Setelah Khalifah Hakam II wafat, diangkatlah putranya, Hisyam II yang kala itu masih berusia 10 tahun untuk menjadi khalifah. Ia menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Bani Umayyah di Andalusia yang ke-10. Atau jika dihitung secara kekhalifahan resmi, ada yang menyebutnya sebagai khalifah ke-3.
Karena Hisyam II masih sangat muda, maka urusan pemerintahan dikendalikan oleh Mursyih Al-Amri (pemangku kuasa), yaitu Mughirah bin Abddurahman—saudara Hakam II. Namun tokoh ini tak lama memegang kendali. Ia dibunuh oleh komplotan Ja'far bin Utsman yang sejak pemerintahan Khalifah Hakam II memangku jabatan Al-Hajib.
Jabatan Al-Hajib dalam ketatanegaraan Bani Umayyah kala itu adalah orang yang bertanggung jawab terhadap Rumah Tangga Istana. Dalam kehidupan istana Raja Inggris kita mengenal istilah Chamberlain. Karena khalifah adalah pemegang kekuasaan tertinggi, maka ia harus berhubungan erat dengan para pejabat Al-Hajib. Di sisi lain, para pejabat Al-Hajib ini pun sangat menentukan beberapa kebijakan penting istana.
Pembunuhan atas Mughirah itu menyebabkan terjadinya perebutan
kekuasaan. Peristiwa ini merupakan noda hitam pertama dalam lembaran sejarah
Bani Umayyah di Andalusia. Bagi Daulah Abbasiyah di Baghdad, peristiwa seperti
itu mulai muncul sejak pembunuhan Khalifah Al-Mutawakkil. Setelah itu terjadi
pertumpahan darah dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Umumnya, yang
memegang peranan penting dalam peristiwa seperti ini adalah mereka yang dikenal
dengan sultan atau pemegang kuasa. Sultan inilah yang biasanya mengendalikan
khalifah.
Al-Wazir Muhammad bin
Abu Amir yang menjabat sebagai pelaksana kekuasaan pada masa Khalifah Hakam II,
segera bertindak mengambil-alih seluruh kekuasaan, termasuk jabatan Al-Hajib.
Dialah yang menjabat Mursyih Al-Amri, pengganti Mughiran bin
Abdurrahman.
Tokoh besar inilah
yang selanjutnya berperan penting dalam memulihkan kondisi Bani Umayyah di
Andalusia. Namanya pun disebut-sebut banyak orang. Belakangan ia menyebut
dirinya Al-Mulk (raja); Al-Mulk Al-Manshur. Sejak itulah istilah Al-Mulk dikenal
dalam lintasan sejarah Islam. Ketika beranjak dewasa, Khalifah Hisyam II
mengukuhkan jabatan itu. Sehingga kekuasaan khalifah pun amat terbatas. Ia
nyaris menjadi "tukang khutbah" dan "tukang stempel".
Dengan demikian, lahirlah generasi baru yang
kendalinya melebihi wewenang khalifah. Jika di masa pemerintahan Bani Abbasiyah
di Baghdad ada istilah sultan, maka di masa Daulah Umayyah di Andalusia,
penguasa baru ini dikenal dengan Al-Mulk.
Masa kekuasaan Al-Mulk Al-Manshur berlangsung cukup
lama. Ia memerintah selama 27 tahun. Dalam rentang masa itu, ia mengukir
prestasi baik. Ia berhasil menciptakan kemakmuran bagi rakyat dengan
mengembangkan bidang pertanian, perdagangan, dan dunia usaha. Ia juga berhasil
melebarkan sayap kekuasaannya keluar.
Hal penting yang dicatat sejarah adalah perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan perpustakaan. Ia sangat gemar mengumpulkan karya-karya ilmiah dari berbagai negeri. Hal ini merupakan kegemaran Khalifah Hakam II sebelumnya.
Ia juga memberikan penghargaan yang baik kepada para sarjana dan ilmuwan. Hal ini bisa dimaklumi, sebab sebelumnya ia adalah seorang ahli hukum yang menjabat sebagai hakim agung.
Kebijakan Al-Mulk Al-Manshur lainnya yang dicatat sejarah adalah tindakannya memberikan fasilitas bagi suku-suku Barbar dalam lembaga ketentaraan untuk menggantikan unsur-unsur Arab. Ia mengundang Bani Zenata dan Bani Adawa dari Afrika Barat untuk membentuk ketentaraan di Andalusia. Ia juga memberikan jabatan-jabatan tinggi pada tokoh-tokoh Barbar tersebut.
Ia juga membentuk lembaga tinggi kepolisian negara yang dikenal dengan Al-Urafak. Kota satelit Az-Zuhra yang dibangun Khalifah Hakam II di luar Cordoba dengan bangunan-bangunan mengagumkan, diperluas oleh Al-Mulk Al-Manshur. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke tempat itu.
Ketika terjadi penyerangan dari pihak Count of Castile Don Garcia Fernandez, Muhammad bin Abu Amir melakukan serangan balasan. Pertempuran panjang yang dikenal dengan Pertempuran Musim Panas pun berlangsung. Pada peperangan ini, pihak Cordoba meraih kemenangan.
Meski menang, bukan berarti pihak musuh menghentikan perlawanan. Hampir setiap tahun terus terjadi serangan. Kembali dari sebuah peperangan, pasukan Al-Mulk dihadang musuh di suatu tempat bernama Calatanazar. Ia gugur dalam peperangan itu, dan dimakamkan di sebuah kota bernama Salima. Al-Mulk Al-Manshur wafat pada usia 65 tahun. Sepeninggalnya terjadi kemelut.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi
Bastoni