Salim I juga dikenal sebagai si Murung atau si Pemberani. Ia
adalah sultan dari Turki Utsmani. Ia menandai naik tahtanya (1517-1520 M) dengan
menghukum mati saudara-saudara dan kemenakannya yang laki-laki. Salim bertekad,
ia tidak ingin menghadapi masalah-masalah yang sama dengan saudara-saudaranya
sendiri.
Ia menyerang dan menghancurkan Kesultanan Mamluk dalam pertempuran Marj Dabiq dan Arl-Raidaniyya, yang menyebabkan direbutnya Suriah, Palestina dan Mesir. Ia juga memperluas kekuasaan Utsmaniyah hingga ke Kota Suci Makkah dan Madinah.
Ketika Mesir dan provinsi-provinsi Arab direbut dari tangan orang-orang Mamluk, ia mengangkat dirinya sebagai Khadimul Haramain (Pelayan Dua Kota Suci), yaitu Masjidil Haram (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah).
Seperti kakeknya,
Fatih, ia juga menyebut dirinya sebagai khalifah yang dianggap sebagai pemimpin
masyarakat dan agama seluruh umat Islam. Salim bertekad untuk mengadakan perang
melawan Persia, yang pemerintahnya, Shah Ismail I juga mengklaim diri sebagai
khalifah. Perang yang kemudian terjadi merupakan kemenangan bagi Salim.
Selama pemerintahannya, ia memperluas wilayah Daulah Utsmaniyah dari 2,5 juta kilometer menjadi 6,5 kilometer. Ia memenuhi bendahara kerajaan dan menguncinya dengan materainya sendiri dan mengumumkan bahwa, “Barangsiapa membuat penuh perbendaharaan ini melebihi isinya sekarang, maka ia dapat menggunakan materainya sendiri untuk mengunci perbendaharaan.” Perbendaharaan ini dikunci dengan materai Salim hingga runtuhnya Khilafah Turki Utsmani 400 tahun kemudian.
Setelah kembali dari peperangan di Mesir, ia mempersiapkan sebuah ekspedisi untuk memerangi Rhodes. Di sana ia diserang penyakit, lalu meninggal dunia dalam usia 55 tahun. Ia meninggal karena sirpence, sejenis infeksi kulit yang telah menjangkiti tubuhnya selama berkuasa. Namun sebagian sejarawan percaya, ia diracuni oleh dokter yang merawat penyakitnya.
Sultan Salim cenderung menyingkirkan lawan-lawan politiknya, walaupun mereka adalah saudara-saudaranya atau anak-anak mereka. Ia dikenal sebagai sosok yang menyukai sastra Persia dan sejarah. Walaupun dikenal keras hati, namun dia masih senang berteman dengan orang lain. Dia selalu membawa para ahli sejarah dan penyair ke medan perang, dengan tujuan agar mereka mengabadikan apa yang terjadi dalam bait-bait syair dan tulisan.
Sultan Salim dan nenek moyangnya memiliki posisi tinggi yang sangat memungkinkannya menyandang gelar khalifah, di mana saat itu pusat kekhalifahan di Kairo sama sekali tidak diperhitungkan. Sejak ia berhasil memasukkan dua Kota Suci dalam wilayah kekuasaannya, Daulah Utsmaniyah menjadi tujuan dan tempat bergantung kaum Muslimin yang lemah.
Ketika Sultan Salim wafat pada 9 Syawwal 926 H, para menteri merahasiakan kematiannya. Mereka memberitahukan kematian sultan itu kepada anaknya, Sultan Sulaiman, ketika ia sampai di Konstantinopel. Barulah para pejabat mengumumkan kematiannya. Mereka menyalatkan jenazahnya di Masjid Jami’ Sultan Muhammad. Setelah itu, jenazahnya dibawa dan dimakamkan di tempat yang telah disediakan.
Sultan Salim I dikenal sebagai seorang sultan yang alim, memiliki sifat-sifat yang utama dan cerdik. Dia sosok yang memiliki perilaku yang baik, memiliki pandangan-pandangan brilian, bervisi dan berkemauan keras. Dia memahami tiga bahasa sekaligus; Arab, Persia dan Turki. Dia berhasil mengatur pemerintahan dengan cara yang sangat memuaskan dan selalu memikirkan kondisi rakyatnya.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni