Musa Al-Hadi (785-786 M) menjabat Khalifah Abbasiyah keempat
menggantikan ayahnya, Khalifah Al-Mahdi. Ia menjalankan pemerintahan hanya satu
tahun tiga bulan (169-170 H). Ia dilahirkan di Ray pada 147 H.
Ketika ayahnya wafat, Musa Al-Hadi sedang berada di
pesisir pantai Jurjan di pinggir laut Kaspia. Saudaranya, Harun Ar-Rasyid,
bertindak mewakilinya untuk mengambil baiat dari seluruh tentara. Mendengar
berita wafatnya sang ayah, Musa Al-Hadi segera kembali ke Baghdad dan
berlangsunglah baiat secara umum.
Pusat perhatian umat Musa Al-Hadi ketika menjabat
khalifah adalah membasmi kaum Zindiq. Kelompok ini berkembang sejak pemerintahan
ayahnya, Al-Mahdi. Secara umum kelompok ini lebih mirip ajaran komunis yang
ingin menyamakan kepemilikan harta. Tetapi mereka sering tidak menampakkan
ajarannya secara terang-terangan. Ini yang menyulitkan kaum Muslimin
membasminya.
Walau demikian, di akhir pemerintahan Al-Mahdi,
kelompok ini semakin merebak dengan melakukan kegiatan bawah tanah. Untuk itu,
Khalifah Musa Al-Hadi tidak mau ambil resiko. Dengan tegas ia memerintahkan
pasukannya untuk membasmi kelompok ini sampai ke akar-akarnya.
Tantangan terhadap Khalifah Musa Al-Hadi tak hanya
muncul dari kaum Zindiq. Di daerah Hijaz muncul sosok Husain bin Ali bin Hasan
bin Ali bin Abi Thalib. Ia mendapatkan sambutan dari masyarakat karena masih
keturunan Ali bin Abi Thalib. Bahkan kelompok ini sempat memaklumatkan
berdirinya Daulah Alawi di Tanah Hijaz.
Karena gubernur setempat tak mampu mengatasinya, Musa
Al-Hadi segera mengirimkan pasukan cukup besar dari Baghdad yang dipimpin oleh
Muhammad bin Sulaiman. Mulanya pihak Sulaiman menawarkan perdamaian. Namun
karena tak mencapai kata mufakat, akhirnya terjadilah pertempuran di suatu
tempat antara Madinah dan Makkah yang dikenal dengan nama Fakh.
Husain bin Ali tewas dalam peperangan itu. Kepalanya
dibawa ke hadapan Khalifah Musa Al-Hadi dan dikebumikan di Baghdad. Sisa-sisa
pasukan Husain dikejar. Sebagian melarikan diri keluar Hijaz.
Tak terlalu banyak perkembangan yang terjadi di masa
pemerintahan Musa Al-Hadi. Usia pemerintahannya pun tidak terlalu lama. Ia
meninggal dunia pada malam Sabtu 16 Rabiul Awwal 170 H. Konon kemangkatannya itu
tidak wajar. Ibunya, Khaizuran yang masih keturunan Iran, dianggap terlalu
sering mencampuri urusan pemerintahan. Hal itu tidak disenangi oleh sang
khalifah.
Konon sering terjadi pertentangan antara keduanya, ia
pun dibunuh. Imam As-Suyuthi memaparkan banyak versi tentang tewasnya Musa
Al-Hadi. Ada yang mengatakan sang khalifah jatuh dari jurang dan tertancap pada
sebatang pohon. Ada juga yang mengatakan ia meninggal karena radang usus hingga
perutnya bernanah. Riwayat lain mengatakan, ia diracun oleh ibunya
sendiri.
Sebagaimana diketahui, ibunya adalah orang yang sangat
berpengaruh dan sering mengurusi hal yang sangat penting seputar istana. Para
utusan banyak yang datang ke kediaman ibunya. Melihat hal itu, Musa Al-Hadi
marah. Terjadi pertengkaran antara dirinya dan ibunya.
Seperti dikisahkan As-Suyuthi, Musa Al-Hadi
mengirimkan makan beracun kepada ibunya. Begitu menerima makanan itu, ibunya
langsung memberikannya kepada seekor anjing. Seketika binatang itu mati
!
Setelah mengetahui niat busuk anaknya, sang ibu
berencana untuk membunuh anaknya yang durhaka itu. Dengan menggunakan selendang,
ia membungkam wajah Musa Al-Hadi hingga kehilangan nafas dan mati. Musa
meninggalkan tujuh orang anak laki-laki.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni