Al-Musta'shim dilahirkan pada 609 H. Ibunya seorang
wanita mantan budak bernama Hajar. Nama lengkapnya adalah Al-Musta'shim billah,
Abu Ahmad, Abdullah bin Al-Musta'shim bin Al-Mustanshir Billah. Ia adalah
khalifah ke-37 (1242-1258 M) atau khalifah Bani Abbasiyah terakhir di
Irak.
Khalifah Al-Musta'shim adalah seorang khalifah yang
pemurah, penyabar, dan baik agamanya. Perbedaannya dengan sang ayah adalah dari
kejelian dan kewaspadaan.
Al-Musta'shim memiliki banyak kelemahan dan terlalu
menggantungkan pemerintahannya pada menterinya yang bernama Muayiddin Al-Alqami
Ar-Rafidhi, yang berasal dari kalangan Syiah Rafhidah.
Padahal menteri inilah yang banyak melakukan
pengkhianatan terhadap negara dengan cara membocorkan rahasia kekuatan negara
pada orang-orang Tartar, dengan tujuan agar mereka menyerang dan menghancurkan
Dinasti Abbasiyah serta mendirikan kekhalifahan bagi keturunan Ali.
Penguasaan orang-orang Tartar terhadap Asia tengah
dimulai pada 615 H, dengan menguasai Bukhara dan Samarkand. Dalam penaklukan itu
mereka membunuh banyak orang dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Setelah
itu, mereka menguasai Bukhara, Samarkand, Khurasan, Ray, Hamadzan, Irak,
Azerbaijan, Darband Syarwan, Lan, Lakz, Qafjaq, dan wilayah-wilayah di
sekitarnya yang merupakan wilayah Bani Abbasiyah.
Puncaknya pada 656 H, orang-orang Tartar di bawah
pimpinan Hulagu Khan sampai ke Baghdad, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah.
Kedatangan mereka disambut tentara Khalifah Al-Musta'shim. Namun karena semangat
dan jumlah tentara yang tidak seimbang, dalam waktu singkat tentara khalifah
disapu bersih oleh pasukan Tartar.
Tentara khalifah saat itu bukan tentara Islam yang
sebenarnya. Iman yang mulai rapuh, pemerintahan yang korup, semangat tempur yang
rendah, perpecahan karena perbedaan kelompok dan kepentingan di antara pimpinan
pasukan menjadi penyebab kekalahan tentara Bani Abbasiyah.
Pada 10 Muharram 656 H, pasukan Tartar memasuki
Baghdad tanpa mendapatkan perlawanan sedikit pun. Sebagian besar tentara
khalifah terbunuh, begitu juga dengan keluarganya. Sang menteri pengkhianat
menasihati Khalifah Al-Musta'shim agar datang menemui orang-orang Tartar untuk
mengadakan kesepakatan damai.
Ternyata ini hanya siasat sang menteri. Sebab setiap
rombongan yang diutus khalifah keluar, langsung dibunuh, dan begitu seterusnya.
Peristiwa ini telah banyak menelan korban dari kalangan ulama, fuqaha dan
orang-orang penting di sekitar khalifah.
Adapun tentara Tartar yang berhasil memasuki Baghdad
mengadakan pesta pembantaian terhadap siapa saja yang melawan atau tidak
melawan. Kekejaman pembantaian ini melebihi apa yang dilakukan oleh Nebukadnezar
ketika menaklukkan Baitul Maqdis. Selama empat puluh hari, korban yang jatuh
dalam peperangan lebih dari satu juta penduduk. Konon selama empat puluh hari
itu juga api tak pernah padam di Baghdad.
Setelah selesai dengan pembantaian terhadap khalifah dan
penduduk Baghad, Menteri Muayiddin Al-Alqami meminta Hulagu Khan agar mengangkat
orang-orang Alawiyin sebagai khalifah. Namun permintaan ini ditolak oleh Hulagu
Khan. Bahkan Ibnu Al-Qami dijadikan pelayan mereka dan akhirnya mati dalam
keadaan yang mengenaskan.
Belum puas dengan penaklukan Baghdad, Hulagu Khan
mengirim surat kepada An-Nashir, penguasa Damaskus, agar menyerah kepada pasukan
Tartar. Permintaan ini ditolak.
Pada 658 H, pasukan Tartar menyeberangi sungai Furat
dan bergerak menujuk Halb. Mereka pun bersiap-siap menyerang Damaskus. Tentara
Mesir yang dipimpin oleh Al-Muzhaffar dan panglima perangnya Ruknuddin Baybars
Al-Bandaqari, menyambut kedatangan pasukan Tartar dengan semangat jihad
tinggi.
Kedua pasukan bertemu di Ayn Jalut dan pertempuran sengit pun
pecah pada 15 Ramadhan. Pasukan Tartar mengalami kekalahan telak dalam
pertempuran ini. Sebagian kecil tentara Tartar yang mencoba melarikan diri terus
dikejar oleh Baybars hingga ke Halb dan berhasil mengusir mereka dari tanah
Arab.
Hingga 659 H, belum juga ada khalifah di dunia Islam.
Akhirnya, didirikanlah Khalifah di Mesir dan Al-Mustanshir diangkat sebagai
khalifah pertama. Dunia Islam kehilangan kekhalifahan selama 3,5
tahun.
Sebagian besar buku sejarah, ketika memaparkan sejarah
para khalifah, berhenti pada Khalifah Al-Musta'shim ini. Padahal ada beberapa
Khalifah Abbasiyah berikutnya yang sempat bertahan di Mesir. Mereka masih
tergolong Khalifah Abbasiyah yang diakui sejarah. Meskipun wewenang mereka tidak
besar, tetapi para penguasa setempat merasa mendapatkan kehormatan jika direstui
oleh khalifah yang berada di Mesir.
Bahkan Sultan Bayazid I dari Daulah Ustmaniyah, merasa
perlu meminta restu dari khalifah di Mesir, sebelum akhirnya Sultan Salim I
mengambil alih khilafah dari tangan Khalifah Al-Mutawakkil III dan mendirikan
Khilafah Utsmaniyah di Istanbul, Turki.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni