Umar pernah berkata, “Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah
kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu lagi
digunakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja
dengan makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang
paling kaya di antara mereka. Aku sendiri hanyalah salah seorang dari
kaum muslimin.”19
Jika menugaskan para gubernurnya, Umar akan menulis perjanjian yang
disaksikan oleh kaum Muhajirin. Umar mensyaratkan kepada mereka agar
tidak menaiki kereta kuda, tidak memakan makanan yang enak-enak, tidak
berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat
yang membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini maka akan
mendapatkan hukuman.20
Jika seseorang berbicara kepadanya menyampaikan berita, dan ia
berbohong dalam sepatah atau dua patah kalimat, maka Umar akan segera
menegurnya dan berkata, “Tutup mulutmu, tutup mulutmu!” Maka lelaki
yang berbicara kepadanya berkata, “Demi Allah sesungguhnya berita yang
aku sampaikan kepadamu adalah benar kecuali apa yang engkau perintahkan
aku untuk menutup mulut.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan berkata, “Adapun Abu Bakar, ia tidak
sedikitpun menginginkan dunia dan dunia juga tidak ingin datang
menghampirinya. Sedangkan Umar, dunia datang menghampirinya namun dia
tidak menginginkannya, adapun kita bergelimang dalam kenikmatan dunia.
Pernah Umar dicela dan dikatakan kepadanya, “Alangkah baik jika
engkau memakan makanan yang bergizi tentu akan membantu dirimu supaya
lebih kuat membela kebenaran.” Maka Umar berkata, “Sesungguhnya aku
telah meninggalkan kedua sahabatku (yakni Rasulullah dan Abu Bakar,
pent.) dalam keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia, pent.) maka
jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku takut tidak akan dapat
mengejar kedudukan mereka.”21
Beliau selalu memakai jubah yang terbuat dari kulit yang banyak
tambalannya sementara beliau adalah Khalifah-, berjalan mengelilingi
pasar sambil membawa tongkat di atas pundaknya untuk memukul orang-orang
yang melanggar peraturan. Jika beliau melewati biji atupun lainnya
yang bermanfaat, maka beliau akan mengambilnya dan melemparkannya ke
halaman rumah orang.22
Anas berkata, “Antara dua bahu dari baju Umar, terdapat empat
tambalan, dan kainnya ditambal dengan kulit. Pernah beliau khutbah di
atas mimbar mengenakan kain yang memiliki 12 tambalan.23
Ketika melaksanakan ibadah haji beliau hanya menggunakan 16 dinar,
sementara beliau berkata kepada anaknya, “Kita terlalu boros dan
berlebihan.
Beliau tidak pernah bernaung di bawah sesuatu, tetapi beliau akan
meletakkan kainnya di atas pohon kemudian bernaung di bawahnya. Beliau
tidak memiliki kemah ataupun tenda.24
Ketika memasuki negeri Syam saat penaklukan Baitul Maqdis beliau
mengendarai seekor unta yang telah tua. Kepala beliau yang botak
bersinar terkena matahari. Waktu itu beliau tidak mengenakan topi
ataupun sorban. Kaki beliau menjulur ke bawah kendaraan tanpa pelana.
Beliau membawa satu kantong yang terbuat dari kulit yang digunakan
sebagai alas untuk tidur jika beliau berhenti turun.
Ketika singgah di Baitul Maqdis beliau segera memanggil pemimpin
wilayah itu dan berkata, “Panggil kemari pemimpin wilayah ini.”
Orang-orang segera memanggilnya, ketika hadir Umar berkata padanya,
“Tolong cucikan bajuku ini sekaligus jahitkan dan pinjami aku baju.”
