A Y A T U L L A H Ruhullah Khomeini, lahir pada 1903, memulai kariernya sebagai guru pada usia 27 tahun dengan mengajarkan hikmah, sebuah aliran filsafat yang ditokohi oleh Mulla Shadra (abad ke-17), yang sangat dekat dengan ‘irfân (tasawuf-filosofis). Sejak saat itu, ‘irfân terus menjadi concernutamanya, bahkan ketika ia membimbing rakyat Iran untuk melancarkan revolusi, dan kemudian menjadi pemimpinspiritual negeri itu. Masalah-masalah ‘irfân juga merupakan tema tulisan-tulisannya. Pada 1937 yakni, ketika baru berusia 34 tahun ia telah menyelesaikan serangkaian catatan pinggir atas komentar Qaisarî atas Fushus Al-Hikam, karya Ibn ‘Arabi, dan Mishbah Al-Uns komentar Hamzah ibn Fanarî atas Miftâh Al-Ghaib, karya Al-Qunawî (murid Ibn ‘Arabi). Dua tahun kemudian, Khomeini menerbitkan karyanya yang berjudul Mi‘râj Al-Sâlikîn wa Shalâh Al-‘Ârifîn (dikenal juga dengan Asrâr Al-Shalâh), sebuah risalah dalam bahasa Parsi yang memerinci makna-batin setiap bagian shalat, mulai dari wudhu hingga takbir penutup shalat. Sedikit lebih populer ketimbang bukunya yang agak berat dan rumit ini adalah bukunya berjudul ‘Adab Al-Shalâh, yang diselesaikannya pada 1942 (buku inilah yang merupakan sumber pengutipan pandangan-pandangan Ayatullah Khomeini tentang
shalat dalam tulisan ini). Akhirnya, perlu disebutkan pula karyanya yang terbit pada 1944 berjudul Syarh-i Hadîts-i Junûd-i Aql-o Jahl. Buku ini disebut-sebut sebagai uraian paling sistematis dan menyeluruh tentang pandangan Ayatullah Khomeini mengenai akhlak dan ‘irfân.
Di bidang fiqih pun, ajaran-ajarannya diwarnai dengan ‘irfân. Mengutip Sayyid Ahmad Fihrî murid dan penerjemah buku-bukunya ke dalam bahasa Arab Imam Khomeini “cakap dalam mendemonstrasikan keselarasan syariat dengan logika ‘irfân sebagaimana juga keselarasan ‘irfân dengan logika syariat.”
Beberapa ahli tasawuf telah melakukan penelitian atas pemikiran-pemikiran sufistik Ayatullah Khomeini, termasuk di antaranya Alexander Knysh (seorang ahli Ibn ‘Arabi), Y. Christian Bonaud, dan Vanessa Martin.
Di luar kewajibannya sebagai ulama dan pemimpin, seluruh hidupnya sejak muda diisinya dengan beribadah kepada Allah, dengan shalat dan mengaji Al-Quran. Pembantu terdekat dan para anggota keluarganya mengatakan bahwa tak ada malam-malam, sejauh ingatan mereka, yang tidak diisinya
dengan shalat tahajud. Bahkan, ketika dalam perjalanan pulang ke negerinya dari pengasingan di Prancis, Imam Khomeini melakukan shalat tahajudnya di pesawat terbang.
Akhirnya, dalam kaitan dengan concern-nya terhadap tasawuf ini, perlu disampaikan di sini bahwa Ayatullah Khomeini hidup sebagai zâhid sejati. Rumahnya di suatu desa kecil (Jamaran) di pinggir Teheran begitu kecil dan sederhana sehingga jutaan orang yang belakangan berkunjung ke sana termasuk ribuan jurnalis seperti tak dapat memercayai penglihatan mereka. Ketika ia meninggal dunia, terungkap bahwa satu-satunya milik berharga yang dipunyai sang pemimpin Revolusi adalah rumah-kecilnya di Jamaran yang secara khusus disebutkannya berdiri di atas tanah milik istrinya. Selebihnya
ia hanya meninggalkan buku-buku dan beberapa alat kecil untuk hidup sehari-hari seperti kacamata, alat pemotong kuku, tasbih, kitab Al-Quran, sajadah, serban, dan jubah.
Beberapa harta kepunyaannya yang memiliki sedikit nilai ternyata diwasiatkannya untuk disumbangkan kepada fakir-miskin.
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment