Melihat pasukan Syam mengacung-acungkan lembaran Al Qur'an, fikiran pasukan Imam Ali r.a. terpecah dalam berbagai pendapat. Yang tinggi kewaspadaan politiknya memperkirakan bahwa itu hanya tipu-muslihat belaka. Guna mengelabui pasukan Imam Ali r.a. sehingga situasi buruk yang mereka alami dapat diubah menjadi baik. Sedang yang dangkal pengertian politiknya menganggap, bahwa perbuatan pasukan Syam itu bukan tipu muslihat, melainkan benar-benar bermaksud jujur, mengajak kembali kepada ajaran dan perintah agama. Karena itu harus disambut dengan jujur. Ini jauh lebih baik daripada perang berkobar terus sesama kaum muslimin.
Selain itu ada pula kelompok yang hendak menunggangi situasi itu agar peperangan cepat dihentikan. Mereka sudah jemu dengan peperangan dan sangat merindukan perdamaian. Tidak selang berapa lama datanglah berduyun-duyun sejumlah orang kepada Imam Ali r.a. Mereka menuntut supaya peperangan segera dihentikan. Tuntutan mereka itu ditolak oleh Imam Ali r.a., karena ia yakin, bahwa apa yang diperbuat oleh orang-orang Syam itu hanya tipu-muslihat. Karena itu kepada mereka yang menuntut dihentikannya peperangan, Imam Ali r.a. menegaskan:
"Itu hanya tipu-daya dan pengelabuan! Aku ini lebih mengenal mereka daripada kalian! Mereka
itu bukan pembela-pembela Al-Qur'an dan agama Islam. Aku sudah lama mengenal mereka dan
mengetahui soal-soal mereka, mulai dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Aku tahu
mereka itu meremehkan agama dan sedang meluncur ke arah kepentingan duniawi. Oleh sebab
itu janganlah kalian terpengaruh oleh perbuatan mereka yang mengibarkan lembaran-lembaran
Al-Qur'an. Bulatkanlah tekad kalian untuk berperang terus sampai tuntas. Kalian sudah berhasil
mematahkan kekuatan mereka. Mereka sekarang sudah loyo dan tidak lama lagi akan hancur!"
Mereka tetap tidak mau mengerti, bahwa itu hanya tipu-muslihat. Mereka mendesak terus agar
perang dihentikan dan mengancam tidak mau mendukung Imam Ali r.a. lagi bila perang
diteruskan. Mereka bukan hanya sekedar menggertak dan mengintimidasi, bahkan mereka
sampai berani "memerintahkan" Imam Ali r.a. supaya mengeluarkan instruksi penghentian
perang dan menarik semua sahabatnya yang masih berkecimpung di medan tempur.
Benar-benar terlalu! Imam Ali r.a. sampai "diperintah" supaya cepat-cepat menarik .Al-Asytar
yang sedang memimpin pertempuran! Lebih dari itu. Mereka juga mengancam akan menangkap
dan menyerahkan Imam Ali r.a. kepada Muawiyah, jika ia tidak mau memenuhi tuntutan
mereka! Tidak sedikit jumlah pasukan Imam Ali r.a. yang berbuat sejauh itu. Mereka
bersumpah tidak akan meninggalkan Imam Ali r.a. dan akan terus mengepungnya, sebelum
Imam Ali r.a. melaksanakan "perintah" mereka.
Kedudukan Imam Ali r.a. benar-benar sulit, bahkan rawan dan gawat. Melanjutkan peperangan
berarti membuka lubang perpecahan. Menghentikan peperangan juga berarti membangkitkan
perlawanan kelompok yang lain, yang tidak percaya kepada tipumuslihat musuh. Ini juga
berarti perpecahan. Imam Ali r.a. benar-benar "tergiring" ke posisi sulit akibat muslihat politik
"tahkim" yang dilancarkan Muawiyah dan Amr.
Setelah kaum pembelot tak dapat diyakinkan lagi, Imam Ali r.a. terpaksa memanggil Al Asytar
dan memerintahkan supaya menghentikan peperangan. Pada mulanya Al Asytar menolak,
karena ia tidak mengerti sebabnya Imam Ali r.a. sampai bertindak sejauh itu. Kepada suruhan
Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Bagaimana aku harus kembali dan bagaimana peperangan
harus kuhentikan, sedangkan tanda-tanda kemenangan sudah tampak jelas! Katakan saja
kepada Imam Ali, supaya ia memberi waktu kepadaku barang satu atau dua jam saja!"
Al Asytar membantah, sebab suruhan Imam Ali r.a. tidak menerangkan sama sekali sebabsebabnya
Imam Ali r.a. mengeluarkan perintah seperti itu dan tidak dijelaskan juga bagaimana
keadaan yang sedang dihadapi Imam Ali r.a. di markas-besarnya.
Waktu suruhan Imam Ali r.a. kembali dan melaporkan jawaban Al Asytar, orang-orang yang
sedang mengepungnya marah, gaduh, ribut dan berniat buruk terhadap Imam Ali r.a. Mereka
berprasangka jelek. Kemudian mereka bertanya kepada Imam Ali r.a.: "Apakah engkau
memberi perintah rahasia kepada Al Asytar supaya tetap meneruskan peperangan dan melarang
dia berhenti? Jika engkau tidak segera dapat mengembalikan Al Asytar, engkau akan kami
bunuh seperti dulu kami membunuh Utsman!"
Suruhan itu diperintahkan kembali untuk menemui Al Asytar. Agar ia cepat kembali, suruhan itu
melebih-lebihkan keterangan kepada Al Asytar: "Apakah engkau mau menang dalam
kedudukanmu ini, sedang Ali sekarang lagi dikepung 50.000 pedang?"
"Apa sebab sampai terjadi seperti itu?" tanya Al Asytar yang ingin mendapat keterangan lebih
jauh.
"Karena mereka melihat lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan oleh pasukan Syam," jawab
suruhan.
Sambil bersiap-siap untuk kembali menghadap Imam Ali r.a., Al Asytar berkata: "Demi Allah,
aku sudah menduga akan terjadi perpecahan dan malapetaka pada waktu aku melihat
lembaran-lembaran Al Qur'an dikibarkan orang!"
Al Asytar segera pulang. Setiba di markas-besar ia melihat Imam Ali r.a. dalam keadaan
bahaya. Anggota-anggota pasukan yang mengepung sedang mempertimbangkan apakah Imam
Ali r.a. dibunuh saja atau diserahkan kepada Muawiyah. Saat itu tidak ada orang lain yang
memberi perlindungan kepada Imam Ali r.a. kecuali dua orang puteranya sendiri Al Hasan r.a.
dan Al Husein r.a. serta Abdullah Ibnu Abbas dan beberapa orang lain, yang jumlah kesemuanya
tak lebih dari 10 orang.
Ketika melihat situasi yang sangat kritis itu, A1 Asytar segera menerobos kepungan sambil
memaki-maki mereka yang sedang mengancam-ancam: "Celaka kalian! Apakah setelah
mencapai kemenangan dan keberhasilan lantas kalian mau menghentikan dukungan dan
menciptakan perpecahan. Sungguh impian yang sangat kerdil. Kalian itu memang perempuan!
Sungguh busuk kalian itu!"
Datanglah Al Asy'ats bin Qeis kepada Imam Ali r.a. lantas berkata : "Ya Amiral Mukminin, aku
melihat orang-orang sudah menerima dan menyambut baik ajakan mereka (pasukan Syam)
untuk mengadakan penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Kalau engkau setuju, aku
akan datang kepada Muawiyah untuk menanyakan apa sesungguhnya yang dimaksud dan apa
yang diminta olehnya."
"Pergilah, kalau engkau mau…!" jawab Imam Ali r.a.
Dalam pertemuannya dengan Muawiyah, Al Asy'ats bertanya: "Untuk apa engkau mengangkat
lembaran-lembaran Al Qur' an pada ujung-ujung senjata pasukanmu?"
Muawiyah menerangkan: "Supaya kami dan kalian semuanya kembali kepada apa yang
diperintahkan Allah dalam Al-Qur' an. Oleh karena itu utuslah seorang yang kalian percayai, dan
dari fihak kami pun akan mengutus seorang juga. Kepada kedua orang itu kita tugaskan supaya
bekerja atas dasar Kitab Allah dan jangan sampai melanggarnya. Kemudian, apa yang
disepakati oleh dua orang itu kita taati bersama…"
Al Asy'ats menanggapi keterangan Muawiyah itu dengan ucapan: "Itu adalah kebenaran!"
Setelah itu Al Asy'ats dan beberapa orang ulama Al-Qur'an berkata kepada Imam Ali r.a.: "Kita
telah menerima baik tahkim berdasar Kitab Allah…, dan kami sepakat untuk memilih Abu Musa
Al Asy'ariy sebagai utusan!"
Imam Ali r.a. menolak: "Aku tidak setuju Abu Musa ditetapkan sebagai utusan. Aku tidak mau
mengangkat dia!"
Al Asy'ats menyanggah: "Kami tidak bisa menerima orang selain dia. Dialah yang telah
mengingatkan kita mengenai kejadian yang sedang kita hadapi sekarang ini, yakni peperangan…"
Imam Ali r.a. masih tetap menolak: "Ya, tetapi aku tidak dapat menyetujui dia. Ia dulu
meninggalkan aku dan berusaha mencegah orang supaya tidak membantuku. Kemudian ia lari,
tetapi sebulan setelah itu ia kembali dan kujamin keselamatannya. Inilah Ibnu Abbas, orang
yang akan kuangkat sebagai utusan!"
Al Asy'ats menolak sambil berdalih: "Demi Allah, kami tidak peduli. Kami menginginkan seorang
yang netral, tidak condong kepadamu dan tidak condong kepada Muawiyah!"
Imam Ali r.a. mengajukan usul lain: "Kalau begitu, aku akan mengangkat Al Asytar!"
Dengan sinis Al Asy'ats bertanya: "Apakah bumi ini akan terbakar jika bukan Al Asytar yang kau
angkat? Apakah kami hendak kau tempatkan di bawah kekuasaan Al Asytar?"
Imam Ali r.a. ingin mendapat penjelasan, lalu bertanya: "Kekuasaan yang bagaimana?"
Al Asy'ats menyahut: "Kekuasaan dia ialah hendak mendorong kaum muslimin terus menerus
mengadu pedang sampai terlaksana apa yang diinginkan olehmu dan olehnya!"
Imam Ali r.a. masih berusaha menyakinkan: "Muawiyah tidak menyerahkan tugas itu kepada
siapa pun selain orang yang dipercaya benar-benar olehnya, yaitu Amr bin Al Ash. Bagi orang
Qureisy itu (Muawiyah) memang tidak ada yang paling baik baginya kecuali orang seperti Amr…!
Kalian akan diwakili oleh Abdullah bin Abbas. Biarlah dia yang menghadapi Amr. Abdullah
mampu mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Amr kepadanya, sedangkan Amr tidak
akan sanggup mengatasi kesulitan yang akan dihadapkan oleh Abdullah kepadanya. Abdullah
mampu menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Amr, sedangkan Amr tidak akan mampu
menangkis hujjah-hujjah yang diajukan oleh Abdullah!"
Al Asy'ats tetap berkeras kepala. Ia berganti dalih: "Demi Allah, tidak…! Sampai kiyamat pun
masalah tahkim itu tidak boleh dirundingkan oleh dua orang sama-sama berasal dari Bani
Mudhar. Angkatlah orang yang dari Yaman (Abu Musa), sebab mereka sudah mengangkat orang
dari Mesir (Amr)…!"
Imam Ali mengingatkan: "Aku khawatir kalu-kalau kalian akan terkelabui. Sebab kalau Amr
sudah menuruti hawa nafsunya dalam urusan tahkim itu, ia sama sekali tidak takut kepada
Allah!"
Dengan bersitegang leher Al Asy'ats berkata: "Demi Allah, kalau salah seorang dari dua
perunding itu berasal dari Yaman, lalu mengambil beberapa keputusan yang tidak
menyenangkan kita, itu lebih baik bagi kita daripada kalau dua orang perunding itu sama-sama
berasal dari Bani Mudhar, walau mereka ini mengambil beberapa keputusan yang
menyenangkan kita!"
Imam Ali r.a. minta ketegasan terakhir: "Jadi…, kalian tidak menghendaki selain Abu Musa?"
"Ya!" jawab Al Asy'ats.
"Kalau begitu, kerjakanlah apa yang kalian inginkan!" kata Imam Ali r.a. dengan hati masgul.
Beberapa orang pengikut Imam Ali r.a. kemudian berangkat untuk menemui Muawiyah guna
mengadakan persetujuan tertulis mengenai prinsip disetujuinya tahkim oleh kedua belah fihak.
Wakil fihak Kufah (Imam Ali r.a.) menuliskan dalam teks perjanjian sebuah kalimat: "Inilah yang
telah disetujui oleh Amirul Mukminin…"
Baru sampai di situ Muawiyah cepat-cepat memotong: "Betapa jeleknya aku ini, kalau aku
mengakui dia sebagai Amirul Mukminin tetapi aku memerangi dia!"
Amr bin Al Ash menyambung: "Tuliskan saja namanya dan nama ayahnya. Dia itu Amir
(penguasa) kalian dan bukan Amir kami!"
Wakil-wakil fihak Kufah kembali menghadap Imam Ali r.a. untuk minta pendapat mengenai
penghapusan sebutan "Amirul Mukminin". Ternyata Imam Ali r.a. memerintahkan supaya
sebutan itu dihapus saja dari teks perjanjian. Tetapi Al Ahnaf cepat-cepat mengingatkan:
"Sebutan Amirul Mukminin jangan sampai dihapus. Kalau sampai dihapus, aku khawatir
pemerintahan (imarah) tak akan kembali lagi kepadamu untuk selama-lamanya. Jangan...,
jangan dihapus, walau peperangan akan berkecamuk terus!"
Setelah mendengar naselat Al Ahnaf itu untuk beberapa saat lamanya Imam Ali r.a. berfikir
hendak mempertahankan sebutan "Amirul Mukminin" dalam teks perjanjian, tetapi keburu Al
Asy'ats datang lagi dan mendesak supaya sebutan itu dihapuskan saja.
Dengan perasaan amat kecewa Imam Ali r.a. berucap: "Laa llaaha Illahllaah . . . Allaahu Akbar!
Sunnah yang dulu sekarang disusul lagi dengan sunnah baru. Demi Allah, bukankah persoalan
seperti itu dahulu pernah juga kualami? Yaitu waktu diadakan perjanjian Hudaibiyyah?!
"Waktu itu atas perintah Rasul Allah s.a.w. aku menulis dalam teks perjanjian "Inilah perjanjian
yang dibuat oleh Muhammad Rasul Allah dan Suhail bin Amr." Ketika itu Suhail berkata: "Aku
tidak mau menerima teks yang berisi tulisan 'Rasul Allah'. Sebab kalau aku percaya bahwa
engkau itu Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu! Adalah perbuatan dzalim kalau aku
melarangmu bertawaf di Baitullah, padahal engkau itu adalah Rasul Allah! Tidak, tuliskan saja
'Muhammad bin Abdullah', baru aku mau menerimanya…!"
"Waktu itu Rasul Allah memberi perintah kepadaku: 'Hai Ali, aku ini adalah Rasul Allah dan aku
pun Muhammad bin Abdullah. Teks perjanjian dengan mereka yang hanya menyebutkan
Muhammad bin Abdullah tidak akan menghapuskan kerasulanku. Oleh karena itu tulis saja
Muhammad bin Abdullah !' Waktu itu beberapa saat lamanya aku dibuat bingung oleh kaum
musyrikin. Tetapi sekarang, di saat aku sendiri membuat perjanjian dengan anak-anak mereka,
pun mengalami hal-hal yang sama seperti yang dahulu dialami oleh Rasul Allah s.a.w.…"
Teks perjanjian itu akhirnya ditulis juga tanpa menyebut kedudukan Imam Ali r.a. sebagai
Amirul Mukminin. Al Asytar kemudian dipanggil untuk menjadi saksi. Sebagai reaksi Al Asytar
berkata pada Imam Ali: "Anda akan kehilangan segala-galanya bila perjanjian ditulis seperti itu.
Bukankah anda ini berdiri di atas kebenaran Allah? Bukankah anda ini benar-benar yakin bahwa
musuhmu itu orang yang memang sesat? Kemudian ia berkata kepada mereka: "Apakah kalian
tidak melihat kemenangan sudah diambang pintu seandainya kalian tidak berteriak minta belas
kasihan kepada musuh?!"
Al Asy'ats menyahut: "Demi Allah, aku tidak melihat kemenangan dan tidak pula meminta belas
kasihan kepada musuh. Ayohlah berjanji, bahwa engkau akan taat! Akuilah apa yang tertulis
dalam teks perjanjian ini!"
