Apa yang di ramalkan oleh Khalifah Umar r.a. pada saat menjelang ajalnya, ternyata memang benar-benar terjadi. Beberapa waktu setelah terbai'at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan r.a. mengangkat orang-orang dari kalangan Bani Umayyah dan di tempatkan pada kedudukan-kedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai Kepala Daerah atau Gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.
Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman r.a., ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (ghanimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman r.a. kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu. Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a. yang dikendalikan oleh Marwan dan kawankawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.
Diantara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman r.a. juga merehabilitasi dan membolehkan Al- Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bahkan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.
Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman r.a. atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama "Mazhur", oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.
Begitu pula daerah Fadak, yang dahulunya berupa tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w.; oleh Khalifah diserahkan kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini menurut hukum di bawah kekuasaan pribadi Rasul Allah s.a.w. Dalam sejarah Islam, daerah Fadak ini menjadi sangat terkenal, karena tuntutan dan gugatan yang diajukan oleh Sitti Fatimah r.a. kepada Khalifah Abu Bakar r.a., untuk memperoleh hak atas tanah yang dahulu berada di bawah kekuasaan ayahandanya.
Khalifah Utsman r.a. juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradisional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.
Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Abdullah adalah saudara sesusuan dengan Khalifah. Dengan kekuasaan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.
Kepada Abu Sufyan bin Harb, yang dahulu terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru terpaksa masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman r.a. diberi hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman r.a. membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.
Sebenarnya semua kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah Utsman r.a. merupakan pelaksanaan imla (dikte) yang disodorkan para pembantu yang diberi kepercayaan penuh. Khalifah Utsman r.a. menyadari bahwa pribadinya ditunggangi sedemikian rupa dan sedang digiring ke marabahaya yang sangat fatal oleh orang-orang kepercayaannya. Seorang Khalifah yang kurang lebih berusia 80 tahun itu, oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah dikorbankan untuk kepentingan pribadi-pribadi, golongan dan qabilah.
Penyalahgunaan harta Baitul Mal seperti tersebut di atas, sudah tentu menimbulkan kegelisahan masyarakat muslimin pada masa itu. Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman r.a. mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal bernama Zaid bin Arqam, menghadap Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.
Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: "Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?" "Tidak", jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan mengusap air mata. "Aku menangis karena aku menduga anda mengambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak."
"Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!" hardik Khalifah dengan wajah merah padam. "Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau."
Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk. Banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah Utsman r.a. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Sumber
Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Post a Comment