Kepemimpinannya Adalah Penaklukan, Hijrahnya Adalah Kemenangan, Keteladanannya Adalah Rahmat, Download Gratis Film Umar Bin Khattab 30 Episode di sini http://omar.collectionfree.com

Serbuan Muawiyah ke Mesir

0 comments

Setelah perang Shiffin berhenti dan Muawiyah bin Abi Sufyan melihat tidak ada lagi serangan
yang dilancarkan Imam Ali r.a., ia mengumpulkan para penasehatnya untuk dimintai pendapat
tentang rencana merebut wilayah Mesir dari kekuasaan Imam Ali.

Kepada para penasehatnya itu Muawiyah antara lain berkata: "Kalian telah menyaksikan sendiri
kemenangan yang telah dilimpahkan Allah kepada kita. Pada mulanya mereka tidak ragu-ragu
hendak menghancurkan kalian, menduduki negeri kalian dan menguasai kalian. Akan tetapi
Allah telah menggagalkan niat jahat mereka. Dengan pertolongan Allah kalian telah berhasil
mengalahkan mereka. Kalian mohon keadilan (tahkim) kepada Allah, dan Allah sekarang telah
menjatuhkan hukum-Nya atas mereka. Allah telah memperkokohkan persatuan kita,
mempererat persaudaraan kita, membuat musuh kita berpecah-belah, saling kafir
mengkafirkan dan saling bunuh membunuh. Demi Allah aku mengharap mudah-mudahan Allah
akan lebih menyem-purnakan lagi kemenangan kita. Sekarang aku sedang berfikir untuk
menyerbu Mesir. Bagaimana pendapat kalian…?"

Menanggapi pertanyaan Muawiyah itu, para penasehatnya menjawab, bahwa mengenai hal itu
mereka mendukung apa yang menjadi pendapat Amr Ibnul Ash.
Berdasarkan pernyataan para penasehatnya itu, Muawiyah menjelaskan: "Amr memang sudah
mempunyai pendapat tegas dan bertekad hendak menyerbu Mesir, tetapi ia belum menjelaskan
langkah-langkah apa yang harus kita lakukan!"

Untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan itu, Amr bin Al Ash berkata: "Aku
sekarang hendak menjelaskan apa yang sebaiknya harus engkau lakukan. Aku berpendapat,
sebaiknya engkau mengirim pasukan yang besar di bawah pimpinan seorang kuat, tegas dan
mendapat kepercayaan penuh. Bila sudah masuk ke Mesir ia pasti akan mendapat dukungan
penduduk yang sependirian dengan kita. Sedangkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita,
mereka harus kita tundukkan dengan kekerasan. Kalau pasukan dan para pengikutmu sudah
bulat sepakat untuk memerangi musuh-musuhmu, kuharap Allah s.w.t. akan memenangkan
engkau…"

"Selain itu, bagaimana pendapatmu tentang apa yang perlu kita lakukan sebelum menyerang
mereka?" tanya Muawiyah kepada Amr bin Al-Ash.
"Aku belum tahu…," sahut Amr.

"Aku mempunyai pendapat lain," ujar Muawiyah melanjutkan perkataannya. "Kufikir, sebaiknya
kita menyurati dulu pendukung-pendukung kita dan musuh-musuh kita di Mesir. Kepada para
pendukung kita anjurkan supaya mereka tetap sabar dan tabah menunggu kedatangan pasukan
kita. Sedangkan kepada musuh-musuh kita, sebaiknya mereka itu kita ajak berdamai lebih dulu,
sambil kita gertak dengan kekuatan angkatan perang kita. Jika mereka menyambut baik ajakan
kita sehingga tidak terjadi peperangan, itulah yang kita inginkan. Tetapi jika mereka menolak,
kita tidak menemukan cara lain kecuali harus kita perangi…"

"Kalau begitu, baiklah," jawab Amr. "Kaulaksanakanlah pendapat itu. Demi Allah,
bagaimanapun juga akhirnya pasti terjadi peperangan…"
Selesai pertemuan, Muawiyah segera menulis surat kepada dua orang tokoh pendukung-nya di
Mesir, yaitu Maslamah bin Makhlad dan Muawiyah bin Hudaij Al-Kindiy. Dua orang tokoh
tersebut adalah penentang Imam Ali r.a. Dalam suratnya Muawiyah bin Abi Sufyan antara lain
mengatakan: "Allah s.w.t. telah memikulkan tugas besar di atas pundak kalian. Dengan tugas
itu kalian akan mendapat pahala sangat besar dan Allah akan mengangkat kedudukan serta
martabat kalian. Kalian menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah yang madzlum (yakni
Utsman bin Affan). Ketika kalian melihat hukum Allah dibiarkan, kalian marah, kemudian kalian
berjuang melawan orang dzalim yang memusuhi Utsman. Hendaknya kalian tetap teguh
berpendirian seperti itu dan teruskan perjuangan melawan musuh kalian. Tariklah orang-orang
yang masih menjauhi kalian berdua agar mereka mau mengikuti pimpinan kalian. Sebuah
pasukan akan datang untuk memperkuat kalian, dan setelah itu akan tersingkirlah semua yang
tidak kalian sukai, dan apa yang kalian inginkan akan terwujud. Wassalaam."

Surat Muawiyah tersebut dibawa oleh seorang maula, bernama Subai, ke Mesir, untuk
diterimakan kepada dua tokoh pendukung Muawiyah tersebut di atas tadi.
Setelah dibaca oleh Maslamah bin Makhlad, surat itu diteruskan kepada Muawiyah bin Hudaij
disertai pemberitahuan, bahwa surat itu akan dibalasnya sendiri dan juga atas nama Muawiyah
bin Hudaij. Muawiyah bin Hudaij menyatakan persetujuannya agar Maslamah menulis jawaban
kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dalam surat jawabannya Maslamah antara lain mengatakan: "…Perintah yang dipercayakan
kepada kami berdua untuk terus melawan musuh, merupakan kewajiban yang akan kami
laksanakan, dengan harapan semoga Allah akan melimpahkan pahala kepada kita. Mudahmudahan
Allah akan memenangkan kita atas orang-orang yang menentang kita, dan akan
mempercepat pembalasan terhadap orang-orang yang telah berbuat jahat memusuhi pemimpin
kita, dan yang hendak menginjak-injak negeri kita.

"Di negeri ini (Mesir) kami telah menyingkirkan orang-orang dzalim dan telah membangkitkan
orang-orang yang bersikap adil. Engkau telah menyebut-nyebut dukungan dan bantuan kami
untuk mempertahankan kekuasaan yang ada di tanganmu. Demi Allah, kami telah bangkit
melawan musuhmu bukan dengan niat untuk memperoleh kekayaan. Bukan itu yang kami
inginkan, meskipun Allah mungkin akan melimpahkan imbalan pahala di dunia dan akhirat.
Kirimkanlah segera kepada kami pasukan berkuda dan pejalan kaki. Sebab musuh sudah siap
hendak menyerang kami, sedang kekuatan kami sangat kecil dibanding dengan mereka. Pada
saat bantuanmu tiba, Allah pasti akan menjamin kemenangan bagimu..."

Surat Maslamah dan Ibnu Hudaij itu diterima Muawiyah di saat ia sedang berada di Palestina.
Para penasehatnya menyarankan supaya Muawiyah cepat-cepat mengirimkan pasukan ke Mesir.
Mereka mengatakan: "Insyaa Allah, engkau pasti akan berhasil menaklukannya…"
Muawiyah kemudian memerintahkan Amr bin Al Ash supaya segera memobilisasi pasukan.
Setelah siap segala-galanya, Amr diperintahkan berangkat ke Mesir memimpin pasukan berkekuatan 6.000 orang. Waktu mengantar keberangkatannya, Muawiyah bin Abi Sufyan
berpesan: "Kupesankan supaya engkau tetap bertaqwa kepada Allah. Hendaknya engkau
berkasih-sayang dan jangan terburu-buru. Sebab sikap seperti itu adalah dorongan setan.

Hendaknya engkau mau menerima baik siapa saja yang datang kepadamu, dan berikanlah maaf
kepada orang-orang yang menjauhi dirimu. Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali
dan bertaubat. Bila mereka sudah kembali dan bertaubat, engkau harus bersedia menerima dan
memaafkan perbuatan mereka. Tetapi jika mereka tetap menolak, engkau harus bersikap
keras. Sebab, kekerasan yang diambil setelah melalui peringatan lebih dulu, akan lebih baik
akibatnya. Hendaknya engkau menyerukan dan mengajak orang untuk berdamai dan rukun
serta bersatu. Sehingga apabila engkau menang, engkau akan mempunyai pendukungpendukung
yang terbaik. Oleh karena itu bersikaplah baik-baik kepada semua orang…"

Setibanya dekat Mesir, Amr bin Al Ash dan pasukannya berhenti. Di tempat itu orang-orang dari
penduduk Mesir yang menjadi pengikut Utsman bin Affan r.a. datang bergabung. Kemudian Amr
mengirim surat kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Isinya antara lain: "Hai Ibnu Abu
Bakar…, serahkanlah kedudukanmu kepadaku, karena tanganmu berlumuran darah (Utsman).
Aku tidak ingin melihat engkau celaka di tanganku. Di negeri ini banyak orang yang sudah
bertekad hendak melawanmu, menolak perintahmu, dan menyesal pernah menjadi
pengikutmu. Mereka hendak menyerahkan dirimu kepadaku di waktu keadaan sudah menjadi
genting. Kunasehatkan, sebaiknya kautinggalkan saja negeri ini...!"

Bersamaan dengan surat itu, oleh Amr juga dilampirkan surat Muawiyah yang ditujukan kepada
Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Surat Muawiyah bin Abi Sufyan itu isinya antara lain:
"Apabila kedzaliman dan kedurhakaan sudah merajalela, pasti besarlah akibat buruk yang
ditimbulkan. Orang yang telah menumpahkan darah secara tidak sah, tak akan terhindar dari
pembalasan di dunia dan siksa berat di akhirat. Aku belum pernah melihat orang yang melebihi
engkau dalam berbuat jahat, mencerca dan menentang Utsman bin Affan. Bersama-sama orang
lain engkau berusaha dan saling bantu untuk menumpahkan darahnya. Lantas, apakah engkau
mengira bahwa aku akan melupakan perbuatanmu itu?"

Seterusnya dikatakan: "Sekarang engkau tinggal di sebuah negeri dengan aman dan tenteram,
padahal di negeri itu banyak sekali pengikut dan pendukungku. Mereka itu ialah orang-orang
yang sependirian dengan aku, menolak semua omonganmu, dan berteriak minta tolong
kepadaku. Aku telah mengerahkan sebuah pasukan untuk memerangimu, dan mereka itu adalah
orang-orang yang sangat dendam terhadap dirimu. Mereka akan menumpahkan darahmu, dan
akan bertaqarrub kepada Allah melalui perjuangan melawanmu. Mereka telah bersumpah
hendak membunuhmu. Seandainya mereka tidak sampai dapat memenuhi sumpah masingmasing,
Allah pasti akan mencabut nyawamu, entah melalui tangan mereka atau tangan para
hamba-Nya yang lain. Engkau kuperingatkan, bahwa Allah tetap menuntut balas kepadamu atas
terbunuhnya Utsman, yang disebabkan oleh kedzalimanmu, kedurhakaanmu dan tusukan
tombakmu. Walaupun begitu…, aku tidak ingin membunuhmu. Aku tidak mau berbuat seperti
itu terhadap dirimu. Allah tidak akan menyelamatkan dirimu dari pembalasan, di mana pun
engkau berada dan sampai kapan pun juga. Oleh karena itu, lepaskanlah kedudukanmu dan
selamatkan dirimu sendiri. Wassalaam."

