Panglima Alhushain bin Alnamir dari Syria yang
bertugas menaklukkan pasukan Abdullah bin Zubair di Makkah, menemukan jalan
buntu. Karena tak mampu menembus pertahanan lawan dan mendengar berita wafatnya
Khalifah Yazid bin Muawiyah, Alhushain menyerukan gencatan senjata. Abdullah bin
Zubair tidak keberatan.
Masa damai itu membuat kedua pasukan membaur satu sama
lain, seolah tak terjadi permusuhan. Anggota pasukan dari Syria dengan bebas
melaksanakan umrah, thawaf di sekitar Ka’bah, dan sa’i antara Shafa dan
Marwah.
Ketika thawaf itulah, Panglima Alhushain bin Alnamir
berpapasan dengan Abdullah bin Zubair. Sambil memegang lengan Abdullah,
Alhushain berbisik, “Apakah anda mau berangkat bersamaku ke Syria? Saya akan
berupaya supaya orang banyak mengangkat anda sebagai khalifah.”
Abdullah bin Zubair menarik lengannya seraya
menjawab, “Bagiku tak ada pilihan lain kecuali perang. Bagi setiap satu korban
di tanah Hijaz, harus ditebus dengan sepuluh korban di Syria.”
Panglimah Alhushain menjawab dengan kata-kata yang
cukup terkenal dalam sejarah, “Bohong orang yang menganggap anda sebagai
cendekiawan Arab. Saya bicara dengan berbisik, tetapi anda menjawab dengan
berteriak.”
Tidak lama setelah itu, Alhushain dan pasukannya
kembali ke Syria. Boleh jadi, tawarannya bukan basa-basi. Sebab, di Syria
sendiri sedang terjadi kemelut yang cukup mengkhawatirkan. Sepeninggal Yazid bin
Muawiyah, ditunjuklah putranya, Muawiyah bin Yazid sebagai khalifah yang kala
itu berusia 23 tahun.
Berbeda dengan ayahnya, Muawiyah bin Yazid lebih
mengutamakan ibadah ketimbang urusan duniawi. Hari-harinya dipenuhi dengan
keshalihan dan ketaatan. Jabatan sebagai khalifah bukanlah keinginannya, tetapi
warisan dari sang ayah.
Muawiyah bin Yazid bukanlah seorang negarawan, tetapi
seorang ahli agama. Ia sendiri merasa tidak layak menduduki jabatan khilafah. Ia
merasa tak sanggup menghadapi urusan pemerintahan dan kenegaraan. Apalagi
sepeninggal ayahnya, Yazid bin Muawiyah, bumi Syria terus dilanda kemelut.
Didukung lagi oleh pangaruh Abdullah bin Zubair di tanah Hijaz yang semakin
meluas.
Dengan segala pertimbangan itu, akhirnya khalifah
ketiga Bani Umayyah ini menyatakan mundur dari jabatan khalifah setelah hanya
tiga bulan memerintah. Di hadapan para tokoh istana, ia menyerahkan jabatannya.
Para pemuka istana dan tokoh keluarga Bani Umayyah memintanya untuk menunjuk
seorang pengganti.
Namun, cucu pendiri Daulah Umayyah itu dengan tegas
menjawab, “Aku bukan seperti Abu Bakar yang mampu menunjuk seorang pengganti.
Aku belum menemukan seorang pun di antara kalian yang mempunyai keutamaan
seperti Umar bin Al-Khathab. Aku juga bukan seperti Umar yang bisa menunjuk Ahli
Syura. Kalian lebih tahu dan pilihlah orang yang kalian kehendaki.”
Sejak saat itu, Muawiyah bin Yazid menyerahkan
hidupnya hanya untuk beribadah dengan uzlah (mengasingkan diri). Menjelang
pengujung tahun 64 H/684 Masehi, ia meninggal dunia dalam usia masih belia, 23
tahun. Ada yang mengatakan kematiannya tidak wajar, ia dibunuh secara
diam-diam.
Sepeninggalnya, terjadi perpecahan di wilayah Syam
(Syria dan Palestina). Satu pihak cenderung mengikuti pendirian penduduk Hijaz
untuk mengangkat baiat atas Abdullah bin Zubair yang berkedudukan di Makkah.
Apalagi penduduk wilayah Irak dan Iran telah menyatakan baiat. Abdullah bin
Ziyad yang menjabat gubernur wilayah itu buru-buru melarikan diri ke Syria untuk
meminta perlindungan dari para tokoh Bani Umayyah.
Dengan demikian, wilayah kekuasaan Abdullah bin Zubair
sudah meliputi Hijaz, Yaman, Irak dan Iran. Sebuah perutusan yang berangkat dari
Mesir ke Makkah membawa berita bahwa penduduk bumi Piramida itu pun menyatakan
dukungan atas Abdullah bin Zubair.
Sementara itu, perpecahan di wilayah Syam semakin
tajam. Pihak yang mendukung Abdullah bin Zubair dipimpin oleh Dhahak bin Qais.
Sedangkan di belahan utara wilayah Syam, tepatnya di kota Hims dan Halab,
gerakan pendukung Abdullah dipimpin Nu’man bin Basyir Al-Anshari. Gerakan ini
semakin meluas sehingga hampir mampu menguasai istana Bani Umayyah yang sedang
kritis.
Oleh sebab itu, kalau Abdullah bin Zubair menerima
tawaran Panglima Alhushain untuk berangkat ke Syria, tidak mustahil ia akan
dibaiat oleh banyak orang. Apalagi dari sisi keturunan, ia termasuk keluarga
dekat Rasulullah Saw. Namun sejarah tak menghendaki hal itu. Abdullah bin Zubair
bersikeras menetap di wilayah Hijaz dengan segala dukungan penduduknya. Agaknya,
apa yang menimpa Husain bin Ali bin Abi Thalib, begitu membekas di
benaknya.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni