A D A P U N bagian kedua, yakni shalat yang bersifat batin dan hakiki, hal ini tidak lain adalah penyaksian Al-Haqq dengan kalbu yang bening dan jiwa suci yang terbebas dari segala hasrat (duniawi). Aspek shalat ini tentu tidak sama dengan gerak, lingkup, dan pola shalat indriawi, melainkan
sejalan dengan refleksi-refleksi suci dan jiwa-jiwa kekal-abadi.
Rasulullah Saw. selalu sibuk dengan perenungan dan penangkapan (idrâk) hakiki ini, sehingga shalat beliau berlangsung terus-menerus dan berkepanjangan. Inilah yang dimaksud dengan sabda beliau, “Pelaku shalat bermunajat dengan Tuhannya.”
Orang yang sehat akalnya mengetahui bahwa munajat (“berbisik-bisik”) dengan Tuhan tidak bisa lewat organ jasmani atau lidah indriawi. Pembicaraan dan munajat indriawi hanya mungkin terjadi dengan sesuatu yang terikat dalam ruang dan waktu. Zat Yang Maha Esa dan Suci tidak terikat oleh ruang dan waktu, tidak berdimensi dan tidak mungkin ditunjuk (dalam ruang), lalu bagaimana mungkin manusia yang berbentuk dan terbatas ini berhubungan langsung dengan-Nya lewat indra dan raga?
Wujud Al-Haqq yang Mutlak bersifat gaib di alam indriawi dan bendawi ini. Dia tidak tampak dan tidak bertempat di alam indriawi. Tubuh manusia tidak mungkin “berbisik-bisik” (munâjât) atau bercengkerama kecuali dengan benda yang dapat dilihat dan ditunjuknya. Sesuatu yang tidak dapat dilihat, dianggap sebagai gaib dan jauh, sehingga mustahil ia “berbisik-bisik” dengannya. Tuhan bersifat gaib dan jauh dari benda-benda tersebut lantaran semua benda itu mengalami perubahan sifat-sifat-tempelan (aksidental, bukan substansial) dan pengaruh fisik, serta membutuhkan tempat dan wadah.
Kepejalan dan kepadatan benda mengharuskannya untuk terperangkap di bumi yang gelap ini. Substansi-substansi imateriil yang tidak tercakup dalam ruang dan waktu mengelak dari benda-benda ini akibat adanya ketidaksesuaian antara dirinya dan alam materi. Dan Tuhan yang Wâjib Al-Wujûd (Wajib Ada) (bahkan) jauh lebih luhur, lebih lembut, dan lebih suci daripada semua substansi imateriil, sehingga mustahil Dia bergumul dan berdekat-dekatan dengan benda dan indra.
Kalau benda dan indra saja tidak mungkin berdekat-dekatan dengan Wujud Mutlak, bermunajat dengan-Nya sebagai sebuah penampakan khayal atau imajinasi jelas lebih tidak mungkin lagi. Karena itu, sabda Nabi, “Pelaku shalat bermunajat dengan Tuhannya” sudah barang tentu terkait dengan wilayah jiwa yang abstrak dan bebas dari ikatan ruang dan waktu. Jiwa-jiwa ini menyaksikan Al-Haqq dengan penyaksian intelektual dan visi Ilahi, bukan penglihatan indriawi.
Shalat yang sejati adalah penyaksian Ilahi, sedangkan ibadah murni adalah cinta Ilahi dan penangkapan ruhani. Dengan demikian, jelaslah bahwa shalat terbagi menjadi dua kategori (fisik/biologis dan ruhani/psikologis). Kategori shalat lahiriah, yang terkait dengan gerakan individu dalam pola dan susunan tertentu, merupakan (manifestasi) kerinduan, ketundukan, dan rintihan tubuh partikular
yang terbatas dan hina ini untuk menuju planet Bulan27 yang, melalui Akal-Aktifnya, beroperasi di alam kita ini, yakni alam kelahiran dan kemusnahan. Di sini dia bermunajat dengan lidah-biologisnya kepada Pemelihara segenap yang ada dan Penguasa semua makhluk agar Sang Akal-Aktif terus menjaga dan memelihara keadaan individu yang sedang tunduk dan melakukan shalat tersebut. Dengan penghambaan dan penyerupaannya (terhadap substansi-substansi kekal-transendental) ini, ia mengharapkan dirinya terjaga sepanjang hidupnya di alam ini dari segenap gangguan (perjalanan) waktu.
Adapun kategori shalat batin yang hakiki dan terbebas dari segala bentuk dan perubahan merupakan ketundukan jiwa rasional yang berpengetahuan dan bermakrifat kepada Keesaan Tuhan Al-Haqq, yang tidak terkait dengan arah (mata angin) atau hubungan dengan unsur fisis. Inilah undangan Wujud Mutlak untuk menyempurnakan jiwa dengan menyaksikan- Nya dan meninggikan kebahagiaan jiwa dengan mengenal-Nya melalui akal dan pengetahuan. Pengarahan intelektual dan Pancaran Ketuhanan28 turun dari Ke-“Kosong”- an Ilahi kepada jiwa rasional berkat shalat seperti ini. Penghambaan demikian ini tidak akan melahirkan kelelahan fisik atau keterpaksaan manusiawi. Barang siapa melakukan shalat
seperti ini berarti ia telah selamat dari (perangkap) daya-daya hewani dan pengaruh-pengaruh naluriah-materiil, menaiki tangga-tangga intelektual dan menyingkap kandungan-kandungan azali. Inilah shalat yang disebutkan dalam Al-Quran,
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamaannya (dari ibadah-ibadah lain). Dan Allah mengetahui apa-apa yang kalian kerjakan”
(QS Al-‘Ankabût [29]: 45).
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment