S E J A R A H perkembangan tasawuf secara garis besar bisa dibagi ke dalam beberapa tahapan. Pertama, tahap zuhud (berpantang dari kenikmatan hidup), merentang dari abad ke-7 dan ke-8, yang terutama menekankan pada akhlak. Kedua, tahap tasawuf (antara abad ke-9 dan ke-10), yang di dalamnya orang telah mengembangkan aliran ini sehingga mencakup refleksi-spiritual dan sulûk (disiplin dan latihan untuk
merawat ruhani demi mendekatkan diri kepada Allah). Pada tahap ini juga muncul serangkaian buku referensi tasawuf.
Ketiga, pada abad ke-13, tahap kaum “pencinta” (‘usy-syâq) yang menekankan hubungan manusia-Tuhan berdasar cinta (bukan terutama ketakutan) dan sekaligus berkembangnya ‘irfân (gnostisisme) yang menekankan kepemilikan pengetahuan tentang Tuhan sebagai hakikat dan sumber segala keberadaan.
Dan, keempat, yakni pada abad ke-14 dan seterusnya, adalah tahap lahir dan berkembangnya tarekat.9
Nah, di samping beberapa buku lainnya termasuk Al- Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf (Pengenalan kepada Mazhab Kaum Sufi oleh Al-Kalabadzi), Risâlah Al-Qusyairiyah (Risalah karya Al-Qusyairi), Adab Al-Murîdîn (Abu Najib Suhrawardi), dan Thabaqah Al-Shûfiyah (Tahap-Tahap dalam Sejarah Tasawuf oleh Abu Sa‘id Al-Kharraz)—Kasyf Al-Mahjûb (Penyingkap yang Terselubung karya Al-Hujwiri) adalah yang
paling diakui dalam hal referensi tasawuf awal.
Nama lengkap Al-Hujwiri adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin ‘Utsman bin ‘Ali Al-Ghaznawi. Sesuai julukannya, dia lahir di Ghazna, Afghanistan, dan hidup pada abad ke-11. Selain dikenal sebagai penulis buku standar tentang tasawuf ini, dia sendiri juga dikenal sebagai seorang sufi. Dia belajar dari banyak sufi pada masanya, dan bertualang ke hampir seluruh wilayah kekhalifahan Islam pada masa itu. Lama setelah kematiannya,
dia dianggap sebagai wali, dan kuburannya di Lahore diziarahi oleh banyak orang. Karya-karyanya yang lain meliputi: Dîwân (kumpulan syair sufistik), Minhâj Al-Dîn (Metode Agama, tentang metode tasawuf, dan juga memuat biografi panjang tentang Al-Hallaj), Asrâr Al-Khiraq (Rahasia Jubah Kaum Sufi), Kitâb-i Fanâ-u Baqâ (Kitab tentang Fanâ dan Baqâ, yakni tentang kesirnaan dan kekekalan dalam Hadirat Tuhan), sebuah
buku (judul tak diketahui) tentang ujar-ujar Al-Hallaj, Kitâb Al-Bayân li Ahl Al-‘Irfân (Kitab Penjelasan tentang para Ahli ‘Irfân, tentang kebersatuan dengan Tuhan), Bahr Al-Qulûb (Samudra Hati), Al-Ri‘âyat li Huqûq Allâh (Pemeliharaan Hak- Hak Allah), dan satu lagi buku (tanpa judul) tentang iman. Tak ada di antara kitab-kitab itu yang masih bisa ditemukan sekarang.
Kasyf Al-Mahjûb membahas tokoh-tokoh tasawuf, sejak awal sejarahnya hingga masa hidup penulisnya, serta berbagai doktrin dan konsep kunci dalam tasawuf. Selain itu, Al-Hujwiri menyediakan bab-bab khusus yang membahas pandangan kaum sufi tentang rukun Islam, termasuk di dalamnya shalat. Awalnya kitab ini ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan temansekotanya, Abu Sa‘id Al-Hujwiri. Menurut Reynold A. Nicholson seorang orientalis ahli tasawuf yang menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Inggris, yang juga penerjemah Matsnawi Rumi secara lengkap karya Al-Hujwiri ini lebih menarik ketimbang Risâlah Al-Qusyairiyah berkat spekulasi-spekulasi filosofis penulisnya di sepanjang buku ini. Sementara Risâlah adalah koleksi ujarujar, anekdot-anekdot, dan definisi-definisi yang terkait dengan tasawuf yang ditulis secara formal dan akademik. Meski memegang paham fanâ, Al-Hujwiri tak bergerak terlalu jauh sehingga mengembangkan semacam panteisme (wahdah al-wujûd). Dia sejalan dengan Al-Junayd yang menyatakan bahwa kewarasan (shahw) yakni tetap terpeliharanya kesadaran ketika seseorang mengalami pengalaman spiritual adalah lebih disukai ketimbang “kemabukan” (sukr) atau ketidaksadaran.
Dia menandaskan berkali-kali kepada para pembacanya bahwa tak seorang sufi pun, bahkan orang-orang yang telah mencapai sebatas tertentu kesucian, terkecualikan dari kewajiban untuk menaati hukum (syarî‘ah).
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment