Kepemimpinannya Adalah Penaklukan, Hijrahnya Adalah Kemenangan, Keteladanannya Adalah Rahmat, Download Gratis Film Umar Bin Khattab 30 Episode di sini http://omar.collectionfree.com

Perang Unta

0 comments

Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat dihindarkan lagi, namun Imam Ali r.a. masih tetap berusaha untuk dapat mencegah berkobarnya peperangan sesama muslimin. Ia teringat kenangan lama yang indah, ketika bersama Thalhah dan Zubair berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w.

Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dengan dua tokoh bekas sahabatnya, yang saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada pertemuan muka dengan Thalhah, Imam Ali r.a. berkata: "Sahabatku Thalhah! Engkau menyimpan isterimu sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasul Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?"

Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya dapat menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yang dipimpinnya.

Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran (ia tergabung dalam pasukan Thalhah), segera mengikuti sambil berkata:
"Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku untuk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia, karena dia juga turut membunuh Utsman!"

Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yang dilepaskan oleh anggota pasukannya sendiri. 
Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: "Hai Abdullah, apakah yang mendorongmu sampai datang ke tempat ini?"
"Untuk menuntut balas atas kematian Utsman," jawab Zubair dengan terus terang.
"Engkau menuntut balas atas kematian Utsman?" tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. "Allah mengutuk orang yang membunuhnya! Hai Zubair, engkau kuingatkan.

Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama Rasul Allah s.a.w. waktu itu beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, kemudian beliau tersenyum padaku, lalu menoleh kepadamu sambil berkata: "Hai Zubair, engkau kelak akan memerangi Ali secara dzalim!"
"Oh, ya," jawab Zubair, setelah beberapa saat mengingat-ingat.
"Mengapa engkau sekarang memerangi aku?" tanya Imam Ali r.a. pula.
"Demi Allah," sahut Zubair, "aku lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk memerangimu."

Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dengan air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair terpisah dari pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh.
Perang Unta, atau Waq'atul Jamal, antara sesama kaum muslimin, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq'atul Jamal, Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengatakan, bahwa dua pasukan saling berhadapan, pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah, terus menerus dibakar semangatnya dengan syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan untuk mengarungi pertempuran sengit melawan Imam Ali r.a. dan pasukannya. Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung sengit, muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: "Tidak ada fihak yang harus dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!" Sejalan dengan itu ia menarik tali kekang unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair:

Hai ibu…, hai ibu, tanah air telah lepas dariku
Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan
Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan
Jika Ali lepas dari tangan, matilah aku
Atau jika dua anaknya, Hasan dan Husein, lepas...
Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan!

Dengan pedang teracung di tangan ia maju menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan, ia sendiri sudah tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dengan pasir. Tali kekang yang lepas dari tangannya, segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yang benar-benar berani bertempur sampai mati, ia pasti maju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil menghunus pedang dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a.
Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. :

Mereka kuserang, tetapi tak kulihat ayah si Hasan
Aduhai....itu merupakan kesedihan di atas kesedihan
Mendengar tantangan Abdullah bin Abza, Imam Ali r.a. segera keluar dari barisan untuk melakukan serangan dengan tombak. Beberapa saat perang tanding berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a., tiba-tiba ujung tombak yang runcing mengkilat sudah menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum Abdullah menarik nafas terakhir, Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya: "Sudahkah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?" Habis mengucapkan pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan.

Sementara pasukan kedua belah fihak sedang bergulat mengadu senjata, banyak kepala dan
tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya, Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia
mengambil segenggam kerikil, lalu dicampakkan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya
berteriak: "Hancurlah muka kalian!" Hal semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a., meniru
perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain.

Melihat peperangan semakin dahsyat, bersama regu pasukan yang mengenakan serban hijau,
terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, Imam Ali r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh
tiga orang puteranya: Al Hasan, Al Husein dan Muhammad Al Hanafiyah. Sebelum tampil sendiri
memimpin serangan, Imam Ali r.a. bermaksud hendak menguji ketangguhan puteranya yang
bernama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan panji pasukan, Imam Ali r.a. berkata
kepada puteranya itu: "Majulah dengan panji ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu!
Jangan berhenti di tempat lain!"

Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa langkah, ia sudah dihujani anak-panah yang
beterbangan dari arah lawan. Melihat itu, ia memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak:
"Tunggu dulu, sampai mereka kehabisan anak-panah!"

Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera menyuruh orang lain guna mendekati puteranya.
Kepada orang yang disuruhnya itu, dipesan agar mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju
terus melancarkan serangan terbuka dan besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban,
Imam Ali menghampirinya sendiri dari belakang. Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu
puteranya, Ia membentak: "Hayo maju!"

Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus, namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga
lamban bergerak. Sebagai seorang ayah, Imam Ali r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yang di
tangan puteranya diambil kembali dengan tangan kiri, sedang pedang yang terkenal dengan
nama "Dzul Fiqar" terhunus di tangan kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a.
memimpin serbuan ke tengah pasukan "Jamal". Setelah melakukan serangan beberapa saat
lamanya, menangkis dan memukul musuh, Imam Ali r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat-sahabat dan putera-puteranya berkerumun.

"Ya Amirul Mukminin," desak Al Asytar, "cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!"
Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam Ali r.a. Menoleh saja pun tidak, darahnya masih
mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang yang ada di sekitarnya ketakutan.
Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia
menyerahkan kembali panji pasukan kepada puteranya, Muhammad A1 Hanafiyah.

Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a.
menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang dengan gesit dan cekatan. Anggotaanggota
pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya lari terbirit-birit menyelamatkan
diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah.
Selesai melancarkan serangan kedua, Imam Ali r.a. kembali lagi ke induk pasukan.

"Kalau anda sampai gugur," puji sahabatnya, setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya,
"barangkali akan lenyap agama Islam. Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan
bertempur!"
"Demi Allah," jawab Imam Ali r.a. atas pujian sahabat-sahabatnya itu. "Aku sangat tidak setuju
dengan fikiran kalian.
Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan Allah dan kampung akhirat!"
Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia berkata: "Seperti akulah seharusnya engkau
berbuat!"

Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang
yang berkerumun di sekitar Imam Ali r.a. terdengar sura bergumam: "Siapa orangnya yang
sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!"
Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputarputar
sedemikian rupa seperti penggilingan gandum. Pasukan kedua belah fihak berjubel dan
saling mendesak beradu senjata di sekitarnya. Unta sampai meringkik-ringkik keras sekali
karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari.

Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang untuk lebih mendekat kepada unta. Gerakan
pasukan Imam Ali r.a. terhambat tumpukan manusia yang berada di sekelilingnya. Setiap
anggota pasukan yang mati, penggantinya datang berlipat ganda.
Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: "Celakalah kalian! Tembak saja
unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka itu!"

 Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun
anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya dipasang tijfaf. Semua anak panah
menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan seperti seekor landak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: "Hai penuntut balas darah Utsman!" Yang berteriak ialah
Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan akhirnya menjadi semboyan yang
diteriakkan pasukan Thalhah.
Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali r.a. dengan semboyan: "Hai Muhammad!"
Nama putera Imam Ali r.a. yang memegang panji pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera
mengikuti semboyan yang diserukan Imam Ali r.a.

Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah bergumul mengadu senjata.
Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang Unta. Semboyan yang diserukan Imam Ali
r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil
menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan.

Pasukan Thalhah makin payah menghadapi tekanan-tekanan berat yang terus-menerus
dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian mereka samasekali tidak berusaha
melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan yang makin lama makin mengecil itu
kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah
bertekad, pasukan Imam Ali r.a. baru akan berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah melewati
mayat-mayat mereka.

Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan Bashrah itu sungguh dahsyat sekali.
Nyawa, sudah tidak mereka pedulikan. Dengan semangat berkobar-kobar penuh fanatisme
mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya korban sehingga di sekitar unta yang besar
itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang luka dan mati. Padang pasir yang kering
menjadi basah oleh darah dan bau anyir menyengat hidung.

Melihat keadaan yang mengerikan itu, Imam Ali r.a. mengambil suatu keputusan cepat untuk
merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan dipercayakan kepada Al Asytar dan Ammar.
Kepada kedua orang sahabatnya itu, Imam Ali r.a. memerintahkan: "Cepat bantai unta itu!
Peperangan belum selesai, apinya masih berkobar. Unta itulah yang dijadikan semacam kiblat
oleh mereka!"

Dua orang yang diperintah itu segera maju bersama beberapa orang lainnya dari Bani Murad.
Seorang di antaranya bernama Umar bin Abdullah. Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy
mereka mendekati unta, lalu ponok dekat lehernya dipukul dengan pedang oleh Al Muradiy.
Unta itu meronta-ronta, meringkik keras-keras, dan akhirnya rebah.

Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali
r.a. berteriak memberi perintah: "Potong tali pengikat Haudaj!"
Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin Abu gakar Ash Shiddiq (saudara Sitti Aisyah
r.a.): "Ambillah saudara perempuanmu!" Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muhammad bin Abu
Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik Abdullah bin Khalaf Al Khuza'iy.
Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah bin Abbas supaya menemui Sitti Aisyah dan
memintanya agar bersedia pulang ke Madinah. Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas
menceritakan pengalamannya sebagai berikut:
Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi sesuatu untuk duduk. Kuambil saja sebuah
bantal yang dibawa olehnya selama perjalanan, lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata:
"Hai Ibnu Abbas, engkau sudah menyalahi peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan
dalam rumahku tanpa seizin aku?!"
"Ini bukan rumah bunda," jawabku, "bukan rumah yang oleh Allah bunda diperintahkan supaya
tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda, aku tidak berani duduk di atas bantal bunda
tanpa seizin bunda!"
"Melalui aku," kataku meneruskan, "Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke
Madinah."
Tiba-tiba ia menyahut: "Mana ada Amirul Mukminin?"

"Dulu memang Abu Bakar," jawabku dengan sabar dan hormat, "kemudian Umar lalu Utsman
dan sekarang Ali!"
"Tidak, aku tidak mau!" sahut Sitti Aisyah.
"Bunda sekarang bukan lagi orang yang dapat memerintah atau melarang," kataku terpaksa
menegaskan, "Tidak bisa mengambil dan tidak bisa memberi."
Sitti Aisyah kemudian menangis, sampai suaranya kedengaran dari luar rumah. Lalu ia berkata:
"Aku akan segera pulang ke tempat kediamanku, insyaa Allah Ta'aalaa. Demi Allah, tidak ada
suatu negeri yang kubenci seperti negeri di mana kalian berada sekarang ini."
"Mengapa begitu?" tanyaku. "Demi Allah, kami tetap memandang bunda sebagai Ummul
Mukminin. Kami tetap memandang ayahnya bunda, Abu Bakar, sebagai seorang shiddiq."
Sehabis pertemuan dengan Ummul mukminin aku segera menghadap Amirul Mukminin.
Kepadanya kulaporkan semua yang kukatakan kepada Sitti Aisyah dan apa yang dikatakannya
kepadaku. Mendengar laporanku itu, Amirul Mukminin merasa lega. Menanggapi laporanku ia
berucap: "Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga ia akan memberi jawaban jawaban seperti
itu."

Sudah lazim terjadi, tiap kelompok masyarakat atau pasukan, ssusai menghadapi peperangan
muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga pasukan Imam Ali r.a. Ada yang menuntut agar
semua orang yang terlibat dalam pasukan lawan yang sudah kalah itu dijadikan tawanan,
diperlakukan sebagai budak dan dibagi-bagikan.

Menjawab tuntutan ekstrim itu dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan: "Tidak!"
"Mengapa anda melarang kami?" tanya fihak ekstrim itu, "untuk menjadikan mereka sebagai
hamba-hamba sahaya, padahal anda dalam peperangan menghalalkan darah mereka?!"
"Bagaimana kalian boleh berbuat seperti itu," ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. "Mereka itu
dalam keadaan tidak berdaya, lagi pula mereka itu berada di dalam daerah hijrah dan daerah
Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin seperti kalian? Adapun tentang apa saja yang
dipergunakan pasukan musuh untuk melawan kalian, boleh kalian rampas sebagai barang
ghanimah. Tetapi semua yang berada di dalam rumah penduduk Bahsrah, apalagi yang pintunya
tertutup rapat, semua itu adalah milik mereka sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun
atas kesemuanya itu!"

Anasir-anasir ekstrim tidak puas dengan penjelasan itu. Mereka tetap bersitegang leher dalam
mendesakkan tuntutannya. Malahan berani mengucapkan kata-kata yang bernada menggertak.
Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada hukum yang batil. Dengan muka merah padam
dan mata membelalak, Imam Ali r.a. menjawab dengan tantangan: "Coba, siapa dari kalian
yang berani merampas Sitti Aisyah…? Coba, siapa yang berani merampas dia dan berani
menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh, jawab… Dia akan kuserahkan!"
Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yang sekeras itu mereka mundur sambil minta maaf dan
beristighfar kepada Allah s.w.t.

Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a., Imam
Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang anggota pasukan yang baru saja melihat jenazah
Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terjatunya.

Sumber

Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini

Share this article :

Post a Comment

 
TEMPLATE ASWAJA| Umar Bin Khattab - All Rights Reserved