Ahmad III—lahir 30 Desember 1673 dan wafat 1 Juli 1730—adalah putra Sultan Muhammad IV. Ia naik
tahta menjadi Sultan Turki Utsmani pada 1703, menggantikan saudaranya, Musthafa
II.
Sultan Ahmad III membangun hubungan baik dengan Inggris, mengingat adanya ancaman Rusia. Negaranya memberikan perlindungan pada Raja Karl XII dari Swedia yang kalah perang dalam Pertempuran Poltava pada 1709 di zaman Tsar Pyotr Agung. Karena harapannya untuk berperang melawan Rusia, sultan ini mengumumkan perang terhadap saingannya di utara. Di bawah pimpinan Wazir Agung Baltaji Mahommed, pasukan Turki Utsmani berhasil memaksa Rusia bertekuk lutut di sungai Prut pada 1711.
Perang itu diakhiri dengan perjanjian yang menuntut pengembalian Azov kepada Turki, penghancuran sejumlah benteng yang dibangun untuk Rusia, sedangkan Tsar bejanji untuk berhenti ikut campur dalam urusan Persemakmuran Polandia-Lithuania. Harapan sultan untuk menerobos Moskow hampir saja berhasil kalau saja tidak ada serangan Safawid ke negaranya.
Serangan Persia menimbulkan kekacauan di dalam negeri, menimbulkan pemberontakan Yennisari, yang menyebabkannya turun tahta pada bulan September 1730. Ia mangkat dalam tahanan lima tahun kemudian.
Pemerintahan Ahmad III—yang berlangsung selama 27 tahun—dianggap tidak berhasil, karena wilayah Balkan terpaksa hilang ke tangan Monarki Habsburg. Walau demikian, pada masanya, panji jihad masih terus berkibar. Pasukan Utsmani mampu mengambil alih Moroh dan Azaq dan meneruskan jihad ke Eropa. Bahkan mereka mampu memukul mundur Rusia.
Tatkala Rusia melihat kelemahan Kerajaan Utsmani, mereka menuntut untuk memberika kebebasan bagi para pedagang asing dan para peziarah Baitul Maqdis untuk bisa melewati wilayah kekuasaan Utsmani, tanpa harus membayar uang bea cukai apa pun. Pemerintahan Utsmani menyetujui permintaan tersebut.
Pasukan Utsmani berhasil menduduki wilayah Armenia dan Georgia. Sementara itu, Petrus Agung berhasil menguasai wilayah Dagestan dan Laut Kharaz bagian barat karena lemahnya pemerintahan Safawid. Hampir saja pecah perang antara dua pasukan, andaikata Prancis tidak menjadi penengah antara kedua kubu sesuai dengan permintaan Rusia. Kedua pihak tetap berada di wilayah masing-masing tanpa melakukan penyerangan pada pihak lain.
Ternyata orang-orang Safawid menyerang dan membunuh pasukan Utsmani. Kendati mereka akhirnya kalah dan diharuskan menandatangani perjanjian damai pada 1140 H/1728 M. Pada masa itulah kelompok Inkisyariyah melakukan pemberontakan dan menurunkan Sultan Ahmad III. Setelah itu, mereka menobatkan keponakannya untuk menjadi sultan.
Sekelompok kecil orang-orang Utsmani menyerukan sultan untuk melakukan perubahan agar mereka bisa mencapai kemajuan, sebagaimana yang telah dicapai Eropa dari sisi kekuatan tentara dan persenjataan. Ibrahim Pasya yang saat itu menjadi Perdana Menteri di masa Sultan Ahmad III adalah orang pertama dari pejabat Utsmani yang dengan terbuka mengakui pentingnya mengenal Eropa secara lebih dekat.
Untuk itulah Sultan Ahmad III membangun komunikasi intensif dengan para duta besar Eropa. Dia juga dengan intensif mengirimkan pada duta besar Kekhalifahan Utsmani ke ibukota-ibukota Eropa dan secara khusus Wina dan Paris untuk pertama kalinya.
Mereka diutus bukan hanya untuk menandatangani kesepakatan damai dan diplomasi semata, namun juga meminta para duta besar itu untuk memberi pengetahuan baru pada pemerintahan Utsmani tentang diplomasi dan kekuatan Eropa. Ini juga berarti bahwa pemerintahan Utsmani mengakui satu hal yang realistis, bahwa sangat tidak mungkin bagi pemerintahan Utsmani untuk tidak mengakui perkembangan yang sedang terjadi di Eropa.
Perngaruh Eropa sangat terasa dalam pembangunan istana-istana dan pemborosan yang demikian kentara dilakukan sendiri oleh Sultan Ahmad III dalam skala besar. Dengan demikian ia telah meniru gaya dan kehidupan ala Eropa yang berhubungan dengan aksesoris dan hiasan rumah, pembangunan istana, dan taman-taman.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni