.... Ketahuilah bahwa shalat terbagi menjadi dua bagian: lahiriah (zhâhir), yakni bagian latihan (simulasi) yang hanya terkait dengan sisi eksternal; dan bagian batin, yakni bagian hakiki yang terkait dengan sisi batin manusia.
Bagian lahiriah shalat merupakan aspek yang diperintahkan oleh syariat dan dapat diamati gerak-geriknya. Pembuat syariat (Allah) mengharuskan dan menyuruh manusia untuk melakukannya, dan Dia menamainya dengan shalat. Inilah landasan manusia untuk menuju keimanan. Rasulullah Saw. bersabda, “Tiada keimanan bagi yang tidak melaksanakan shalat dan tiada keimanan bagi yang tidak memegang amanat.”
Jumlah-jumlah dan waktu-waktunya telah ditentukan. Lalu Allah menjadikannya sebagai ibadah (ketaatan) yang termulia dan meletakkannya pada derajat ibadah yang tertinggi.
Sisi lahiriah yang terkait dengan disiplin tertentu (gerak-gerik, waktu-waktu khusus, dan syarat-syarat jasmaniah khusus HB) ini berhubungan dengan badan (jism), lantaran ia terdiri atas bentuk dan susunan, seperti bacaan-bacaan, ruku‘, sujud, dan lain sebagainya. Dan, (mengingat) badan pasti berupa rangkaian berbagai unsur, seperti tanah, udara, api, dan lain sebagainya, dari sejumlah partikel atau yang serupa dengannya dalam badan manusia, maka susunan dan rangkaian yang terdiri atas bacaan-bacaan, ruku‘, dan sujud dalam jumlah tertentu dan teratur ini pastilah terkait dengannya.
(Namun), badan adalah bungkus jiwa. (Maka shalat tentulah) merupakan perwujudan dari shalat hakiki yang secara bawaan terkandung dalam jiwa manusia. Jiwa manusia bertindak sebagai pengendali badan, demi menyelaraskannya dengan keselarasan alam semesta. Jumlah-jumlah tertentu shalat lahiriah ini merupakan simulasi/penyerupaan (terhadap alam semesta), yang disyariatkan oleh Allah kepada manusia berakal dan dewasa (bâligh). Yakni, untuk menyerupakan (perilaku) raga dengan ruh, dalam kepatuhan kepada Sang Pencipta yang Mahatinggi. Melalui perbuatan (shalat) ini, manusia membedakan
dirinya dari segenap binatang, lantaran binatang tidak pernah diajak berbicara dan tidak diberi balasan pahala ataupun siksa. Sebaliknya, manusia telah diajak berbicara dan diberi balasan pahala ataupun siksa sesuai dengan ketaatannya menjalankan perintah ataupun (menghindar dari) larangan syariat dan akal. Syariat mengikuti (hukum-hukum) akal dalam semua hal.
Karena Sang Pembuat syariat (Allah) mengetahui bahwa akal mengharuskan jiwa manusia untuk melakukan shalat hakiki yang bersifat batin, yakni mengenal dan memakrifati-Nya, Dia menyuruh manusia untuk meniru shalat-akalnya dengan gerakan badaniahnya (sebagai simbol dari shalatnya jiwa itu). Lalu, Dia menyusun serangkaian gerak dalam bentuk dan pola terbaik supaya raga manusia meniru ruhnya dalam menghamba dan menyembah-Nya, meskipun raga tidaklah mungkin menyamai ruh dalam tingkatannya. Karena Pembuat syariat mengetahui bahwa manusia tidak dapat menyadari dorongan-dorongan bawaan akal (untuk melakukan shalat hakiki), Dia menetapkan sistem dan latihan jasmani yang bersifat mengendalikan dan menentang hasrat-hasrat biologisnya. Maka Dia menetapkan (suatu ibadah) dalam sejumlah tertentu shalat ini agar manusia dapat berlaku seiring dengan akal, dan tidak terjebak untuk meniru dan menyerupai ternak atau binatang-binatang lainnya. Oleh karena itu, Rasul yang Suci bersabda, “Shalatlah seperti shalatku,” suatu anjuran untuk menyerupai dan meniru beliau. Di dalam anjuran ini, terkandung manfaat dan maslahat yang sangat besar—semua orang berakal memahaminya meskipun orang bodoh tetap mengabaikannya.
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment