Selesai menumpas pemberontakan Thalhah dalam perang "Jamal" di Bashrah, Imam Ali r.a.
tidak berniat pulang ke Madinah. Ia hendak memanfaatkan ketinggian mental pasukannya yang baru menang perang guna menghadapi pasukan Muawiyah (Syam) yang sudah mulai
memusatkan kekuatan di Shiffin, yang letaknya tak seberapa jauh dari Kufah.
Kufah pada waktu itu berada di bawah seorang penguasa daerah yang dahulu diangkat oleh
Khalifah Utsman bin Affan r.a., yaitu Abu Musa Al-Asy'ariy. Untuk mengerahkan dukungan dari
penduduk Kufah, diperlukan usaha-usaha meyakinkan lebih dahulu. Sebab, bagaimana pun juga
kota itu tak mungkin dapat dijadikan tempat pemusatan pasukan Imam Ali r.a., selama
penduduknya belum benar-benar meyakini benarnya perjuangan menumpas kaum pemberontak
yang digerakkan dari Syam.
Sikap Kufah
Setibanya dekat perbatasan Kufah, Imam Ali r.a. mengutus Ammar bin Yasir dan Muhammad bin
Abu Bakar menemui Abu Musa Al-Asy'ariy, penguasa daerah Kufah. Perutusan itu bertugas
mengajak penduduk berjuang bersama Imam Ali r.a. dan pasukannya dalam menumpas
pemberontakan Muawiyah.
Sore harinya, setelah mengadakan pembicaraan dengan perutusan Imam Ali r.a., Abu Musa
dihujani pertanyaan oleh sejumlah penduduk yang masih bingung. Mereka bertanya-tanya
tentang sikap apa yang harus diambil. Mendukung perjuangan Imam Ali r.a. atau tidak.
Jawaban yang diberikan Abu Musa atas pertanyaan sejumlah penduduk itu secara kebetulan
didengar oleh perutusan Imam Ali r.a. Perutusan Imam Ali r.a. menegor Abu Musa karena
jawabannya yang tidak jelas kepada rakyat. Abu Musa tidak menyerah begitu saja atas tegoran
perutusan Imam Ali r.a., sehingga terjadi perdebatan. Abu Musa dalam membela pendiriannya
mengatakan:
"Hai saudara-saudara, kalian adalah para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang sering menemani beliau dalam berbagai kejadian. Kalian tentu lebih tahu kehendak Allah dan Rasul-Nya dibanding dengan orang-orang lain yang tidak pernah menemani Rasul Allah s.a.w. Aku wajib menyampaikan sabda Rasul Allah, bahwa fitnah akan datang, orang yang tidur lebih baik dari yang melek, orang yang duduk lebih baik dari pada yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang menunggang kuda! Oleh karena itu masukkanlah pedang-pedang kalian ke dalam sarung, dan tunggu dulu sampai fitnah itu meletus dengan jelas!"
Karena kata-kata Abu Musa itu juga didengar oleh sejumlah penduduk Kufah, maka Ammar bin Yasir segera mengatakan: "Hai saudara-saudara. Abu Musa melarang kalian mencampuri urusan dua fihak yang sedang bertikai. Demi Allah, apa yang dikatakan olehnya itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Allah tidak akan ridho terhadap hamba-Nya yang mengikuti perkataan Abu Musa! Allah telah berfirman, (artinya): "Jika ada dua golongan dari kaum muslimin berperang, maka damaikanlah dua-duanya. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat dzalim terhadap yang lain, maka perangilah fihak yang berbuat dzalim itu sampai mereka kembali patuh kepada perintah Allah. Bila fihak itu sudah mematuhi perintah Allah, maka damaikanlah dua-duanya dengan adil, dan hendaknya kalian benar-benar berlaku adil.
Sesungguhnyalah bahwa Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
(S. Al-Hujurat:9).
Seterusnya Ammar bin Yasir berkata pula: "Juga Allah telah berfirman, (artinya)
"Dan perangilah mereka agar jangan sampai terjadi suatu bencana, dan supaya agama itu sematamata hanya untuk Allah. Jika mereka telah berhenti, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
(S. Al Anfal:39).
"Jelaslah," kata Ammar bin Yasir, "bahwa Allah tidak akan meridhoi para hamba-Nya tetap
duduk berpangku tangan di rumah, memencilkan diri dan membiarkan kaum muslimin saling
menumpahkan darah. Oleh karena itu hai saudara-saudara, keluarlah mendatangi orang-orang
yang sedang bertikai, dan dengarkan sendiri apa yang menjadi alasan mereka masing-masing.
Lalu pertimbangkanlah baik-baik fihak mana yang harus dibela dan diikuti. Jika mereka sudah
berdamai, kalian dapat pulang ke rumah masing-masing membawa pahala, sebab kalian sudah
memenuhi kewajiban Allah. Tetapi jika ada fihak yang berlaku dzalim terhadap fihak lain,
perangilah fihak yang dzalim itu, sampai mereka patuh kembali kepada Allah. Itulah yang
diperintahkan Allah kepada kalian."
Setelah perdebatan itu selesai Ammar bin Yasir dan Muhammad bin Abu Bakar pergi menghadap
Imam Ali r.a. untuk menyampaikan laporan tentang apa yang telah dikatakan Abu Musa.
Seterimanya laporan itu Imam Ali r.a. menulis surat panjang lebar ditujukan kepada penduduk
Kufah. Surat itu akan dibawa langsung oleh 4 orang utusan yang terdiri dari Al Hasan bin Ali
r.a., Abdullah bin Abbas, Ammar bin Yasir dan Qies bin Sa'ad. Surat itu antara lain berbunyi:
"…kuberitahukan kepada kalian tentang persoalan Utsman bin Affan, agar orang yang
mendengar dapat berfikir seperti orang menyaksikan sendiri terjadinya peristiwa itu. Aku
adalah seorang muhajir yang paling jarang menyalahkan Utsman dan bahkan paling banyak
memberi nasehat kepadanya."
Selanjutnya dalam surat tersebut dijelaskan tentang proses terjadinya pemberontakan
terhadap Khalifah Utsman, proses pembai'atan dirinya sebagai Khalifah, dan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan Thalhah dan Zubair yang pergi ke Makkah lalu mengajak Ummul Mukminin Sitti
Aisyah r.a. untuk dijadikan alat pengobar fitnah dan bencana.
Empat orang utusan Imam Ali r.a. itu kemudian menemui Abu Musa Al Asy'ariy. Kepadanya surat
Imam Ali r.a. itu diserahkan dan Abu Musa sendiri diminta membai'at Imam Ali r.a. dan
memberikan dukungan. Setelah membaca surat Imam Ali r.a. dan mengadakan pertukaran
fikiran beberapa saat lamanya, akhirnya Abu Musa menyatakan bai'atnya kepada Imam Ali r.a.
di depan para utusan. Setelah itu ia berseru kepada penduduk Kufah supaya memberikan
dukungan dan berjuang bersama-sama Imam Ali r.a. Untuk lebih memantapkan keyakinan
penduduk Kufah, Al Hasan r.a., Ammar bin Yasir dan Qeis bin Sa'ad berbicara sesudah Abu
Musa.
Sebagai sambutan atas pembicaraan-pembicaraan di atas, maka Syarih bin Hani, atas nama
kaum muslimin kota Kufah menyatakan: "Kami sebenarnya sudah berniat hendak berangkat ke
Madinah untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya persoalan terbunuhnya Utsman bin
Affan. Tetapi sekarang kita telah menerima berita langsung dari Imam Ali, dan kami percaya
berita itu benar. Oleh karena itu, hai saudara-saudara, janganlah kalian menolak seruan dan
ajakannya. Demi Allah, seandainya ia tidak minta dukungan pun kami akan membela dan taat
kepadanya."
Sikap penduduk Kufah yang pada mulanya ragu-ragu mendukung perjuangan Imam Ali r.a., dan
baru bersedia setelah menerima penjelasan yang meyakinkan, hal itu mudah dimengerti,
mengingat:
1. Mereka berada di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, Madinah. Dengan begitu ada
kemungkinan berita-berita yang mereka dengar tentang tragedi yang menimpa Khalifah Utsman
r.a. agak bersimpang siur.
2. Mereka tidak menyaksikan sendiri proses pembai'atan kaum muslimin Madinah kepada Imam
Ali r.a. Dengan demikian mereka mudah dikacaukan fikirannya oleh berita-berita yang sengaja
dilancarkan dari Damsyik.
3. Mereka adalah penduduk satu daerah kaya dan subur. Mempunyai syarat-syarat penghidupan
yang jauh lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang bertempat tinggal di Madinah,
Makkah atau daerah-daerah Hijaz lainnya. Mau tidak mau, kebiasaan hidup senang dan
berkecukupan bisa mengakibatkan orang lamban dalam memenuhi panggilan perjuangan.
Dalam rangka persiapan menghadapi perlawanan pasukan Syam di Shiffin, Imam Ali r.a. berseru
kepada penduduk Kufah agar siap-siaga untuk tiap waktu berangkat ke Shiffin. Dalam salah satu
khutbahnya Imam Ali r.a. antara lain menyerukan: "Saudarasaudara, siap-siaplah untuk
berangkat melanjutkan perjuangan melawan musuh, sebagai ibadah mendekatkan diri kepada
Allah s.w.t. dan sebagai wasilah untuk dapat diterima di sisi-Nya. Siapkanlah kekuatan sebatas
kesanggupan kalian seperti kuda-kuda perang dan lain sebagainya. Kemudian bertawakkallah
kalian kepada Allah dan serahkan segera sesuatu kepada-Nya."
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment