S H A L A T, yang arti-generiknya adalah doa, sampai batas tertentu memiliki kesamaan dengan meditasi. Di dalamnya terkandung upaya mengheningkan, menenangkan, dan menenteramkan diri atau jiwa. Namun, lepas dari keimanan bahwa shalat adalah ajaran dari Tuhan, Sang Pencipta Yang Mahabijaksana, shalat memiliki beberapa sifat yang tak segera ada dalam meditasi.
Pertama, shalat merupakan meditasi yang melibatkan berbagai gerakan yang teratur. Gerakan ini memiliki berbagai fungsi. Salah satunya adalah menyatakan berbagai simbol penyembahan kepada sesuatu yang Mahaagung. Mudah dipahami bahwa simbol diperlukan sebagai sarana untuk mengarahkan dan menanamkan tujuan dan makna perenungan itu bagi pelakunya. Tanpa simbol-simbol, niscaya pemahaman dan penghayatan atasnya akan memerlukan lebih banyak energi pikiran, kalau bukannya malah menjadikan perenungan melantur ke mana-mana.
Fungsi lainnya, seperti pernah disebutkan sebelum ini, adalah untuk memastikan bahwa pelaku tidak hanyut sehingga justru masuk ke keadaan tidur. Tentu saja gerakan-gerakan tersebut haruslah teratur agar tidak mengganggu fungsinya sebagai sarana menenangkan diri.
Keteraturan dan pengulangan adalah sekaligus sarana menghasilkan ketenangan. Selain keteraturan dan pengulangan gerakan, keteraturan dan pengulangan bacaan juga memiliki fungsi yang sama.
Tapi, lebih dari itu, adanya bacaan-bacaan yang harus dilantunkan oleh seorang pelaku shalat juga memiliki beberapa fungsi yang lain. Pertama, bunyi-bunyian yang terkandung dalam lafal shalat, rima (rhyme), serta kandungan puitis dari bacaan-bacaan shalat sedikit-banyak ikut membantu penciptaan suasana hati yang kondusif bagi kekhusyukan-meditatif shalat. Selain itu, makna yang terkandung dalam bacaan-bacaan shalat yang bersifat spiritual dan devosional (kebaktian) tentu saja ikut menekankan (meng-endorse) kesadaran
akan dan makna tujuan shalat sebagai sarana mi‘râj dan silaturahmi pelakunya dengan Allah Swt.
Di luar itu semua, shalat masih memiliki berbagai aspek pendukung yang tak ada dalam kegiatan meditasi biasa. Termasuk di dalamnya persiapan-persiapan sebelum atau yang mendahului ibadah shalat itu sendiri. Yang terpenting di antaranya adalah berwudhu dan mandi suci bagi yang memiliki halangan (“kekotoran”) tertentu. Wudhu, yang lagi-lagi bersifat ritual, adalah suatu sarana untuk membersihkan tubuh dan simbol bagi pembersihan hati demi kesiapan kita dalam melakukan shalat yang efektif. Kemudian ada berbagai persyaratan lain, seperti kebersihan tempat dan pakaian. Juga dress code (aturan berpakaian) tertentu dalam bentuk keharusan menutup aurat, serta anjuran menggunakan pakaian terbaik yang kita punyai. Termasuk di dalamnya anjuran untuk menutup kepala dan memakai wewangian. Khusus mengenai yang disebut terakhir, bukan hanya dalam tradisi berbagai agama kuno, bahkan belakangan ini makin banyak diterima bahwa wewangian mendukung terciptanya suasana spiritual (ruhaniah).
Ada juga shalat-shalat yang dianjurkan (sunnah) sebelum dan sesudah shalat wajib. Akhirnya, tentu saja ada doa-doa sehabis shalat (tarqîb) yang menuntaskan seluruh ritual shalat tersebut. Di atas itu semua, kewajiban shalat telah diatur sedemikian rupa sehingga membagi waktu kita dalam kegiatan sehari-hari subuh ketika matahari terbit, siang ketika matahari di atas kepala, sore antara tengah hari dan terbenamnya matahari, petang ketika matahari terbenam, dan malam yang ditandai dengan datangnya tengah malam sedemikian sehingga efek shalat bisa terus terpelihara dalam diri kita. Tampak bahwa pembagian waktu itu dilakukan secara kurang lebih merata dan dikaitkan dengan tonggak-tonggak perubahan waktu dan pergantian suasana, yang ditandai dengan momentum pergantian gejala alam sehari-hari.
Sumber :
Buku : Buat apa shalat
Dr. Haidar Bagir
Post a Comment