Kepemimpinannya Adalah Penaklukan, Hijrahnya Adalah Kemenangan, Keteladanannya Adalah Rahmat, Download Gratis Film Umar Bin Khattab 30 Episode di sini http://omar.collectionfree.com

Memaknai Shalat: Melalui Penghayatan Imam Al-Ghazali

0 comments

N A M A lengkap Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir di Thus, di Iran sekarang, pada 457 H/1058 M dan meninggal pada 505 H/1111 M. Imam Al-Ghazali, sebelum belakangan menempuh jalan sufi dan menjadi salah seorang sufi terbesar dalam sejarah Islam, adalah seorang filosof sekaligus ahli fiqih yang amat menguasai kedua bidang ilmu ini. Sedemikian
sehingga oleh Nizamul Mulk (perdana menteri Dinasti Saljuq Turki, yang juga teman-sekolahnya), ia diangkat sebagai rektor sebuah universitas terkemuka di Dunia Islam pada waktu itu, yakni Nizamiyah di Bagdad. Namun, sebagaimana ditulisnya dalam karya-autobiografinya yang berjudul Al-Munqidz min Al Dhalâl (Pembebas dari Kesesatan), ia belakangan mengalami krisis intelektual dan spiritual yang pada akhirnya membawanya kepada keyakinan bahwa tasawuf adalah jalan hidup yang terbaik, yang dapat membawa orang kepada kebenaran tertinggi. Setelah mengalami transisi menentukan dalam kehidupannya ini, Imam Al-Ghazali hidup sebagai seorang sufi dan merantau meninggalkan kota kediamannya selama 17 tahun di wilayah Palestina dan Suriah. Pada masa inilah ia menyelesaikan mahakarya-ensiklopedisnya di bidang tasawuf yang berjudul Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn. Sebuah karya yang merupakan puncak sistematisasi ajaran-ajaran tasawuf dan mendemonstrasikan keselarasannya dengan syariat. Lewat karyanya ini, sang
Hujjatul Islam juga mengembalikan tasawuf yang sempat dianggap berlebihan di tangan sebagian sufi tertentu kepada fondasi ajaran Islam sebagaimana terungkap dalam Al-Quran, hadis, dan ajaran para sufi besar. Begitu pentingnya karya ini sehingga sebagian pengamat menyatakan bahwa Ihyâ’ adalah karya tulis terpenting ketiga setelah Al-Quran dan hadis.

Shalat menurut Imam Al-Ghazali
(Bagi Imam Al-Ghazali, shalat yang memenuhi persyaratan sebagai shalat yang baik18 berfungsi) ... memancarkan cahaya-cahaya di dalam hati, yang selanjutnya akan merupakan kunci bagi ilmu-ilmu mukâsyafah .... Wali-wali Allah, yang dikasyafkan (disingkapkan) baginya kerajaan lelangit dan bumi serta rahasia-rahasia rubûbiyyah, selalu mengalaminya dalam shalat.

Dalam suatu hadis disebutkan:
“Apabila seorang hamba sedang berdiri dalam shalatnya, Allah Swt. mengangkat tirai yang menghalangi antara Dia dan hamba-Nya itu, lalu Dia pun menghadapinya dengan wajah-Nya. Malaikat berbaris, mulai dari kedua bahunya sampai ke langit, bershalat mengikuti shalat-nya dan mengucapkan amin atas doanya. 

Dan sesungguhnya, seorang yang sedang bershalat ditaburi segala kebajikan dari puncak langit sampai garis pembatas rambut di kepalanya. Di saat itu, bahkan terdengar suara:
‘Sekiranya hamba yang sedang bermunajat ini menyadari Siapa yang diajaknya bermunajat, niscaya ia tidak akan menoleh ke arah mana pun.’ Dan sesungguhnya, pintupintu langit terbuka bagi orang-orang yang bershalat.

Sedangkan Allah Swt. menunjukkan kebanggaan-Nya di antara para malaikat berkenaan dengan hamba-Nya yang sedang bershalat.”
Demikianlah, terbukanya pintu-pintu langit bagi si hamba yang sedang shalat serta dihadapi-Nya ia oleh Allah Swt. dengan wajah-Nya adalah isyarat tentang mukâsyafah yang telah disebutkan.
Tertulis dalam Taurat:
“Hai anak Adam, janganlah terhalang dari berdiri di hadapan-Ku, bershalat seraya menangis. Akulah Allah
yang menghampiri hatimu dan, dengan cara gaib, engkau (dapat) melihat cahaya-Ku.”

Telah dikatakan oleh sebagian orang: “Kami menilai bahwa kerawanan hati, ratapan, dan penyingkapan kegaiban yang dijumpai oleh seorang yang bershalat, dalam hatinya, adalah disebabkan penghampiran Allah Swt. kepada hati orang itu.”
Dan, mengingat penghampiran ini bukanlah penghampiran yang berkaitan dengan ruang, maka tidak ada arti lain kecuali penghampiran dengan hidayah, rahmah, dan penyingkapan tirai.
Dikatakan pula, apabila seorang hamba bershalat, perbuatannya itu dikagumi oleh sepuluh baris malaikat. Setiap baris terdiri atas sepuluh ribu malaikat. Allah pun membanggakannya di hadapan seratus ribu malaikat. Hal itu disebabkan sang hamba telah menghimpun gerakan-gerakan berdiri, duduk, ruku‘, dan sujud, sedangkan Allah telah membagikan gerakan-gerakan itu di antara empat puluh ribu malaikat. (Masing-masing kelompok malaikat hanya mendapatkan salah satu dari gerakan-gerakan itu—HB.) Para malaikat yang berdiri tak akan ruku‘ sampai hari kiamat dan yang sujud tak akan berdiri sampai hari kiamat.

Demikian itu pula mereka yang ruku‘ dan duduk.20 Kedekatan dan derajat yang diberikan Allah kepada para malaikat itu akan terus berlaku secara ketat dalam keadaan yang sama, tidak bertambah dan tidak berkurang. Karena itulah, Allah Swt. memberitahukan tentang mereka dalam firman-Nya:

“Tiada satu pun di antara kami (para malaikat) melainkan mempunyai kedudukan tertentu.” (QS Al-Shâffât
[37]: 164)

Namun, manusia berbeda dengan malaikat. Manusia meningkat dari tingkatan yang satu ke tingkatan lainnya dan terus-menerus mendekat kepada Allah Swt., dan memperoleh tambahan kedekatan kepada-Nya.
Pada hakikatnya, kunci tambahan derajat itu adalah shalat.
Firman Allah:
“Sesungguhnya telah beruntung orang-orang Mukmin yang khusyuk dalam shalat mereka.” 
(QS Al-Mu’minûn [23]: 1-2)

Dalam ayat tersebut, Allah Swt. memuji mereka selain karena iman mereka, juga karena shalat mereka yang disertai dengan khusyuk. Kemudian Allah mengakhiri pelukisan sifat orang-orang yang beruntung karena shalatnya seperti tersebut dalam firman-Nya:

“Dan orang-orang yang memelihara shalat mereka.”
(QS Al-Mu’minûn [23]: 9)

Selain itu, Allah menyebutkan hasil yang mereka peroleh disebabkan oleh sifat-sifat tersebut: “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”
(QS Al-Mu’minûn [23]: 10-11).

Dalam ayat itu, Allah melukiskan mereka bersama-sama dengan keberuntungan (kemenangan) dan akhirnya dengan Surga Firdaus.
(Sebaliknya, ... Allah berfirman tentang kelompok orangorang lainnya yang merupakan kebalikan orang-orang yang tersebut di atas): “Apakah yang memasukkan kalian ke dalam Neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (QS Al-Muddatstsir
[74]: 42-43).

Jelas sudah, orang-orang yang melaksanakan shalatlah yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka itulah yang akan melihat nûr (cahaya) Allah Swt., yang menikmati kedekatan dengan-Nya serta kedekatan hati-hati mereka.

Sumber :

Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Share this article :

Post a Comment

 
TEMPLATE ASWAJA| Umar Bin Khattab - All Rights Reserved