Bahwa tujuan puasa adalah mengekang hawa nasfu, itu adalah benar. Selayaknya dan seharusnya seorang yang berpuasa menjauhi hal-hal yang membangkitkan syahwatnya. Seperti mencumbu istri dan sejenisnya. Hanya saja dalam hal ini kita sedang berbicara dalam koridor fiqih, sehingga ruang lingkupnya bukan urusan hakikat atau makna, tetapi lebih kepada batasan real dan aturan baku yang membatasi antara batal dan tidaknya sebuah puasa.
Adanya batasan real seperti ini cukup penting untuk kepastian hukum dalam ibadah. Untuk itulah para ulama dengan berdasarkan dalil-dalil yang mereka telaah secara sistematis baik dari Al-Quran Al-Karim maupun sunnah maupun sumber-sumber hukum Islam lainnya membuat batasan yang real dan sistematis yang kita kenal dengan nama hukum fiqih. Dengan fiqih inilah kita bisa mengkodifikasi syariat Islam secara sistematis dan jelas. Jadi ruang lingkup ilmu fiqih ini lebih kepada batasan-batasan teknis yang bersifat hitam putih atas hukum sebuah ibadah formal, bukan bicara kualitas, filosofi, hikmat atau esensi sebuah ibadah. Kajian itu milik bidang ilmu Islam lainnya di luar fiqih. Misalnya dalam perspektif ilmu tasawwuf yang bersih, seseorang dianggap sudah kehilangan nilai kualitas puasa ketika pada siang hari terbersit dalam pikirannya tentang jenis makanan apa yang akan dilahapnya nanti saat berbuka. Karena secara hati, hal itu merusak esensi puasa yaitu menahan diri dari nafsu. Termasuk membayangkan makan apa nanti, dianggap sudah mengurusi hawa nafsu.
Bila Anda duduk di depan TV di siang hari bulan ramadhan dan secara tidak sengaja melihat ada pembawa acara yang lumayan cantik, untuk sepersekian detik Anda tertarik dengan wajah itu, maka nilai puasa Anda hilang. Karena nafsu berhasil menguasai pikiran Anda walau hanya sepersekian detik. Kalau Anda tertarik untuk berpuasa dengan kualitas seperti itu, silahkan saja, tapi jangan paksakan orang lain untuk meraih kualitas puasa seperti Anda. Karena kalau dipaksakan, maka tidak akan ada orang yang puasa selama Ramadhan. Buat orang umum, maka puasa dengan batasan hukum fiqh sudah cukup baik dan insya Allah SWT diterima. Karena tetap mengacu dan berdasarkan petunjuk dan aturan dari Rasulullah SAW. Dan itulah yang berlaku selama ini di dunia Islam. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab
Sumber :
Buku : Fiqih Puasa
pengarang : Ahmad Sarwat
Post a Comment