Setelah dua surat tersebut dibaca oleh Muhammad bin Abu Bakar, kemudian dilipat untuk
diteruskan kepada Amirul Mukminin Imam Ali r.a., dengan disertai pengantar sebagai berikut:
"Ya Amirul Mukminin, si durhaka Ibnul Ash kini telah tiba dekat Mesir. Orang dari penduduk
Mesir yang sependirian dengan dia berhimpun di sekelilingnya. Ia datang membawa sebuah
pasukan besar. Kulihat ada tanda-tanda patah semangat di kalangan orang-orang yang menjadi
pendukungku. Jika engkau masih tetap hendak mempertahankan Mesir, harap segera
mengirimkan beaya dan pasukan. Wassalamu'alaika wa rahmattullahi wabarakaatuh."

Sesudah Imam Ali r.a. membaca surat-surat yang dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakar, ia
segera menulis jawaban: "Utusanmu telah datang membawa suratmu kepadaku. Dalam surat tersebut engkau mengatakan, bahwa Ibnul Ash sekarang telah datang di Mesir membawa
sebuah pasukan besar, dan bahwa orang-orang yang sependirian dengan dia telah bergabung
kepadanya. Keluarnya orang-orang yang sependirian dengan dia dari barisanmu itu lebih baik
daripada kalau mereka tetap tinggal bersamamu. Engkau menyebutkan juga, bahwa ada orangorang
yang tampak patah semangat. Tetapi engkau sendiri jangan sampai patah semangat.

Pertahankanlah wilayah negerimu, himpunlah semua pendukungmu, perkuat pengawasan dalam
pasukanmu, dan angkatlah Kinanah bin Bisyir sebagai pimpinan pasukan. Ia seorang yang
terkenal bijaksana, berpengalaman dan pemberani. Dalam keadaan sulit rakyat kupercayakan
kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau tetap tabah menghadapi musuh dan senantiasa
tetap waspada. Perangilah mereka dengan keteguhan tekadmu, dan lawanlah mereka sambil
bertawakkal kepada Allah s.w.t."

Selanjutnya Imam Ali r.a. mengatakan: "Sekalipun fihakmu lebih sedikit jumlahnya, namun
Allah berkuasa menolong fihak yang sedikit dan mengalahkan fihak yang berjumlah banyak. Aku
sudah membaca dua pucuk surat yang dikirimkan kepadamu oleh dua orang durhaka yang
berpelukan mesra dalam perbuatan maksiyat, bergandeng-tangan dalam kesesatan, saling suap
dalam pemerintahan, dan sama-sama sombongnya terhadap para ahli agama. Janganlah engkau
gentar menghadapi dua orang itu, dan jawablah mereka, engkau boleh menggunakan 'bahasa'
apa saja menurut kehendakmu. Wassalaam."

Selesai menulis surat, Imam Ali r.a. segera mengumpulkan para pengikutnya kemudian
mengucapkan khutbah: "Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq dan saudara-saudara kalian di
Mesir sekarang menjerit minta bantuan, karena anak si Nabighah (yakni Amr) sekarang sudah
bergerak membawa pasukan besar hendak menyerang mereka. Anak si Nabighah itu ialah
musuh Allah, musuh orang-orang yang hidup di bawah pimpinan Allah, dan pemimpinnya orangorang
yang memusuhi Allah. Oleh karena itu hai para saudara kita di Mesir, Mesir jauh lebih
besar daripada Syam, penduduknya pun lebih baik. Janganlah kalian sampai terkalahkan di
Mesir. Adalah suatu kehormatan bagi kalian jika Mesir tetap berada di tangan kalian. Itu pun
sekaligus merupakan pukulan hebat bagi musuh kalian. Berangkatlah kalian ke Jara'ah dan kita
semua besok akan berkumpul di sana. Insyaa Allah."

Keesokan harinya Imam Ali r.a. berangkat ke Jara'ah. Setibanya di sana ia berhenti menunggu
sampai tengah hari. Ternyata hanya 100 orang saja yang datang hendak mengikuti. Melihat
gelagat seperti itu, Imam Ali r.a. pulang ke Kufah. Malam harinya ia mengumpulkan sejumlah
pengikut terkemuka. Dalam pertemuan itu Imam Ali r.a. tampak sedih dan sangat kecewa. Ia
berkata: "Puji syukur ke hadirat Allah yang mengatur semua urusan menurut takdir-Nya, dan
yang menilai siapa-siapa berbuat kebajikan. Dialah yang memberi cobaan kepadaku dalam
menghadapi kalian. Hai saudara-saudara, kalian itu sebenarnya adalah kelompok orang-orang
yang tidak mau taat bila kuperintah, dan tidak mau menyambut bila kuajak. Celaka sekali
kalian itu! Kemenangan apa yang kalian tunggu jika kalian enggan berjuang membela hak-hak
kalian? Di dunia ini sesungguhnya mati lebih baik daripada hidup meninggalkan kebenaran!"

"Demi Allah," kata Imam Ali r.a. seterusnya, "seandainya maut datang kepadaku --dan biarlah ia
datang-- kalian akan melihat aku benar-benar marah menjadi teman bagi orang-orang seperti
kalian! Apakah kalian tidak mempunyai agama yang mewajibkan kalian bersatu? Apakah kalian
tidak bisa marah kalau kehormatan kalian diinjak-injak? Apakah kalian tidak mendengar bahwa
musuh kalian hendak mengurangi wilayah negeri kalian dan mereka sekarang sedang
melancarkan serangan terhadap kalian? Apakah tidak aneh kalau orang-orang durhaka dan
dzalim bisa menyambut baik ajakan Muawiyah dan bersedia dikerahkan kemana saja menurut
kehendaknya? Sedangkan kalian sendiri, tiap kuajak pasti bertengkar, lari bercerai-berai
menjauhi aku, mem-bangkang dan membantah…!"

Di Mesir, seterimanya surat yang berisi petunjuk dari Imam Ali r.a., Muhammad bin Abu Bakar
segera menulis jawaban kepada Amr bin Al Ash, yang isinya: "Aku sudah memahami isi suratmu
dan telah mengerti apa yang kausebutkan. Seolah-olah engkau tidak suka melihatku celaka di tanganmu, tetapi aku bersaksi, demi Allah, bahwa engkau itu adalah salah seorang yang hidup
bergelimang dalam kebatilan. Seolah-olah engkau memberi nasehat kepadaku, tetapi aku
bersumpah, bahwa sesungguhnya bagiku engkau adalah musuh yang harus dicurigai. Engkau
mengatakan bahwa penduduk negeri ini emoh kepadaku dan menyesal pernah jadi pengikutku,
tetapi orang-orang yang seperti itu sebenarnya hanyalah mereka yang bersekutu dengan setan
terkutuk. Aku berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, karena hanya Dia-lah tempat
orang berserah diri yang sebaik-baiknya."

Bersamaan dengan itu, Muhammad bin Abu Bakar juga menulis jawaban kepada Muawiyah bin
Abi Sufyan. Isinya antara lain: "Suratmu sudah kuterima. Engkau menyebut-nyebut persoalan
Utsman bin Affan, suatu persoalan yang aku tidak perlu minta maaf kepadamu. Seolah-olah
engkau hendak memberi nasehat kepadaku dengan menggertak supaya aku menyerahkan
kedudukan kepadamu. Dengan menakut-nakuti aku, engkau sekaligus juga berpura-pura
menunjukkan belas kasihan kepadaku. Padahal sebenarnya aku sendiri sangat mengharapkan
bencana menimpa kalian. Mudah-mudahan Allah akan menghancurkan kalian dalam peperangan
sehingga kalian akan menjadi orang-orang hina yang lari tunggang langgang. Kalau sampai
engkau berkuasa di dunia ini, demi Allah, betapa banyaknya orang dzalim yang akan kaubela.
Betapa banyaknya orang mukmin yang akan kaubunuh dan kaucincang! Hanya kepada Allah
sajalah semua persoalan kembali. Sesungguhnya Dia-lah Maha Pengasih dan Penyayang…"
Seterimanya surat jawaban dari Muhammad bin Abu Bakar, Amr bin Al Ash dan pasukannya
mulai bergerak memasuki Mesir. Mendengar berita tentang gerakan Amr tersebut, Muhammad
bin Abu Bakar berpidato di depan umum:

"Hai orang-orang yang beriman, ketahuilah bahwa kaum yang sudah biasa melanggar
kehormatan, yang tenggelam dalam kesesatan, dan yang terus menerus berbuat sewenangwenang
sekarang sudah terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap kalian. Mereka
sedang bergerak menuju negeri kalian ini dengan membawa pasukan bersenjata. Oleh karena
itu, barang siapa yang menginginkan sorga dan pengampunan dari Allah s.w.t., ia harus berani
keluar dan berjuang melawan mereka dengan niat semata-mata untuk memperoleh keridhoan
Allah. Majulah menggempur mereka bersama-sama Kinanah bin Bisyir!"

Kinanah bin Bisyir kemudian diserahi tugas memimpin pasukan sebesar 2.000 orang, sedangkan
Muhammad bin Abu Bakar bertahan di belakang dengan 2.000 orang pengikut. Amr bin Al Ash
bergerak terus menghadapi pasukan Kinanah yang mengambil posisi di depan pasukan
Muhammad. Ketika sudah mendekati pasukan Kinanah, Amr menggerakkan pasukannya regu demi regu. Tiap regu Syam yang berani mendekat, selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kinanah. Ini terjadi sampai berulang kali.

Ketika Amr melihat pasukannya dalam keadaan meresahkan cepat-cepat ia mengirim kurir
kepada Muawiyah bin Hudaij untuk minta bantuan. Permintaan Amr itu segera dipenuhi
Muawiyah bin Hudaij dengan mengerahkan pasukan besar. Melihat pasukan musuh yang
berjumlah sangat banyak itu, Kinanah dan sejumlah anggota pasukannya turun dari kuda, lalu
melancarkan serangan keras terhadap musuh dengan pedang. Dengan gigih ia menyerang terusmenerus, dan akhirnya gugur di medan tempur sebagai pahlawan syahid.

Setelah Kinanah mati terbunuh, Muawiyah bin Hudaij maju ke depan barisan untuk mencari-cari
Muhammad bin Abu Bakar. Waktu itu para pendukung Muhammad sudah lari bercerai-berai
meninggalkannya. Muhammad keluar berjalan kaki pelahan-lahan sampai tiba di sebuah rumah
tua yang sudah rusak. Lalu masuk ke dalam untuk berlindung. Saat itu Amr rnasih bergerak
terus sampai ke Fusthat, sedangkan Ibnu Hudaij masih terus mencari-cari Muhammad bin Abu
Bakar. Akhirnya ia berjumpa dengan orang-orang yang sedang lari untuk menyelamatkan diri.
Waktu Ibnu Hudaij bertanya apakah ada orang yang mencurigakan lewat, mereka menjawab:
"Tidak!"

Tetapi kemudian salah seorang di antara mereka menambahkan: "Aku tadi masuk ke dalam
rumah tua itu, dan kulihat di dalamnya ada seorang lelaki sedang duduk."
Seketika itu juga Muawiyah bin Hudaij berteriak: "Nah…, itu mesti dia…, demi Allah!" Bersama
beberapa temannya ia masuk ke dalam, lalu Muhammad bin Abu Bakar diseret keluar dalam
keadaan hampir mati kehausan, kemudian di bawa ke Fusthat.