Al Asytar menjawab: "Demi Allah, dengan pedangku ini Allah telah menumpahkan darah orangorang
yang menurut penilaianku lebih baik daripada engkau, dan aku tidak menyesali darah
mereka! Aku hanya mau mengikuti apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Apa yang
diperintahkan, akan kulaksanakan, dan apa yang dilarang akan kuhindari, sebab perintahnya
selalu benar dan tepat!"
Pada saat itu datanglah Sulaiman bin Shirid menghadap Amirul Mukminin, sambil membawa
seorang yang luka parah akibat pukulan pedang. Waktu Imam Ali r.a. menoleh kepada orang yang luka parah itu, Sulaiman berkata mengancam: "Ada orang yang sudah menjalani nasibnya
dan ada pula yang sedang menunggu nasib! Dan... engkau termasuk orang-orang yang sedang
menunggu nasib seperti orang ini!"
Ada lagi yang datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, seandainya engkau masih
mempunyai orang-orang yang mendukungmu, tentu engkau tidak akan menulis teks perjanjian
seperti itu. Demi Allah, aku sudah berkeliling ke sana dan ke mari untuk mengerahkan orangorang
supaya mau melanjutkan peperangan. Tetapi ternyata hanya tinggal beberapa gelintir
saja yang masih sanggup melanjutkan peperangan!"
Ada orang lain lagi datang menghadap, lalu berkata: "Ya Amirul Mukminin, apakah tidak ada
jalan untuk membatalkan perjanjian itu? Demi Allah, aku sangat khawatir kalau-kalau
perjanjian itu akan membuat kita hina dan nista!"
Imam Ali r.a. menjawab: "Apakah kita akan membatalkan perjanjian yang sudah ditulis itu? Itu
tidak boleh terjadi!"
Imam Ali r.a. terpaksa menyetujui adanya perjanjian dengan Muawiyah mengenai prinsip
penyelesaian damai berdasarkan hukum Al Qur'an. Banyak di antara pengikutnya yang merasa
kecewa dan menyesal, tetapi sikap tersebut sudah terlambat.
Karena sangat kecewa dan menyesal, mereka lalu berteriak kepada semua orang di mana saja:
"Tiada hukum selain hukum Allah! Hukum di tangan Allah dan bukan di tanganmu, hai Ali! Kami
tidak rela ada orang-orang yang akan menetapkan hukum terhadap agama Allah! Hukum Allah
bagi Muawiyah dan pengikut-pengikutnya sudah jelas, yaitu mereka harus kita perangi atau
harus kita tundukkan kepada pemerintahan kita! Kita telah terperosok dan tergelincir pada saat
kita menyetujui tahkim! Sekarang kita telah bertaubat dan tidak mau lagi mengakui perjanjian
itu! Dan engkau, hai Ali, tinggalkanlah perjanjian itu dan bertaubatlah kepada Allah seperti
yang sudah kita lakukan. Kalau tidak, kita tidak turut bertanggung jawab!"
Imam Ali r.a. bukanlah orang yang biasa menciderai perjanjian, walau perjanjian itu akan
mengakibatkan dirinya harus menanggung resiko kedzaliman orang lain. Kepada orang-orang
yang menuntut supaya ia menciderai perjanjian dan segera bertaubat, ia menjawab:
"Celakalah kalian! Apakah setelah kita sendiri mau menyetujui perjanjian itu lantas sekarang
harus berbuat cidera? Bukankah Allah telah memerintahkan supaya kita menjaga baik-baik dan
memenuhi perjanjian? Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya):
"Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpahmu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai
saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat" (S. An Nahl: 91).
Beberapa hari setelah peperangan berhenti, dalam salah satu khutbahnya Imam Ali r.a.
berkata: "Perintahku masih kalian ikuti terus seperti yang kuinginkan sampai saat kalian dilanda
perpecahan fikiran. Demi Allah, kalian tahu bahwa peperangan itu sama sekali tidak
menghilangkan kekhalifahanku. Itu masih tetap ada. Bahkan peperangan itu sebenarnya lebih
memporak-porandakan musuh kalian. Di tengah-tengah kalian, kemarin aku masih memerintah,
tetapi hari ini aku sudah menjadi orang yang diperintah. Kemarin aku masih menjadi orang
yang bisa melarang, tetapi hari ini aku menjadi orang yang dilarang. Kalian ternyata sudah
menjadi orang-orang yang lebih menyukai hidup, dan aku tidak dapat lagi mengajak kalian
kepada apa yang tidak kalian sukai…"
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment