Pada usia 45 tahun, Hakam II diangkat sebagai Khalifah Daulah
Umayyah Andalusia menggantikan ayahnya, Abdurrahman III. Jika Abdurrahman
Ad-Dakhil dianggap sebagai khalifah pertama Daulah Umayyah di Andalusia, maka
Hakam II adalah khalifah kesembilan.
Namun sebagian ahli sejarah menyebutkan, pemimpin Daulah Umayyah Andalusia dari Abdurrahman Ad-Dakhil hingga Abdullah bin Muhammad tidak disebut khalifah, tapi amir. Mereka baru menyematkan sebutan khalifah pada Abdurrahman III. Dengan demikian, Hakam II bisa disebut khalifah kedua Daulah Umayyah di Andalusia. Ia memerintah selama 17 tahun. Masa pemerintahannya cukup terpandang. Para ahli sejarah menyebut masa pemerintahannya dengan "zaman emas kesusastraan Arab di Spanyol".
Namun sebagian ahli sejarah menyebutkan, pemimpin Daulah Umayyah Andalusia dari Abdurrahman Ad-Dakhil hingga Abdullah bin Muhammad tidak disebut khalifah, tapi amir. Mereka baru menyematkan sebutan khalifah pada Abdurrahman III. Dengan demikian, Hakam II bisa disebut khalifah kedua Daulah Umayyah di Andalusia. Ia memerintah selama 17 tahun. Masa pemerintahannya cukup terpandang. Para ahli sejarah menyebut masa pemerintahannya dengan "zaman emas kesusastraan Arab di Spanyol".
Selain sukses membangun pemerintahan dalam negeri, Hakam II juga
berhasil menjalin hubungan baik dengan pihak luar. Ia bisa menjalin hubungan
dengan kerajaan Leon dan Navarre yang memang telah terikat perdamaian
sebelumnya. Kedua kerajaan itu mengakui keberadaan Daulah Umayyah, dan mereka
bersedia membayar pajak.
Bahkan Raja Sancho I dari Leon sempat berada di Cordoba selama dua
tahun untuk mengobati tubuhnya yang menderita obesitas. Selama berada di kota
itu, ia aman dan diberikan pelayanan yang baik.
Selain berhasil mengamankan wilayahnya, Hakam II juga
meneruskan pembangunan perpustakaan Cordoba. Perpustakaan itu dibangun hingga
menjadi perpustakaan terbesar di Eropa kala itu. Hakam II memang dikenal cinta
buku. Ia sering mencari sendiri buku-buku yang sulit ditemukan.
Bahkan ia juga sering menulis surat
untuk para penulis ternama. Ia juga tak segan-segan membayar naskah tulisan itu
dengan harga yang mahal. Ia mempekerjakan orang-orang tertentu untuk mengelola
perpustakaannya. Ia juga melindungi lembaga-lembaga kesusastraan dan memberikan
hadiah bagi para sarjana.
Muhyiddin Al-Khayyath dalam kitabnya, Durus Tarikh Al-Islami, menyebutkan Abul
Faraj—pujangga besar Arab kala
itu—tengah menyusun kumpulan
sajak dan lagu yang diberinama Al-Aghani. Mendengar hal itu, Hakam II segera mengirimkan utusan untuk
menemui sang penulis. Naskah pertama karya itu dibayar dengan 1.000 dinar emas !
Angka yang begitu besar. Tak heran kalau para ahli sejarah menyebut masa
pemerintahannya dengan zaman bagi sastra Arab di Spanyol.
Khalifah Hakam II juga berhasil menghalau tantangan
dari Daulah Fathimiyah yang hendak merebut wilayah Afrika Barat. Setelah terjadi
pertempuran selama empat tahun, di bawah pimpinan Panglima Ghalib, daerah itu
bisa direbut kembali.
Pada 979 M,
Khalifah Hakam II mengangkat Muhammad bin Abu Amir sebagai wazir, yang
sebelumnya menjabat hakim agung. Saat itu, jabatan wazir mengepalai seluruh
bagian pemerintahan, namun kekuasaan tertinggi tetap berada tangan khalifah.
Kelak sepeninggal Khalifah Hakam II, Muhammad bin Abu Amir memainkan peran yang
sangat penting selama 27 tahun. Ia seorang negarawan cakap dan ahli strategi
perang.
Penunjukan itu
bersamaan dengan adanya tantangan dari pihak utara, Kerajaan Navarre. Beberapa
benteng dan perbatasan mulai diserang. Di tengah serangan-serangan itulah
Khalifah Hakam II wafat dalam usia 62 tahun. Ia digantikan oleh putranya, Hisyam
II yang kala itu masih berusia 10 tahun. Saudaranya, Mughirah bin Abdurrahman
III menjabat sebagai Mursyih Al-Amri atau Pemangku Kuasa.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi
Bastoni