Kepemimpinannya Adalah Penaklukan, Hijrahnya Adalah Kemenangan, Keteladanannya Adalah Rahmat, Download Gratis Film Umar Bin Khattab 30 Episode di sini http://omar.collectionfree.com

Ibadahnya Ali Bin Abi Thalib R.A

0 comments

Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan banyak beribadah. Ia pun paling sering
berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang cara-cara yang terbaik dalam
menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir dan beribadah lainnya. Bila sedang
menghadap ke hadhirat Allah 'Azaa wa Jalla, Imam Ali r.a. sedemikian khusyu' dan khidmatnya,
tak ada sesuatu yang dapat menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya.

Dalam situasi sedang berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali
r.a. tekun berwirid, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu tenaga dan
senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a. bersembah sujud di hadapan Allah
s.w.t., padahal tidak sedikit anak panah yang beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang
berjatuhan di depannya. Ia tidak gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat
ibadah sebelum menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud
setiap hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras kehitam-hitaman.
Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya, menyatakan ketundukan dan
penyerahan hidup-matinya kepada Allah. Dengan patuh ia melaksanakan semua perintah dan
menghindari larangan-Nya. Semuanya itu dilakukan dengan sepenuh hati, jujur dan ikhlas.
Hatinya, perbuatannya dan ucapannya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak
kenal garis pemisah.

Konon Ali bin Al Husein r.a. --cucu Imam Ali r.a.-- pernah ditanya orang tentang "bagaimana
perbandingan antara ibadah yang anda lakukan dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?"
Ali bin Al Husein r.a. yang terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab:
"Perbandingan antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara
ibadah datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w."

Tentang ibadah Imam Ali r.a. ini, 'Urwah bin Zubair mengemukakan sebuah riwayat yang
berasal dari Abu Darda sebagai berikut:
Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada di halaman rumah seorang yang
penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari orang lain dan bersembunyi di sela-sela
batang kurma yang sangat lebat: "Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah
berada di rumahnya lagi. Tibatiba aku mendengar suara ratap sedih: 'Ya Allah, Tuhanku, betapa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat banyak dosaku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu'…"

"Suara ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara itu
adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar jangan sampai
diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku' beberapa kali di tengah kegelapan malam.
Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara
munajat yang diucapkannya ialah: "Ya Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan keampunan-Mu, terasa
ringanlah kesalahanku. Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa
kesalahanku."

Kata Abu Darda lebih lanjut: "Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin lama suaranya tidak
kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena terlalu banyak bergadang. Dini hari ia
hendak kubangunkan untuk shalat subuh. Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang
kayu. Ia kugerak-gerakkan dan kubalik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia
wafat. Lalu aku mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Aku cepat-cepat lari ke
rumahnya untuk memberi tahu keluarganya."

Setelah mendengar keteranganku, Sitti Fatimah r.a. hanya bertanya: "Hai Abu Darda, dia
kenapa dan bagaimana keadaannya?"
Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a. memberitahu kepadaku, bahwa
"…dia sedang pingsan, karena sangat takut kepada Allah!"
Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan membawa air, kemudian mengusapusapkan
pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan sadarkan diri kembali. Ia
memandang kepadaku dan aku menangis. Ia bertanya: "Hai Abu Darda, mengapa engkau
menangis?"

"Karena melihat sesuatu yang menimpa dirimu," jawabku.
"Hai Abu Darda," ujar Imam Ali r.a. lebih lanjut, "bagaimanakah kiranya kalau engkau melihat
aku dipanggil untuk menghadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang yang berbuat
dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi sejumlah Malaikat yang bengis dan
keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli
dunia pun sudah meninggalkan diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan
lebih mengasihi diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun
kecilnya."
"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w. yang lain…," sahut
Abu Darda.

Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan
kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya. Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Imam Ali
r.a. Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu Darda itu
sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. di
tengah malam.
Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally
menceritakan penyaksiannya sebagai berikut:
"Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a. Sepanjang malam ia bersembahyang.
Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di
malam yang sunyi senyap itu ia bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?'…"
"Aku melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku.

"Hai Nauf," ujar Imam Ali r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup zuhud di dunia, orangorang
yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi ini sebagai
hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur, menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan
doa sebagai syi'ar, menjadikan Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan
cara seperti Isa bin Maryam as.!"

Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu
Ya'laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a. pernah menegaskan: "Aku tidak pernah
meninggalkan shalat malam semenjak kudengar Rasul Allah s.a.w. mengatakan, bahwa shalat
malam itu adalah cahaya."

Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin Al-Mughirah mengatakan:
"Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia
bergadang untuk beribadah."

Begitu agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah karena
dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Allah sajalah yang
berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena merasa keterikatan hidupnya
dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w.

Suatu ibadah yang lebih besar artinya daripada hanya sekedar berdasar keyakinan, dan lebih
mulia daripada hanya sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah
menegaskan: "Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti
ibadahnya kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya
seorang budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia merdeka!"
Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik kewajiban shalat, ia pun terusmenerus
mengingatkan para pengikutnya supaya selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia.

Hanya shalatlah yang dapat membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat
diibaratkan sebagai mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap
sehari semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah yang
tidak terbuang dari badannya?!
Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah menjanjikan nikmat kepada Imam Ali r.a., namun kewajiban
shalat tetap dijaga kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya
yang berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar dalam
menunaikannya…" (S. Thaha: 132).

Tidaklah aneh kalau orang Zahid seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada
orang lain. Walau ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak menyukai perlakuan istimewa.

Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah
Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk.
Tak lama kemudian Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sambil berkata: "Bangunlah, ya Abal
Hasan, duduklah bersama lawan perkara anda!"

Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah
perkaranya selesai, orang yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah
duduk di tempat semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah,
lalu bertanya: "Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda tidak senang
terhadap apa yang baru terjadi?"
"Ya, benar!" jawab Imam Ali r.a. "Sebab anda memanggilku dengan nama kehormatan di depan
lawan perkara!"

Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar r.a. dengan rasa terharu
merangkulnya seraya berkata: "Ya Allah, kalian itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah memberi
hidayat kepada kami, dan dengan kalian pula Allah mengeluarkan kami dari kegelapan ke
cahaya terang…!"

Kezuhudannya, kesederhanaannya, keshalihannya serta ketaqwaannya kepada Allah s.w.t.
tidak membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang anggun,
bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk menyenangkan hati orang
lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan suram.
Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau, sering dilebih-lebihkan
oleh lawan-lawannya untuk menjatuhkan nama baik dan mengurangi martabatnya. Terutama
oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu
mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa Ali bin Abi Thalib seorang yang "gemar bercanda".

Sumber

Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Share this article :

Post a Comment

 
TEMPLATE ASWAJA| Umar Bin Khattab - All Rights Reserved