Maka dibawakan kepada beliau baju yang terbuat dari katun. Beliau
bertanya, “Apa ini?” Dikatakan kepadanya bahwa baju ini dibuat dari
katun. Beliau bertanya kepada mereka, “Apa itu katun?” Mereka
memberitahukan kepadanya apa itu katun. Umar segera melepas bajunya lalu
mencuci kemudian menjahitnya. Setelah kering beliau mengenakannya
kembali. Melihat hal tersebut pemimpin wilayah itu berkata padanya,
“Engkau adalah penguasa Arab, di negeri ini tidak pantas seseorang
mengendarai unta.” Maka segera dibawakan kepadanya kuda yang bagus. Umar
segera melepas pelana dan pedalnya lalu menaikinya. Ketika Umar mulai
mengendarainya, kuda tersebut berjalan dengan liar, beliau segera
memerintahkan kepada orang yang bersamanya, “Tahan kuda ini! Aku tidak
mengira jika orang-orang di sini suka mengendarai setan-setan, tolong
berikan untaku kembali!” Setelah itu beliau turun dan kembali
mengendarai untanya.25
Diriwayatkan dari Anas ia berkata, “Aku pernah bersama Umar, kemudian
beliau masuk ke kebun untuk buang hajat -sementara jarak antara diriku
dan dirinya hanyalah pagar kebun- aku dengar la berkata sendiri, “Hai
Umar bin al-Khaththab, engkau adalah Amirul mukminim, ya… engkau adalah
Amirul mukminin! Demi Allah takutlah engkau kepada Allah Hai Ibn
al-Khaththab, jika tidak Allah pasti akan mengadzabmu.”26
Disebutkan bahwasanya Umar رضي الله عنه pernah membawa tempat air di
atas pundaknya. Sebagian orang mengkritiknya, namun beliau berkata,
“Aku terlalu kagum terhadap diriku sendiri oleh karena itu aku ingin
menghinakannya.” Pernah beliau melaksanakan Shalat Isya’ bersama kaum
muslimin, setelah itu beliau segera masuk ke rumah dan masih terus
mengerjakan shalat hingga fajar tiba.”
Pada waktu tahun paceklik dan kelaparan beliau tidak pernah makan
kecuali roti dan minyak hingga kulit beliau berubah menjadi hitam,
beliau berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang
sementara rakyatku kelaparan.
Pada wajah beliau terdapat dua garis hitam disebabkan banyak
menangis. Terkadang beliau mendengar ayat Allah dan jatuh pingsan karena
perasaan takut, hingga terpaksa dibopong ke rumah dalam keadaan
pingsan. Kemudian kaum muslimin menjenguk beliau beberapa hari, padahal
beliau tidak memiliki penyakit yang membuat beliau pingsan kecuali
perasaan takutnya27
Thalhah bin Ubaidillah berkata, “Suatu ketika Umar keluar dalam
kegelapan malam dan masuk ke salah satu rumah, maka pada pagi hari aku
mencari rumah tersebut dan aku datangi, ternyata dalam rumah itu
terdapat seorang perempuan tua yang buta sedang duduk. Aku tanyakan
kepadanya, Mengapa lelaki ini (Umar) datang ke rumahmu?” Wanita itu
menjawab, “Ia selalu mengunjungiku setiap beberapa hari sekali untuk
membantuku membersihkan dan mengurus segala keperluanku.” Aku berkata
kepada diriku, “Celakalah dirimu wahai Thalhah, kenapa engkau
memata-matai Umar?”
Aslam Maula Umar berkata, “Pernah datang ke Madinah satu rombongan
saudagar, mereka segera turun di mushalla, maka Umar berkata kepada
Abdurrahman bin Auf, ‘Bagaimana jika malam ini kita menjaga mereka?’
Abdurrahman berkata, ‘Ya, aku setuju!’ Maka keduanya menjaga para
saudagar tersebut sepanjang malam sambil shalat. Namun tiba-tiba Umar
mendengar suara anak kecil menangis, segera Umar menuju tempat anak itu
dan bertanya kepada ibunya, ‘Takutlah engkau kepada Allah dan berbuat
baiklah dalam merawat anakmu.’ Kemudian Umar kembali ke tempatnya.
Kemudian la mendengar lagi suara bayi itu dan ia mendatangi tempat itu
kembali dan bertanya kepada ibunya seperti pertanyaan beliau tadi.
Setelah itu Umar kembali ke tempatnya semula. Di akhir malam dia
mendengar bayi tersebut menangis lagi. Umar segera mendatangi bayi itu
dan berkata kepada ibunya, ‘Celakalah engkau, sesungguhnya engkau adalah
ibu yang buruk, kenapa aku mendengar anakmu menangis sepanjang malam?’
Wanita itu menjawab, ‘Hai tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya
dan memalingkan perhatiannya untuk menyusu tetapi dia masih tetap ingin
menyusu.’ Umar bertanya, ‘Kenapa engkau akan menyapihnya?’ Wanita itu
menjawab, ‘Karena Umar hanya memberikan jatah makan terhadap anak-anak
yang telah disapih saja.’ Umar bertanya kepadanya, ‘Berapa usia
anakmu?’ Dia menjawab, ‘Baru beberapa bulan saja.’ Maka Umar berkata,
‘Celakalah engkau kenapa terlalu cepat engkau menyapihnya?’ Maka ketika
shalat subuh bacaan beliau nyaris tidak terdengar jelas oleh para
makmum disebabkan tangisnya.
Beliau berkata, ‘Celakalah engkau hai Umar berapa banyak anak-anak
bayi kaum muslimin yang telah engkau bunuh.’ Setelah itu ia menyuruh
salah seorang pegawainya untuk mengumumkan kepada seluruh orang,
Janganlah kalian terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, sebab kami
akan memberikan jatah bagi setiap anak yang lahir dalam Islam.’ Umar
segera menyebarkan berita ini ke seluruh daerah kekuasaannya. 28
Aslam berkata, “Pernah suatu malam aku keluar bersama Umar ke luar
kota Madinah. Kami melihat ada sebuah tenda dari kulit, dan segera kami
datangi, ternyata di dalamnya ada seorang wanita sedang menagis. Umar
bertanya tentang keadaannya, dan dia menjawab, ‘Aku adalah seorang
wanita Arab yang akan bersalin (melahirkan) sedang tidak memiliki
apapun.’ Umar menangis dan segera berlari menuju rumah Ummu Kaltsum
binti Ali bin Abi Thalib -istrinya-, dan berkata, ‘Apakah engkau mau
mendapatkan pahala yang akan Allah karuniakan kepadamu?’ Segera Umar
memberitakan padanya mengenai wanita yang dilihatnya tadi, maka istrinya
berkata, ‘Ya, aku akan membantunya.’ Umar segera membawa satu karung
gandum beserta daging di atas bahunya, sementara Ummu Kaltsum membawa
peralatan yang dibutuhkan untuk bersalin, keduanya berjalan mendatangi
wanita tersebut. Sesampainya di sana Ummu Kaltsum segera masuk ke tempat
wanita itu, sementara Umar duduk bersama suaminya -yang tidak mengenal
Umar sambil berbincang-bincang.
Akhirnya wanita itu berhasil melahirkan seorang bayi. Ummu Kaltsum
berkata kepada Umar, ‘Wahai Amirul mukminin sampaikan berita gembira
kepada suaminya bahwa anaknya yang baru lahir adalah lelaki.’ Ketika
lelaki itu mendengar perkataan Amirul Mukminin ia merasa sangat kaget
dan minta maaf kepada Umar. Namun Umar berkata kepadanya, ‘Tidak
mengapa. Setelah itu Umar memberikan kepada mereka nafkah dan apa yang
mereka butuhkan lantas beliaupun pulang.
Aslam berkata, “Suatu malam aku keluar bersama Umar bin al-Khaththab ke dusun Waqim. Ketika kami sampai di Shirar29
kami melihat ada api yang dinyalakan. Umar berkata, ‘Wahai Aslam di
sana ada musafir yang kemalaman, mari kita berangkat menuju mereka.’
Kami segera mendatangi mereka dan ternyata di sana ada seorang wanita
bersama anak-anaknya sedang menunggu periuk yang diletakkan di atas api,
sementara anak-anaknya sedang menangis, Umar bertanya, ‘Assalamu
alaiki wahai pemilik api.’ Wanita itu menjawab, ‘Wa alaika as-Salam’,
Umar berkata, ‘Kami boleh mendekat?’ Dia menjawab, ‘Silahkan!’ Umar
segera mendekat dan bertanya, ‘Ada apa gerangan dengan kalian?’ Wanita
itu menjawab, ‘Kami kemalaman dalam perjalanan serta kedinginan.’ Umar
kembali bertanya, Kenapa anak-anak itu menagis?’ Wanita itu menjawab,
‘Karena lapar.’ Umar kembali bertanya, ‘Apa yang engkau masak di atas
api itu?’ Dia menjawab, ‘Air agar aku dapat menenangkan mereka hingga
tertidur. Dan Allah kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar.
Maka Umar menangis dan segera berlari pulang menuju gudang tempat
penyimpanan gandum. Ia segera mengeluarkan sekarung gandum dan satu
ember daging, sambil berkata, ‘Wahai Aslam naikkan karung ini ke atas
pundakku.’ Aslam berkata, ‘Biar aku saja yang membawanya untukmu.’ Umar
menjawab, ‘Apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari Kiamat?’ Maka
beliau segera memikul karung tersebut di atas pundaknya hingga
mendatangi tempat wanita itu. Setelah meletakkan karung tersebut beliau
segera mengeluarkan gandum dari dalamnya dan memasukkannya ke dalam
periuk. Setelah itu ia memasukkan daging ke dalamnya. Umar berusaha
meniup api di bawah periuk hingga asap menyebar di antara jenggotnya
untuk beberapa saat. Setelah itu Umar menurunkan periuk dari atas api
dan berkata, ‘Berikan aku piring kalian!’. Setelah piring diletakkan
segera umar menuangkan isi periuk ke dalam piring itu dan
menghidangkannya kepada anak-anak wanita itu dan berkata, ‘Makanlah!’
Maka anak-anak itu makan hingga kenyang, wanita itu berdoa untuk Umar
agar diberi ganjaran pahala sementara dia sendiri tidak mengenal Umar.
Umar masih bersama mereka hingga anak-anak itu tertidur pulas.
Setelah itu Umar memberikan kepada mereka nafkah lantas pulang. Umar
berkata kepadaku, ‘Wahai Aslam sesungguhnya rasa laparlah yang membuat
mereka begadang dan tidak dapat tidur’ “30
_________________________________________________________________________________________________
19 Dikeluarkan Oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat, 3/275 dengan sanad yang shahih.
20 Ibnu Sa’ad menyebutkan hal
yang senada dan ringkas di dalam ath-Thabaqat, 3/207 dari jalan
al-Waqidi dan dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tarikh nya, 4/207
dengan sanad la ba’sa bih (tidak mengapa).
21 Ath-Thabaqat al-Kubra,
2/277 dengan redaksi yang mirip dari jalan Hafsah 46, bandingkan dengan
Tarikh ath-Thabari 3/617, dan Ibnul Jauzi, 4/198.
22 Ibid 3/330.
23 Sebagaimana yang
dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dari jalan-jalan yang sahih bersumber dari
riwayat Anas. (Ath-Thabaqat al-Kubra, 3/328).
24 Ibnu Sa’ad mengeluarkan yang senada dalam ath-Thabaqat, 3/279.
25 Lihat Ibn Jauzi, Manaqib Umar, Hlm. 151.
26 Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat, 3/292 dengan sanad yang shahih.
27 Lihat Tafsir al-Quran
al-Azhim karya Ibnu Katsir, 7/407, ketika menafsirkan ayat yang
berbunyi “Sesungguhnya Adzab Rabbmu pasti akan terjadi.” Lihat pula
ad-Durar al-Mantsur karya as-Suyuti 6/118.
28 Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat, 3/302 dengan sanadnya dari jalan Abdullah bin Umar.
29 Shirar adalah sebuah sumur
yang berjarak sekitar 3 mil dari kota Madinah, menghadap ke kampung.
(Mu’jam al-Ma’alim al-Jughrafiyah, 17 5 ).
30 Dikeluarkan oleh Ahmad
dalam kitab Fadhail as-Shahabah, no. 382 dan Muhaqqiq kitab itu
berkomentar, “sanadnya Hasan.” Lihat Tarikh ath-Thabari, 4/ 205-206.