Al-Musta'in Billah, Abu Al-Fadhl bernama Al-Abbas bin
Al-Mutawakkil. Ibunya seorang mantan budak berasal dari Turki bernama Bay
Khatun. Dia dilantik sebagai khalifah pada Rajab 808 H (1409-1416 M). Sedangkan
yang menjabat sebagai sultan waktu itu adalah Al-Malik An-Nashir
Faraj.
Tatkala An-Nashir berangkat untuk membunuh Syekh Al-Mahmudi dan ternyata dia kalah dan terbunuh, maka dilantiklah khalifah sebagai sultan. Hal ini tidak dilakukan kecuali setelah melalui proses panjang dan perdebatan panas serta perjanjian dari para pejabat sebelum dilakukan pengambilan sumpah.
Maka kembalilah khalifah ke Mesir, sedangkan para pejabat setia mendampinginya. Dialah yang mengangkat dan menurunkan pejabat. Namanya dicantumkan pada mata uang. Dia tidak mengubah gelar yang dipakainya. Syekhul Islam Ibnu Hajar menulis satu sajak panjang untuk melukiskan masalah ini.
Tatkala An-Nashir berangkat untuk membunuh Syekh Al-Mahmudi dan ternyata dia kalah dan terbunuh, maka dilantiklah khalifah sebagai sultan. Hal ini tidak dilakukan kecuali setelah melalui proses panjang dan perdebatan panas serta perjanjian dari para pejabat sebelum dilakukan pengambilan sumpah.
Maka kembalilah khalifah ke Mesir, sedangkan para pejabat setia mendampinginya. Dialah yang mengangkat dan menurunkan pejabat. Namanya dicantumkan pada mata uang. Dia tidak mengubah gelar yang dipakainya. Syekhul Islam Ibnu Hajar menulis satu sajak panjang untuk melukiskan masalah ini.
Tatkala Al-Musta'in
tiba di Mesir, ia tinggal di benteng, sedangkan Syekh Al-Mahmudi tinggal di
Ishthabla. Al-Musta'in menyerahkan masalah kerajaan dan kesultanan di Mesir
kepada Al-Mahmudi. Ia diberi gelar Nidzam Al-Mulk. Dengan demikian, para pejabat
yang sudah melakukan tugas-tugas kenegaraan dengan khalifah juga akan pergi ke
Ishthabla untuk menemui Syekh Al-Mahmudi. Ternyata sang syekh tidak suka dengan
perlakuan seperti ini.
Setelah itu datanglah Dawud, saudara Al-Musta'in, menemui Khalifah
dan mengajarkan kepadanya bagaimana membuat surat dan tanda tangan. Namun Dawud
melakukannya dengan tindakan yang kelewat batas. Dia meminta Khalifah agar tidak
mengeluarkan surat edaran apa pun sebelum memperlihatkan kepada dirinya.
Khalifah merasa tersinggung dengan tindakan tersebut.
Pada bulan Sya'ban, Syekh Al-Mahmudi meminta Khalifah
untuk menyerahkan kesultanan kepadanya sebagaimana biasanya. Khalifah memenuhi
permintaan tersebut, namun dengan syarat ia harus bisa tinggal di rumahnya,
bukan di benteng. Syekh Al-Mahmudi setuju dengan syarat yang diminta khalifah.
Ia pun menduduki kursi kesultanan. Dia menggelari diri dengan sebutan
Al-Muayyid, dan secara terang-terangan menyatakan bahwa khalifah dicopot dari
kekuasaannya.
Al-Muayyid membaiat
Dawud sebagai khalifah, sedangkan Al-Musta'in dipindahkan dari istana ke sebuah
rumah di benteng. Khalifah tidak sendirian, ia ditemani oleh seluruh
keluarganya.
Al-Muayyid melarang
khalifah untuk bertemu dengan orang lain. Apa yang dilakukan Al-Muayyid ini
sampai ke telinga Naurus, penguasa wilayah Syam. Naurus segera mengumpulkan para
hakim dan ulama serta meminta fatwa atas apa yang dilakukan Al-Muayyid dengan
mencopot khalifah dan mengurungnya di suatu tempat.
Mereka mengeluarkan fatwa bahwa apa yang dilakukan
Al-Muayyid tidak sah dan bertentangan dengan Islam. Yang hadir pun sepakat untuk
menyatakan perang kepada Al-Muayyid. Tantangan ini disambut oleh Al-Muayyid.
Peristiwa ini terjadi pada 815 H.
Sedangkan Al-Musta'in dipindahkan ke Iskandariyah. Dia dipenjarakan
di tempat itu dan baru dikeluarkan pada saat Thatar menjadi sultan, dan ia pun
diizinkan datang ke Kairo. Namun Al-Musta'in memilih tetap tinggal di
Iskandariyah karena menganggap tempat itu cocok untuknya.
Al-Mu'tashim kemudian berniaga dan memperoleh
keuntungan dari usahanya. Dia tetap tinggal di Iskandariyah hingga meninggal
dunia.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni