Tepat pada saat orang-orang kafir Qureiys selesai mempersiapkan komplotan terror untuk membunuh Rasul Allah s.a.w., Madinah telah siap menerima kedatangan beliau. Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah secara diam-diam di tengah kegelapan malam. Beliau bersama Abu Bakar Ash Shiddiq meninggalkan kampung halaman, keluarga tercinta dan sanak famili. Beliau berhijrah, seperti dahulu pernah juga dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Musa a.s.
Di antara orang-orang yang ditinggalkan Nabi Muhammad s.a.w. termasuk puteri kesayangan beliau, Sitti Fatimah r.a. dan putera paman beliau yang diasuh dengan kasih sayang sejak kecil, yaitu Imam Ali r.a. yang selama ini menjadi pembantu terpercaya beliau.
Imam Ali r.a. sengaja ditinggalkan oleh Nabi Muhammad untuk melaksanakan tugas khusus: berbaring di tempat tidur beliau, guna mengelabui mata komplotan Qureiys yang siap hendak membunuh beliau. Sebelum Imam Ali r.a. melaksanakan tugas tersebut, ia dipesan oleh Nabi Muhammad s.a.w. agar barang-barang amanat yang ada pada beliau dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Setelah itu bersama semua anggota keluarga Rasul Allah s.a.w., segera menyusul berhijrah.
Imam Ali r.a. membeli seekor unta untuk kendaraan bagi wanita yang akan berangkat hijrah bersama-sama. Rombongan hijrah yang menyusul perjalanan Rasul Allah s.a.w. terdiri dari keluarga Bani Hasyim dan dipimpin sendiri oleh Imam Ali r.a. Di dalam rombongan Imam Ali r.a. ini termasuk Sitti Fatimah r.a., Fatimah binti Asad bin Hasyim (ibu Imam Ali r.a.), Fatimah binti Zubair bin Abdul Mutthalib dan Fatimah binti Hamzah bin Abdul Mutthalib. Aiman dan Abu Waqid Al Laitsiy, ikut bergabung dalam rombongan.
Rombongan Imam Ali r.a. berangkat dalam keadaan terburu-buru. Perjalanan ini tidak dilakukan secara diam-diam. Abu Waqid berjalan cepat-cepat menuntun unta yang dikendarai para wanita, agar jangan terkejar oleh orang-orang kafir Qureiys. Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera memperingatkan Abu Waqid, supaya berjalan perlahan-lahan, karena semua penumpangnya wanita. Rombongan berjalan melewati padang pasir di bawah sengatan terik matahari.
Imam Ali r.a., sebagai pemimpin rombongan, berangkat dengan semangat yang tinggi. Beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal dilakukan orang-orang kafir Qureiys terhadap rombongan. Ia bertekad hendak mematahkan moril dan kecongkakan mereka. Untuk itu ia siap berlawan tiap saat. Mendengar rombongan Imam Ali r.a. berangkat, orang-orang Qureiys sangat penasaran. Lebih-lebih karena rombongan Imam Ali r.a. berani meninggalkan Makkah secara terang-terangan di siang hari. Orang-orang Qureiys menganggap bahwa keberanian Imam Ali r.a. yang semacam itu sebagai tantangan terhadap mereka.
Orang-orang Qureiys cepat-cepat mengirim delapan orang anggota pasukan berkuda untuk mengejar Imam Ali r.a. dan rombongan. Pasukan itu ditugaskan menangkapnya hidup-hidup atau mati. Delapan orang Qureiys itu, di sebuah tempat bernama Dhajnan berhasil mendekati rombongan Imam Ali r.a.
Setelah Imam Ali r.a. mengetahui datangnya pasukan berkuda Qureiys, ia segera memerintahkan dua orang lelaki anggota rombongan agar menjauhkan unta dan menambatnya. Ia sendiri kemudian menghampiri para wanita guna membantu menurunkan mereka dari punggung unta. Seterusnya ia maju seorang diri menghadapi gerombolan Qureisy dengan pedang terhunus. Rupanya Imam Ali r.a. hendak berbicara dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Ia tahu benar bagaimana cara menundukkan mereka.
Melihat Imam Ali r.a. mendekati mereka, gerombolan Qureiys itu berteriak-teriak menusuk perasaan: "Hai penipu, apakah kaukira akan dapat menyelamatkan perempuan-perempuan itu?
Ayo, kembali! Engkau sudah tidak berayah lagi."
Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi teriakan-teriakan gerombolan Qureiys itu. Ia bertanya: "Kalau aku tidak mau berbuat itu...?"
"Mau tidak mau engkau harus kembali," sahut gerombolan Qureiys dengan cepat.
Mereka lalu berusaha mendekati unta dan rombongan wanita. Imam Ali r.a. menghalangi usaha mereka. Jenah, seorang hamba sahaya milik Harb bin Umayyah, mencoba hendak memukul Imam Ali r.a. dari atas kuda. Akan tetapi belum sempat ayunan pedangnya sampai, hantaman pedang Imam Ali r.a. telah mendahului tiba di atas bahunya. Tubuhnya terbelah menjadi dua, sehingga pedang Imam Ali r.a. sampai menancap pada punggung kuda. Serangan-balas secepat kilat itu sangat menggetarkan teman-teman Jenah. Sambil menggeretakkan gigi, Imam Ali r.a. berkata: "Lepaskan orang-orang yang hendak berangkat berjuang! Aku tidak akan kembali dan aku tidak akan menyembah selain Allah Yang Maha Kuasa!"
Gerombolan Qureiys mundur. Mereka meminta kepada Imam Ali r.a. untuk menyarungkan kembali pedangnya. Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Aku hendak berangkat menyusul saudaraku, putera pamanku, Rasul Allah. Siapa yang ingin kurobek-robek dagingnya dan kutumpahkan darahnya, cobalah maju mendekati aku!"
Tanpa memberi jawaban lagi gerombolan Qureiys itu segera meninggalkan tempat. Kejadian ini mencerminkan watak konfrontasi bersenjata yang bakal datang antara kaum muslimin melawan agresi kafir Qureiys. Di Dhajnan, rombongan Imam Ali r.a. beristirahat semalam. Ketika itu tiba pula Ummu Aiman (ibu Aiman). Ia menyusul anaknya yang telah berangkat lebih dahulu bersama Imam Ali r.a. Bersama Ummu Aiman turut pula sejumlah orang muslimin yang berangkat hijrah. Keesokan harinya rombongan Imam Ali r.a. beserta rombongan Ummu Aiman melanjutkan perjalanan.
Imam Ali r.a. sudah rindu sekali ingin segera bertemu dengan Rasul Allah s.a.w. Waktu itu Rasul Allah s.a.w. bersama Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sudah tiba dekat kota Madinah. Untuk beberapa waktu, beliau tinggal di Quba. Beliau menantikan kedatangan rombongan Imam Ali r.a. Kepada Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasul Allah s.a.w. memberitahu, bahwa beliau tidak akan memasuki kota Madinah, sebelum putera pamannya dan puterinya sendiri datang.
Selama dalam perjalanan itu Imam Ali r.a. tidak berkendaraan sama sekali. Ia berjalan kakitelanjang menempuh jarak kl 450 km sehingga kakinya pecah-pecah dan membengkak. Akhirnya tibalah semua anggota rombongan dengan selamat di Quba. Betapa gembiranya Rasul Allah s.a.w. menyambut kedatangan orang-orang yang disayanginya itu. Ketika Nabi Muhammad s.a.w. melihat Imam Ali r.a. tidak sanggup berjalan lagi karena kakinya membengkak, beliau merangkul dan memeluknya seraya menangis karena sangat terharu. Beliau kemudian meludah di atas telapak tangan, lalu diusapkan pada kaki Imam Ali r.a. Konon sejak saat itu sampai wafatnya, Imam Ali r.a. tidak pernah mengeluh karena sakit kaki.
Peristiwa yang sangat mengharukan itu berkesan sekali dalam hati Rasul Allah s.a.w. dan tak terlupakan selama-lamanya. Berhubung dengan peristiwa itu, turunlah wahyu Ilahi yang memberi penilaian tinggi kepada kaum Muhajirin, seperti terdapat dalam Surah Ali 'Imran:195.
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment