Perjalanan ke Mada'in
Tengah malam pasukan Muslimin sudah memasuki kota Bahrasir. Tak ada yang merintangi mereka untuk cepat-cepat pergi ke arah Tigris untuk menyeberang dan menyerbu Mada'in serta daerah-daerah sekitarnya. Tetapi jembatan untuk penyeberangan sudah tak ada lagi, juga tak ada kapal yang dapat membawa mereka. Mereka berhenti di tepi sungai. Pemandangan yang mereka lihat di depannya sungguh memukau.
Mereka hanya berdiri tercengang, melihat semua itu dengan mata terbelalak, dengan hati bergolak, hampir tidak percaya apa yang sedang mereka saksikan di depan mereka itu: Sebuah bangunan besar yang sungguh indah, megah dan mewah, berdiri di depan mereka di seberang pantai dengan ketinggian yang tak biasa buat mata mereka, tampak ciri warna putih, kendati dalam malam gelap pekat. Malam terasa lembut, langit bersih dan angin bertiup semilir sedap menambah kelembutan malam dan pemandangan yang begitu indah dan agung. Pasukan itu menahan napas, mata terbelalak, mulut ternganga, karena perasaan yang sudah dikuasai rasa kagum. Berturut-turut kelompok-kelompok pasukan itu datang ke pantai sungai. Mereka berdiri masih dipengaruhi kekaguman, seolah mereka sudah terpaku di tempat masing-masing.
Sesudah kemudian datang Dirar bin Khattab dan rombongannya dan melihat seperti yang mereka lihat, ia bertakbir dengan sekuat-kuatnya: Allahu Akbar! Inilah warna putih istana Kisra! Inikah yang dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya? Ketika itulah suara takbir itu bergenia dari segenap penjuru. Mereka semua yakin sekarang, bahwa mereka sudah di depan Ruang Sidang Istana Kisra, yang selama ini sering mereka dengar disebutkan dalam sajak-sajak para penyair dan menjadi buah bibir orang, sehingga mereka hanya menyerah kepada kerinduan untuk menyeberang ke Iwan Kisra, Ruang Sidang Istana itu, lalu mengelilinginya untuk memuaskan mata, kemudian memasukinya.
Mereka ingin melihat Takhta Kisra di depan balairungnya yang agung itu, ingin panglima tinggi mereka duduk di atas takhta itu mengucapkan kalimat tauhid, lalu disambut dengan gema suara di segenap penjuru istana, bahwa Allah telah menepati janji-Nya: Dijadikan-Nya seruan orang kafir menyuruk jatuh sampai ke dasar dan firman Allah menjulang tinggi sampai ke puncak. Allah Mahamulia, Mahabijaksana.
Tidak heran jika pasukan Muslimin dibuat begitu tercengang melihat istana Kisra. Istana ini termasuk salah satu keajaiban dunia saat itu. Bukan tuanya yang menimbulkan kekaguman, ketika itu usianya belum begitu lama, pembangunannya belum sampai seratus tahun. Tetapi keindahan dan keagungannya itulah yang telah menimbulkan kekaguman. Dibangun oleh Kisra Anusyirwan tahun 550 M., sebuah bentuk bangunan yang telah mengalahkan bangunan Rumawi dan Yunani yang paling megah sekalipun. Bagian depannya lebih dari seratus lima puluh meter dan tingginya melebihi empat puluh meter, dengan kubah-kubah yang bertengger di atas balairungnya yang lima buah menjadi mahkota yang menambah keindahan dan keagungannya.
Orang-orang Arab yang kini matanya sedang terpaku itu ingin tahu kekayaan apa yang ada di balik keindahan itu. Sudah tentu semua itu di luar yang dapat dibayangkan. Serambi yang berada di tengahnya, kubahnya yang lebih tinggi daripada semua kubah, dan sudah tentu Ruang Sidang Istana inilah yang belum pernah didengar orang ada bandingannya di seluruh dunia. Bukankah cerita-cerita sudah banyak beredar tentang Takhta Kisra serta permata berlian yang menghiasinya sehingga tak ubahnya seperti sebuah dongeng!? Semua itu sekarang, Takhta, Ruang Sidang Istana dan Istananya berdiri utuh di depan pasukan itu, yang hanya dipisahkan oleh sungai, dan ini pula yang setiap saat keindahannya makin memukau. Kapan gerangan mereka akan menyeberanginya dan melihat dengan mata kepala sendiri semua isinya?!