Ketika melihat saudaranya diseret-seret oleh Ibnu Hudaij, Abdurrahman bin Abu Bakar segera
lari menemui Amr, kemudian berkata: "Demi Allah, saudaraku jangan sampai dibunuh perlahanlahan.
Perintahkan orang supaya melarang Ibnu Hudaij berbuat seperti itu!"

Atas permintaan Abdurrahman, Amr memerintahkan supaya Muhammad bin Abu Bakar dibawa
kepadanya. Akan tetapi Ibnu Hudaij menjawab: "Kalian telah membunuh anak pamanku,
Kinanah bin Bisyir. Apakah aku harus membiarkan Muhammad hidup? Tidak!"
Dalam suasana sangat tegang itu Muhammad minta diberi air seteguk untuk menghilangkan
dahaga. Permintaan Muhammad itu ditolak Ibnu Hudaij dengan kata-kata: "Setetespun engkau
tidan akan kuberi air. Engkau dulu menghalang-halangi Utsman bin Affan sampai tidak bisa
mendapatkan air minum, kemudian ia kau bunuh dalam keadaan "berpuasa" kehausan. Hai Ibnu
Abu Bakar, demi Allah, engkau akan kubunuh dalam keadaan haus kekeringan. Biarlah Allah
nanti memberi minum kepadamu dengan air mendidih dari neraka Jahim dan nanah!"

Muhammad bin Abu Bakar yang sudah hampir kehilangan tenaga masih menjawab dengan penuh
semangat: "Hai anak perempuan Yahudi, pada hari itu nanti tidak ada urusan denganmu atau
Utsman. Itu hanya semata-mata urusan Allah. Dia-lah yang akan memberi minum kepada
hamba-hamba-Nya yang shaleh, dan membuat musuh-musuh-Nya haus kekeringan! Yaitu orangorang
seperti engkau, teman-temanmu, orang yang mengangkatmu sebagai pemimpin, dan
orang yang kau pimpin! Demi Allah, seandainya pedang masih ada di tanganku, orang-orangmu
tidak akan dapat menyentuhku!"

"Tahukah engkau," tanya Muawiyah bin Hudaij, "apa yang akan kuperbuat atas dirimu? Engkau
akan kujejalkan ke dalam perut bangkai keledai itu, lantas akan kubakar sampai hangus!"
"Kalau engkau berbuat seperti itu," ujar Muhammad bin Abu Bakar, "perbuatan itu
sesungguhnya kaulakukan terhadap seorang hamba Allah yang shaleh. Demi Allah, mudahmudahan
Allah akan membuat api yang kau gunakan untuk menakut-nakuti itu menjadi sejuk
dan tidak berbahaya. Sama seperti api yang digunakan membakar Nabi Ibrahim a.s. dahulu. Dan
mudah-mudahan Allah akan membuatmu dan membuat pemimpin-pemimpinmu sama seperti
Namrud dan orang-orang kepercayaannya. Semoga Allah akan membakarmu, membakar
pemimpin-pemimpinmu, Muawiyyah dan orang itu (ia menunjuk dengan jari ke arah Amr bin Al
Ash)…, dengan api neraka yang berkobar-kobar. Tiap hampir padam akan lebih dikobarkan lagi
oleh Allah!"

"Aku tidak membunuhmu secara dzalim," jawab Muawiyah bin Hudaij. "Aku membunuhmu
karena engkau telah membunuh Utsman!"
"Apa urusanmu dengan Utsman, orang yang telah berbuat dzalim dan mengganti hukum Allah,"
sahut Muhammad bin Abu Bakar dengan tegas. "Pada hal Allah telah berfirman (yang artinya):
"Barang siapa menetapkan hukum tidak menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka
adalah orang-orang kafir, orang-orang dzalim, orang-orang durhaka. Kami bertindak keras
terhadapnya karena hal-hal yang telah diperbuat olehnya. Kami menuntut supaya ia
melepaskan jabatan, tetapi ia menolak, dan akhirnya ia dibunuh orang!"

Mendengar jawaban Muhammad itu, Muawiyah bin Hudaij naik pitam. Pedang diayun dan Muhammad bin Abu Bakar dipenggal lehernya. Jenazahnya dijejalkan ke dalam perut keledai,
kemudian dibakar sampai hangus.

Mendengar saudaranya mengalami nasib malang, Sitti Aisyah r.a. tersayat-sayat hatinya dan
sangat sedih. Tiap selesai shalat ia selalu mohon kepada Allah s.w.t. supaya menjatuhkan
adzab kepada Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawiyah bin Hudaij. Keluarga yang
ditinggalkan Muhammad di pelihara oleh Sitti Aisyah r.a., termasuk Al-Qasim bin Muhammad.
Menurut berbagai sumber riwayat, sejak terjadinya peristiwa sangat kejam itu Sitti Aisyah r.a.
tidak mau lagi makan panggang daging sampai akhir hayatnya. Tiap teringat kepada
saudaranya, ia menyumpah-nyumpah: "Binasalah Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Al Ash,
Muawiyah bin Hudaij!"

Sedangkan Asma binti 'Umais, ibu Muhammad, ketika mendengar kemalangan menimpa anak
kandungnya, ia muntah darah dalam mushalla, akibat menahan marah dan dendam.
Waktu Imam Ali r.a. mendengar berita tewasnya Muhammad bin Abu Bakar, ia sangat pilu dan
sedih. Tindakan buas terhadap Muhammad itu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Dalam
suatu khutbahnya sesudah kejadian itu ia mengatakan: "Mesir sekarang telah ditaklukkan oleh
orang-orang durhaka dan pemimpin-pemimpin dzalim lagi bathil. Mereka itu ialah orang-orang
yang selama ini berusaha membendung jalan menuju kebenaran Allah, dan orang-orang yang
hendak menyelewengkan agama Islam. Muhammad bin Abu Bakar telah gugur sebagai pahlawan
syahid. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Perhitungan tentang kematiannya itu
kita serahkan kepada Allah."

"Demi Allah," kata Imam Ali r.a. selanjutnya, "sebagaimana kuketahui ia memang seorang yang
penuh tawakkal kepada Allah dan rela menerima takdir Ilahi. Ia telah berbuat untuk
memperoleh pahala. Ia seorang yang sangat benci kepada segala bentuk kedurhakaan, dan
sangat mencintai jalan hidup orang-orang beriman."

"Demi Allah, aku tidak menyesali diriku karena tidak sanggup berbuat. Aku tahu benar
bagaimana beratnya resiko penderitaan dalam peperangan. Aku sanggup dan berani
menghadapi perang, aku mengerti bagaimana harus bertindak tegas, dan aku pun mempunyai
pendapat yang tepat. Oleh karena itu aku berseru kepada kalian untuk memperoleh
balabantuan dan pertolongan. Tetapi kalian tidak mau mendengarkan perkataanku, tidak mau
mentaati perintahku, sehingga urusan yang kita hadapi ini berakibat sangat buruk.

"Kurang lebih 50 hari yang lalu, kalian kuajak membantu saudara-saudara kalian di Mesir, tetapi
kalian maju mundur. Kalian merasa berat seperti orang-orang yang memang tidak mempunyai
niat berjuang, yaitu orang-orang yang tidak pernah berfikir ingin memperoleh imbalan pahala."
"Akhirnya aku hanya dapat menghimpun pasukan kecil, jumlahnya sangat sedikit, lemah dan
tidak kompak. Mereka ini seolah-olah hanya untuk digiring menghadapi maut yang ada di depan
mereka! Alangkah buruknya kalian itu!"
Selesai mengucapkan khutbah yang pedas didengar itu, ia turun dan pergi.

Sumber

Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Share this article :

Post a Comment

 
TEMPLATE ASWAJA| Umar Bin Khattab - All Rights Reserved