Kepemimpinannya Adalah Penaklukan, Hijrahnya Adalah Kemenangan, Keteladanannya Adalah Rahmat, Download Gratis Film Umar Bin Khattab 30 Episode di sini http://omar.collectionfree.com

Shalat dan Pencerahan

0 comments

“ Jika menghadapi problem filosofis yang tak dapat kupecahkan ... biasanya aku akan pergi ke masjid untuk beriktikaf di dalamnya. Maka kalau tidak di masjid itu aku mendapatkan pemecahannya, ia biasanya akan datang dalam mimpiku.”

Ungkapan itu keluar dari Ibn Sina, seorang filosof dan ahli ilmu kedokteran Islam. Agar orang tak salah paham, begitu hebatnya keahlian kedokteran Ibn Sina sehingga ensiklopedia kedokteran yang ditulisnya, berjudul Al-Qânûn fî Al-Thibb, dipakai di universitas-universitas Eropa hingga abad ke-18, bahkan ke-19. (Untuk pandangan Ibn Sina tentang shalat, lihat ringkasannya dalam Bab “Memaknai Shalat: Melalui Penghayatan Ibn Sina” dalam buku ini juga.)

Bagaimana mungkin shalat menjadi wahana pencerahan intelektual? Ada beberapa penjelasan yang bisa diberikan: 

Pertama, penjelasan yang diberikan oleh ilmu filsafat atau hikmah. Proses mengetahui dapat bersifat intelektual maupun spiritual. Kaum filosof berpandangan bahwa setiap momen perolehan pencerahan intelektual pada tingkat tertinggi terjadi akibat kontak (ittishâl) antara Akal atau Jiwa Suci (al-‘aql alqudsiy atau al-nafs al-qudsiyyah) pada diri subjek dengan apa yang mereka sebut sebagai Akal Kesepuluh (al-‘aql al-‘âsyir) atau disebut juga Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘ ‘âl). Akal atau intelek ini mereka identikkan dengan Malaikat Jibril sebagai pesuruh Allah untuk menyampaikan pengetahuan. (Dalam pandangan ini, pada dasarnya semua pengetahuan datang lewat mekanisme ini, baik wahyu kepada para nabi, ilham kepada
para wali, maupun pengetahuan lain kepada manusia selebihnya.)

Sedangkan dalam hikmah (teosofi atau filsafat mistis) Islam, pengetahuan pada tingkat tertinggi mengambil bentuk ilmu hudhûri (ilmu berdasar kehadiran). Artinya, ilmu seperti ini tidak lagi dicapai lewat suatu proses berpikir biasa (hushûli), tetapi lewat suatu pengalaman religius yang di dalamnya pengetahuan yang diraih hadir begitu saja dalam diri (hati) subjek. 

Dalam konteks ini, shalat yang memenuhi semua persyaratannya akan menghadirkan dan menyucikan akal, atau jiwa, atau hati sehingga kontak dengan sang penyampai pengetahuan atau hadirnya pengetahuan itu dapat terjadi.

Kedua, penjelasan berdasar penemuan mutakhir. Shalat yang khusyuk mengangkat pelakunya dari kesadaran penuh akan keadaan sekeliling kepada suatu keadaan flow, seperti disinggung sebelumnya. Keadaan flow ini, dalam penelitian yang lain tapi sejalan, menempatkan otak dalam suatu keadaan sehingga ia mentransmisikan gelombang alfa berbeda dengan keadaan jaga biasa yang di dalamnya otak memancarkan gelombang beta, ataupun gelombang teta dan delta yang dipancarkan ketika seseorang tertidur. Pada keadaan otak seperti inilah, kreativitas yakni kemampuan untuk memperoleh pemikiran
terbaik terjadi. Kadang, keadaan seperti ini ditunjuk sebagai antara tidur dan jaga. Jadi, pelaku sudah melewati masa kesadaran penuh, tapi tak sampai tingkat tertidur. Biasanya, untuk mencapai level kreatif seperti ini, para ahli menyarankan agar orang bermeditasi. Tetapi, pada saat yang sama, ia juga perlu menjaga agar ia tak sampai tertidur. Mereka menyarankan beberapa kegiatan yang diteliti dapat mewakili modus seperti ini, semisal: bersantai di bak mandi, mengemudikan mobil di jalan raya yang sepi, mendengarkan musik klasik, dan sebagainya.

Nah, shalat dapat diduga menciptakan keadaan antara jaga dan tidur seperti ini secara lebih baik daripada kegiatan-kegiatan lain yang disarankan para ahli itu. Mengapa? Karena, jika dalam meditasi, pembacaan doa, apalagi kegiatan-kegiatan mundane (sehari-hari) tertentu yang ditawarkan seperti mendengarkan
musik, bersantai di bak mandi, bahkan menyetir di jalan sepi, dan sebagainya masih terbuka banyak kemungkinan pelakunya tertidur, maka shalat dapat memenuhi kedua syarat itu sekaligus. Ia, di satu sisi, mensyaratkan kekhusyukan dan thuma’nînah, tapi, di sisi lain, ia mengandung bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan yang berubah-ubah sehingga tetap dapat memelihara si pelaku dalam keadaan jaga, betapapun
khusyuknya ia melakukan shalat.

Setelah membaca berbagai fungsi dan manfaat shalat seperti ini, masihkah ada alasan bagi kita untuk menyia-nyiakan fasilitas Allah ini meskipun andaikan ia bukan merupakan suatu kewajiban keagamaan?

Sumber :

Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Share this article :

Post a Comment

 
TEMPLATE ASWAJA| Umar Bin Khattab - All Rights Reserved