Hisyam bin Abdul Malik adalah khalifah kesepuluh Daulah
Umayyah. Ketika dilantik menjadi khalifah menggantikan saudaranya, Yazid bin
Abdul Malik, usianya baru 35 tahun. Ia menjabat khalifah selama hampir 20 tahun.
Para ahli sejarah menyebutnya negarawan yang ahli dalam strategi militer. Pada
masa pemerintahannya, selain memadamkan kemelut internal, ia juga meluaskan
wilayahnya ke luar.
Ketika imperium Romawi Timur berada di bawah kekuasaan
Kaisar Leo III. Ia berhasil memulihkan wewenang pemerintahan pusatnya di daerah
Balkan. Kini Kaisar Leo III kembali ingin merebut wilayah Asia Kecil dari
kekuasaan Daulah Umayyah yang sedang dipimpin Hisyam bin Abdul Malik. Jadi, dua
kekuatan siap berhadap-hadapan.
Sementara itu, sepeninggal Empress Wu yang mengalami
kemelut berkepanjangan, Dinasti Tang di Tiongkok berhasil memulihkan diri di
bawah kekuasaan Kaisar Hsuan Tsung. Setelah kondisi internal pulih, ia bermaksud
merebut daerah Sinkiang (Turkistan Timur) yang berhasil ditaklukkan oleh
Panglima Qutaibah bin Muslim.
Di wilayah Andalusia, Khalifah Hisyam mengukuhkan
Panglima Anbasa bin Syuhain sebagai gubernur menggantikan Sammah bin Malik
Al-Khaulani yang gugur. Dengan pasukan cukup besar, Panglima Anbasa menyeberangi
pengunungan Pyren dan menaklukkan wilayah Narbonne di selatan Prancis.
Selanjutnya ia maju ke Marseilles dan Avignon serta Lyon, menerobos wilayah
Burgundy.
Kemenangan itu membangkitkan semangat Anbasa. Ia terus
maju ke arah utara dan menaklukkan beberapa daerah sampai ke benteng Sens di
pinggir sungai Seine yang jaraknya hanya sekitar 100 mil dari Paris, ibukota
wilayah Neustria kala itu.
Karel Martel, yang menjadi pejabat wilayah Neustria,
segera maju menghadang pasukan kaum Muslimin. Terjadi pertempuran sengit.
Panglima Anbasa gugur, dan pasukannya bertahan di wilayah selatan Prancis.
Peristiwa itu segera sampai ke Damaskus. Khalifah
Hisyam segera mengangkat Panglima Besar Abdurrahman Al-Ghafiqi untuk
menggantikan Panglima Anbasa. Dalam hal melanjutkan cita-cita pendahulunya,
Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi sangat hati-hati. Ia mempersiapkan pasukannya
semaksimal mungkin. Tak hanya bekal makanan, tetapi juga fisik tentara untuk
menghadapi cuaca dingin di daerah lawan.
Enam tahu kemudian, pasukan itu berangkat ke arah
utara. Mereka berhasil merebut Toulouse, ibukota wilayah Aquitania kala itu.
Karel Martel terpaksa mundur dan bertahan di benteng Aungoleme.
Nama Panglima Al-Ghafiqi tersebar luas di daratan
Eropa. Karel Martel dan Raja Teodorick IV menyerukan seluruh rakyatnya untuk
memberikan perlawanan. Sementara itu, pasukan Islam berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan. Pasukan Islam terlalu terbuai dengan harta rampasan. Ketika
perang pecah, pasukan kaum Muslimin terdesak. Panglima Abdurrahman Al-Ghafiqi
gugur.
Sementara itu, kemelut yang terjadi di kawasan Asia
Kecil berhasil dipadamkan. Pasukan Romawi Timur yang ingin merebut daerah itu
bisa dihalau setelah Khalifah Hisyam mengirim panglima Said Khuzainah dari
wilayah Khurasan untuk membantu Panglima Maslamah bin Abdul Malik. Namun, dalam
suatu peperangan Said gugur.
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik wafat dalam usia 55
tahun. Namanya cukup harum dalam sejarah. Dalam ketegasannya, ia senang menerima
masukan dari para ulama.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni