.w. berusaha terus. Kali ini yang dikirim Utsman bin Affan r.a. Ia baru masuk Makkah setelah ada jaminan dari anak pamannya, Aban bin Sa'id Al Ash. Dalam pertemuannya dengan orang-orang Qureiys, Utsman bin Affan menjelaskan maksud kedatangan Rasul Allah s.a.w. dan rombongan tidak lain hanya ingin menunaikan ibadah haji.
Kaum musyrikin Qureiys memang kepala batu. Utsman bin Affan mereka tahan selama 3 hari. Di kalangan kaum muslimin terdengar desas-desus bahwa Utsman bin Affan telah mati dibunuh. Untuk menghadapi kemungkinan Utsman bin Affan r.a. benar-benar dibunuh oleh orang-orang Qureiys, Nabi Muhammad berseru kepada para sahabatnya supaya menyatakan janji setia (bai'at) guna melancarkan serangan menuntut bela melawan penghianatan Qureiys. Kaum muslimin berlomba-lomba menyambut seruan beliau. Mereka siap memanggul senjata untuk berperang melawan Qureiys.
Janji setia kaum muslimin kepada Rasul Allah s.a.w. yang bersejarah itu dilakukan oleh mereka di bawah sebatang pohon. Peristiwa itu dikenal dengan nama "Bai'atur Ridhwan" (janji setia yang diridhoi Allah). Satu peristiwa yang dipuji Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al Fath:l8 (A1 Qur'an).
Mendengarkan kebulatan tekad kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. itu, kaum musyrikin Qureiys merasa gentar. Mereka sudah mengenal betapa gigihnya kaum muslimin berperang, seperti yang telah dibuktikan pada masa-masa yang lalu. Musyrikin Qureiys mengirim utusan yang dipimpin oleh Suhail bin Amr. Setelah perutusan itu mengadakan perundingan dengan Rasul Allah s.a.w., dua belah fihak sepakat untuk menanda-tangani sebuah perjanjian gencatan senjata.
Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan nashah perjanjian yang akan ditanda-tangani oleh kedua belah fihak. Sedangkan beliau sendiri mendiktekan syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Pertama-tama beliau berkata: "Tulislah: "Bismillaahi ar-Rahman ar-Rahim . . ."
Mendengar kalimat itu Suhail menukas: "Berhenti dulu. Aku tidak mengerti apa ar-Rahman ar- Rahim" itu! Tulis saja "Dengan nama-Mu, ya Allah. . ."
Tanpa menyangkal lagi Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menulis apa yang diminta oleh Suhail. Kemudian beliau meneruskan, "Tulislah: 'Inilah perjanjian yang diadakan oleh Muhammad Rasul Allah dengan Suhail bin 'Amr'…"
Suhail memotong "Berhenti dulu. Kalau aku percaya engkau Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu. Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu...!"
Rasul Allah menuruti apa yang diminta oleh Suhail. Beliau memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan kalimat: "Inilah perjanjian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah..." dst. Kemudian dilanjutkan dengan penulisan teks syarat-syarat perjanjian yang terdiri dari empat pokok:
1. Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak berlaku selama masa 10 tahun.
2. Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemudian bergabung dengan Rasul Allah s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembalikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys. Sebaliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembali ke fihak Qureiys, orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembalikan kepada Rasul Allah.
3. Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orang-orang Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.
4. Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang meninggalkan Makkah. Mereka berhak untuk kembali lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk berziarah ke Baitul Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Tidak lama setelah "Perjanjian Hudaibiyah" itu ditandatangani, Banu Khuza'ah segera menyatakan bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. Sedangkan Banu Bakr menyatakan bersekutu dengan fihak Qureiys.
Dengan perjanjian tersebut kaum muslimin memperoleh kesempatan leluasa untuk menyiarkan agama Islam kepada orang-orang Arab di luar kaum musyrikin Qureiys, dan memperoleh waktu yang cukup untuk membangun dan memperkuat negeri.
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment