Sama seperti di medan-medan tempur lainnya, tiap tempat strategis pasti menjadi incaran pertama dari suatu gerakan militer. Dalam perang Shiffin, sungai Al Furat mempunyai nilai strategi yang sangat vital. Lebih-lebih dalam peperangan di zaman itu, di mana peperangan benar-benar merupakan adu tenaga dan kelincahan bermain senjata. Bukan hanya anggotaanggota pasukan saja yang membutuhkan air, melainkan ternak-ternak kendaraan seperti untaunta dan kuda-kuda perang bahkan lebih banyak menghabiskan air daripada manusia. Datam perang Shiffin fihak yang menguasai sungai Al Furat pasti akan dapat bertahan lebih lama dibanding dengan fihak yang tidak memperoleh air cukup.
Oleh karena itu pasukan Muawiyah yang datang lebih dulu di Shiffin, segera berusaha menduduki dan memperkuat posisi di daerah-daerah sekitar sungai Al Furat. Dengan tujuan untuk menguasai perbekalan air.
Dengan berhasil menguasai sungai itu, pasukan Syam yang berjumlah puluhan ribu orang tidak hanya terjamin kebutuhan airnya, tetapi sekaligus juga mereka akan dapat membuat pasukan lawan mati kehausan.
Setelah pasukan Syam menguasai sungai Al Furat, Muawiyah memerintahkan kepada semua anggota pasukan supaya jangan membiarkan ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. mengambil air dari sungai itu.
Dugaan memang tidak meleset. Pasukan Imam Ali r.a. yang belum lama tiba dari Kufah sudah mulai kekurangan air minum. Mereka berusaha mendapatkan perbekalan air dari sungai.
Alangkah terkejutnya mereka, karena pasukan Syam dengan ketat sekali menjaganya agar pasukan Imam Ali r.a. tidak menginjakkan kaki di sepanjang tepi sungai itu.
Ketika melihat ada beberapa orang pasukan Kufah mendekati sungai untuk mengambil air, pasukan Syam yang mengawal sungai itu berteriak-teriak melarang: "Tidak! Demi Allah, kalian takkan kami biarkan mengambil air barang setetes pun. Biarlah kalian mampus kehausan!"
Sambil berkata seperti itu ia menyiapkan busur dan anak panahnya. Anak buah Imam Ali r.a. segera mundur, kembali ke induk pasukan, dan melapor kepada Imam Ali r.a.
Imam Ali r.a. menyadari benar, bahwa air sungai Al Furat sangat dibutuhkan oleh pasukannya dan hewan-hewan tunggangan. Jika pasukannya sampai tidak mendapat air berarti sudah kalah sebelum bertempur dan semua hewan tunggangan akan mati kehausan.
Cepat-cepat Imam Ali r.a. mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan kilat dan terbatas guna merebut lokasi yang sangat strategis itu. Tak berapa lama kemudian terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan memperebutkan sungai Al-Furat. Dengan serangan kilat pasukan Syam terusir dari posisinya yang strategis dan pasukan Kufah bersama hewan tunggangannya dapat minum sepuas-puasnya.
Pasukan Syam kini menghadapi keadaan sebaliknya. Sekarang mereka menderita kepanasan dan kehausan setengah mati. Beberapa sahabat Imam Ali r.a. mengusulkan supaya pasukan Syam jangan diberi kesempatan sama sekali mengambil air sungai: "Biar mereka mampus digorok kehausan! Kita tidak perlu susah-susah memerangi mereka."
Menanggapi usul tersebut Imam Ali r.a. berkata: "Demi Allah, tidak! Aku tak akan membalas dengan perbuatan seperti yang mereka lakukan terhadap kita. Berilah mereka kesempatan mengambil air minum. Keberanian kita mengadu pedang tidak membutuhkan perbuatan semacam itu!"
Orang-orang yang mendengar jawaban Imam Ali r.a. setegas itu merasa kagum terhadap sifat ksatriaannya.
Sewaktu pasukan Syam datang mengambil air dari sungai, dengan penuh disiplin tak ada seorang pun dari pasukan Imam Ali r.a. yang menghalang-halangi. Pasukan Imam Ali r.a. yang bertugas mengawal tepi sungai, sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan karena menang. Banyak di antara anggota-anggota pasukan Muawiyah karena rasa kagumnya ingin menyeberang ke fihak Imam Ali r.a. Hanya saja mereka tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Khawatir, kalau-kalau para anggota keluarga yang ditinggalkan di Syam akan mengalami tekanan dan berbagai kesulitan. Pada tahap pertama pertempuran antara kedua pasukan itu hanya berlangsung secara kecil-kecilan saja, yaitu satu lawan satu, kelompok lawan kelompok. Pertempuran belum melibatkan seluruh pasukan.
Beberapa ahli sejarah menaksir pasukan yang berada dibawah pimpinan Imam Ali r.a. berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Pasukan ini dikenal sebagai "pasukan Iraq". Sedang pasukan Muawiyah yang disebut sebagai "pasukan Syam" berjumlah kurang lebih 75.000 orang. Jadi di medan perang Shiffin pada akhir tahun 36 Hijriyah itu telah terkumpul tidak kurang 175.000 orang prajurit Islam. Yang menarik bukan hanya karena besarnya jumlah pasukan tersebut. Sebab, sebelum itu pasukan Islam yang besar jumlahnya telah pernah bergerak dalam pertempuran menghadapi pasukan musuh, yang bukan Islam. Sedang kali ini 175.000 orang pasukan muslimin itu saling bertempur di antara mereka sendiri.
Sampai pada akhir bulan Haji tahun itu, di medan perang Shiffin hanya terjadi pertempuran kecil-kecil. Sedang pada bulan Muharram --bulan suci-- sebagai sesama pasukan muslimin, kedua pasukan itu dengan kesadaran masing-masing hanya saling berhadapan tanpa melakukan pertempuran. Setelah bulan Safar tiba berkobar lagi pertempuran kecil-kecilan. Melihat hal ini Imam Ali r.a. tidak bisa bersabar lagi. Keadaan ini hanya mengulur-ulur waktu dan bisa berlarut-larut. Yang untung hanya Muawiyah, yang mempergunakan kesempatan itu guna menyebar fitnah untuk mematahkan semangat pasukan Imam Ali r.a. Imam Ali r.a. segera mengeluarkan perintah serangan umum. Muawiyah yang juga telah menyiapkan pasukan segera bangkit menghadapi serangan besar itu. Pertengahan bulan Syafar tahun 37 Hijriyah ditandai oleh suatu pertempuran dahsyat antara dua pasukan yang berlangsung penuh sepanjang hari. Pada hari keduanya terjadi pertempuran yang paling hebat, yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam sejarah Islam. Menurut kebiasaan bila senja tiba, pertempuran dihentikan, tetapi kali ini pertempuran diteruskan di kegelapan malam. Darah membasahi bumi Shiffin. Prajurit dan komandan berguguran. Bapak melawan anak, saudara bertempur melawan saudara, muslim membunuh muslim. Malam dilewatkan dengan pertumpahan darah yang tiada hentinya hingga fajar menyingsing.
Setelah beberapa hari bertempur dan Muawiyah melihat pasukannya mulai kewalahan, ia berpaling kepada Amr bin Al Ash selaku penasehatnya agar dapat memberikan saran-saran. Amr bin Al Ash muncul dengan tipu muslihatnya. Ia perintahkan kepada semua anggota pasukan supaya menancapkan lembaran-lembaran Al Qur'an di ujung senjata masing-masing dan mengangkatnya setinggi mungkin agar mudah diketahui oleh pasukan Kufah. Sejalan dengan itu terdengarlah mereka berseru:
"Inilah Kitab Allah. Inilah Al Qur'an yang dari awal hingga akhir tetap berada di antara kita.
Allah, Allah, jaga dan lindungilah bangsa Arab. Allah, Allah, jaga dan lindungilah agama Islam.
Allah, Allah, lindungilah negeri kami. Siapakah yang akan menjaga Syam dari serangan musuh (Romawi) apabila tentara Syam binasa? Dan siapa pulakah yang akan melindungi Iraq apabila tentaranya musnah?"
Tujuan dari gerak-tipu itu ialah agar pasukan Kufah mengira, bahwa pasukan Syam sekarang telah bersedia menerima penyelesaian secara damai berdasarkan hukum Allah.
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment