I B N ‘ A R A B I, seperti sudah banyak diketahui, adalah salah seorang sufi besar kalau bukan yang terbesar dalam sejarah tasawuf. Kenyataannya, dia disebut sebagai Syaikh Al-Akbar (Magister Magnus, Guru Teragung). Meskipun demikian, dia juga dikenal sebagai seorang sufi yang heterodox (memiliki sikap, pandangan, dan praktik yang tidak sejalan dengan mainstream atau arus utama tasawuf). Jangankan oleh para penganut literalisme atau fundamentalisme, di kalangan tasawuf sendiri dia juga tak bebas dari cercaan. Berbagai tuduhan dilontarkan kepadanya, zindiq bahkan syirik. Di antara pandangannya yang amat kontroversial adalah doktrin-ketuhanannya, yang biasa disebut sebagai kesatuan wujud (wahdah al-wujûd).
Pandangannya ini sering dikaitkan dengan paham panteisme dalam pemikiran Barat atau manunggaling kawula gusti dalam kebatinan Jawa. Menurut sudut pandang ini, Ibn ‘Arabi dianggap menyamakan manusia dengan Tuhan. Sudah tentu pandangan ini keliru. Wahdah al-wujûd Ibn ‘Arabi lebih tepat, sesuai dengan istilah-aslinya, disebut sebagai tauhîd wujûdi (transcendent unity of existence atau kesatuan transenden wujud). Namun, pembahasan mengenai soal ini berada di luar cakupan tulisan ini (bagi yang berminat untuk memperoleh uraian populer dan relatif sederhana tentang doktrin ini, silakan baca uraian-ringkas saya dalam dua bab khusus mengenai soal ini, berjudul “Sekelumit tentang Wahdah Al-Wujûd Ibn ‘Arabi” dalam Buku Saku Tasawuf; dan satu bab berjudul “Sekelumit tentang Filsafat Ibn ‘Arabi” dalam Buku Saku Filsafat Islam).
Nah, di antara tuduhan lainnya terhadap sufi besar ini adalah bahwa Ibn ‘Arabi menyamakan semua agama. Yakni, mementingkan inti agama yang di-share oleh semua agama dan, dengan demikian, meremehkan aspek syariah. Pandangan ini, meski benar dalam hal penekanan sang Syaikh akan universalitas inti ajaran agama-agama, sesungguhnya amat jauh dari kenyataan. (Untuk soal ini, termasuk cuplikan pendapat Syaikh ini sendiri, silakan rujuk buku saya tersebut di atas.)
Cukuplah di sini saya ungkapkan bahwa Ibn ‘Arabi telah memasukkan di dalam masterpiece-nya, Futûhât Al-Makkiyyah, beberapa bab khusus yang membahas rukun Islam dari sudut pandang ilmu fiqih bahkan persis mengikuti sistematika dan cara-pembahasan fiqih, sebagaimana dipakai oleh para ahli fiqih. (Sebagai ilustrasi, silakan rujuk buku Menghampiri Sang Mahakudus: Rahasia-Rahasia Bersuci menurut Ibn ‘Arabi,
Mizan, Bandung, 2004.) Bukan hanya itu. Ibn ‘Arabi juga mendedikasikan bab-bab lain dalam bukunya yang sama untuk pembahasan yang amat terperinci mengenai bukan hanya konsep-konsep teoretis dan filosofis syariat, melainkan juga prinsip-prinsip teknis penerapannya dan metode-metode perumusan hukum-praktisnya. Ibn ‘Arabi memiliki konsep yang jelas tentang teori-teori hukum Islam, seperti kedudukan hadis, konsep qiyâs (analogi), ijtihad, dan sebagainya. Menurut Eric Winkel seorang ahli Ibn ‘Arabi, dalam tulisannya di Jurnal Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society, No. XIII, Tahun 1993 jika diterjemahkan, bab-bab dalam Futûhât yang membahas masalah syariat (fiqih) ini bisa mencapai tak kurang dari 2.000 halaman. Sedemikian, sehingga Nurasiah Faqihsutan HRP, dalam bukunya yang berjudul Meraih Hakikat Melalui
Syariat: Telaah Pemikiran Syekh Al-Akbar Ibn ‘Arabi (Mizan, Bandung, 2005, h. 26), menyatakan bahwa: “... Ibn ‘Arabi, terlepas dari kenyataan bahwa dirinya termasuk sufi paling kontroversial dan banyak disalahpahami, justru sangat memerhatikan syariat Islam dan berkeinginan agar doktrin dan pemikirannya tidak menjauhkan orang dari memahami dan mengenal dengan benar karakter dan nilai-nilai-praktis syariat
....” Inilah juga pandangan Osman Yahya, yang bersama Henry Corbin, dianggap juga sebagai di antara ahli paling terkemuka mengenai pemikiran tokoh ini, dalam bukunya yang berjudul Histoire et Classification, h. 108, sebagaimana dikutip Nurasiah.
Ibn ‘Arabi tentang Shalat15
(Ibn ‘Arabi berbicara tentang shalat, dalam Fushush Al-Hikam, melalui hadis Nabi Saw. yang terkenal sebagai berikut:)
“Ada tiga hal yang menjadi penyejuk mataku: perempuan, wewangian, dan shalat. Tapi, yang paling aku sukai di antara ketiganya adalah shalat.”16
Shalat merupakan kecintaan terbesar Nabi Saw. karena ia merupakan wahana pengalaman langsung akan Tuhan, penyaksian (musyâhadah) akan Allah, dan percakapan (munâjat) privat antara manusia dan Dia.
Dalam kaitan dengan hal yang disebut terakhir ini, Allah berfirman dalam suatu hadis qudsi
mengenai Al-Fâtihah, sebagai berikut:
“Aku membagi shalat antara Diriku dan hamba-Ku menjadidua bagian. Satu bagian untuk-Ku dan satu bagian lagi untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku, apa saja yang ia minta.
Ketika hamba-Ku berkata (waktu membaca Al-Fâtihah): ‘Dalam nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,’
Allah berkata: ‘Hamba-Ku memuji-Ku.’
Ketika hamba-Ku berkata: ‘Pujian bagi Allah, Rabb alam semesta,’
Tuhan berkata: ‘Hamba-Ku telah memuja-Ku.’
Ketika sang hamba berkata: ‘Yang Maha Pengasih lagi Penyayang,’
Tuhan berfirman: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’
Ketika sang hamba berkata: ‘Penguasa Hari Pengadilan,’
Tuhan berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku dan memberikan kekuasaan mutlak kepada-Ku.’”
Paruh pertama Al-Fâtihah ini adalah milik-Nya. Ayat kelima, yang berbunyi “Pada-Mu aku menghamba dan pada-Mu aku minta pertolongan”, adalah sejenis transisi antara bagian (Al-Fâtihah) yang untuk Tuhan dan bagian yang untuk manusia.
Nah, ayat keenam dan ketujuh adalah bagian manusia: “Ketika sang hamba berkata: ‘Tunjukilah aku jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang atasnya Engkau anugerahkan nikmat, bukan (jalannya orang-orang) yang Engkau murkai dan yang tersesat,’ Tuhan berfirman: ‘Maka ayat-ayat ini adalah untuk hamba-Ku dan hamba-Ku dapat memperoleh apa saja yang ia kehendaki.’”
Pada puncak pertemuan antara Tuhan dan hamba ini, seorang manusia yang memiliki penglihatan batin (dhû bashar) dapat “melihat Tuhan”. Bagi manusia seperti ini, shalat berarti penyaksian (musyâhadah) dan visiun (ru’yah) akan Allah.
Orang-orang yang menegakkan shalat seperti inilah yang dirujuk oleh ayat Al-Quran: “... yang memasang telinganya dan bersaksi”.
Inilah orang-orang yang melaksanakan shalat dengan iman dan ihsân—ia “melihat” Tuhan.
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment