Kesatriaan dan keperwiraan Imam Ali r.a. bukan dibuat-buat, melainkan sudah menjadi sifat
dan tabiatnya sendiri. Hal itu ditumbuhkan dan diperkuat oleh lingkungan hidupnya sejak kecil
dan oleh ajaran serta tauladan yang diterimanya langsung dari Rasul Allah s.a.w. Ia bukan
orang yang suka mabok kemenangan dan bukan pula seorang pedendam. Ketangguhan dan
ketangkasannya sebagai pelaku perang-tanding yang banyak disegani orang, sama sekali tidak
membuatnya besar kepala. Ia tidak pernah mulai mengajak berkelahi atau berduel, apalagi
menantang-nantang. Bahkan dalam menghadapi saat-saat gawat, masih tetap berusaha agar
pertumpahan darah dapat dihindarkan.
Ada orang yang menilai sikapnya itu sebagai tanda kelemahan. Ada pula yang menafsirkannya
sebagai tanda kegentaran. Penilaian dan penafsiran itu tidak tepat sama sekali. Sikap Imam Ali
r.a. semacam itu benar-benar keluar dari hati yang tulus ikhlas. Kemanusiaannya sangat tinggi.
Lawan yang ditundukkannya diperlakukan dengan sikap manusiawi dan dihormati sesusi dengan
harkat martabatnya sebagai manusia.
Kepada puteranya sendiri, Al Hasan r.a., tidak jemu jemunya ia berpesan agar jangan sekalikali
menantang orang berkelahi atau berperang-tanding. "Tetapi jika orang itu menantang,
jawab tantangan itu dan hadapilah. Seba orang yang berbuat seperti
itu ialah orang dzalim, dan tiap orang dzalim wajib dilawan," demikian ujar Imam Ali r.a.
dengan tandas.
Sering juga orang tidak dapat memahami sifat keksatriaannya. Bagi para ahli perang modern,
pendirian Imam Ali r.a. itu dianggap tidak tepat. Sebab, menurut faham mereka, pertahanan
yang terbaik ialah melancarkan serangan mengejutkan terhadap lawan. Tetapi watak
keksatriaan Imam Ali r.a. tidak seperti itu. Ia hanya akan menyerang bila benar-benar sudah
diserang. Jadi serangan hanya dipandang sebagai langkah mempertahankan diri.
Ketika salah seorang sahabatnya menyaksikan persiapan kaum Khawarij dan kemudian
dilaporkannya kepada Imam Ali r.a. dan disertai usul supaya mendahului gerakan musuh dengan
suatu serangan kilat; Imam Ali r.a. dengan tegas mengatakan: "Aku tidak mau menyerang
mereka sebelum mereka melancarkan serangan lebih dahulu terhadap kita. Biarlah mereka
berbuat lebih dulu." Padahal secara normal usul sahabatnya itu tepat dan benar.
Peristiwa yang sama juga terjadi sebelum itu. Ialah dalam "Perang Unta". Demikian juga dalam
perang Shiffin. Mengawali pecahnya peperangan antar sesama kaum muslimin itu, Imam Ali r.a.
selalu berusaha lebih dulu agar dapat diciptakan perdamaian, selagi masih ada peluang untuk
itu, betapa pun kecilnya. Jalan inilah yang menurut Imam Ali r.a. sebaiknya harus ditempuh.
Prinsip ini olehnya dipegang teguh. Tidak pandang apakah yang sedang dihadapinya itu perang
terbuka atau terselubung, besar atau kecil. Ia selalu mengajak lawan untuk memecahkan
persengketaan dan pertikaian melalui jalan damai. Kepada pasukannya ia pun memerintahkan
supaya tidak mengambil tindakan lebih dulu yang akan mengakibatkan bencana jatuhnya
banyak korban.
Pada dasarnya ia tidak menghunus pedang sebelum menyerukan perdamaian kepada lawan
lebih dulu. Tetapi sikapnya yang seperti itu bukannya tidak dilandasi dengan kesiap-siagaan di
kalangan pasukannya. Inilah rupanya yang menjadi rahasia keunggulannya dalam menghadapi
peperangan demi peperangan.
Satu contoh tentang keksatriaannya yang sangat menarik ialah pada waktu menghadapi kaum
Khawarij. Orang-orang Khawarij yang terkenal sangat benci kepada Imam Ali r.a., pada satu
ketika berteriak mengkafirkan dan memaki-maki dirinya. Imam Ali r.a. tetap tenang dan
dengan lapang dada menghadapi semuanya itu. Sedangkan pasukannya sudah tak tahan lagi
mendengar pimpinannya dihina orang. Mereka bangkit hendak melancarkan serangan serentak.
Tetapi dengan cepat Imam Ali r.a. berteriak untuk menghentikan niat mereka: "Jangan! Itu
hanya sekedar makian! Kita harus menjawab mereka dengan memberi maaf!" Demikian
perintahnya.
Kebijaksanaan seperti itu ada kalanya menimbulkan salah faham dan gerutu dalam pasukannya
sendiri. Ya, itulah Imam Ali r.a., seorang pemimpin yang berjiwa besar lagi arif bijaksana.
Imam Ali r.a. tersohor sebagai pendekar perang dan tangkas dalam perang-tanding. Namun ia
benar-benar baru mau mengangkat senjata bila telah terpaksa harus mempertahankan diri. Bila
sudah sampai ke tingkat itu, maka tinggal dua pilihan saja bagi dirinya, ia mati di tangan
lawan, atau lawan yang harus mati di tangannya. Berlandaskan ketenangan dan kemantapan.
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Home
Ali Bin Abi Thalib Ra
Sifat Ksatria Imam Ali Bin Abi Thalib R.A
Post a Comment