Kepemimpinannya Adalah Penaklukan, Hijrahnya Adalah Kemenangan, Keteladanannya Adalah Rahmat, Download Gratis Film Umar Bin Khattab 30 Episode di sini http://omar.collectionfree.com

Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a. Ke Bashrah

0 comments

Untuk melaksanakan rencana kelompok Makkah, yaitu menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggulingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Khalifah, Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a. berangkat ke Bashrah.

Pada saat Sitti Aisyah r.a. hendak berangkat, orang-orang mencarikan seekor unta yang kuat guna mengangkut haudaj-nya Ya'laa bin Ummayyah menyerahkan unta kepunyaannya yang sangat besar, bernama "Askar". Sitti Aisyah r.a. kagum sekali melihat unta itu. Akan tetapi ketika serati memanggil-manggil untanya dengan berulang-ulang menyebut "Askar", ia mundur dan berkata kepada serati unta itu: "Kempalikan dia. Aku tidak membutuhkan unta itu!" Sewaktu ditanya apakah sebabnya Ummul Mukminin menyuruh unta "Askar" dikembalikan, Sitti Aisyah r.a. menjawab, bahwa Rasul Allah s.a.w. pernah menyebut-nyebut nama unta itu dan ia dilarang mengendarainya. Ummul Mukminin minta dicarikan unta lain. Orang tak berhasil mencarikan unta seperti "Askar". Agar jangan diketahui oleh Ummul Mukminin, bahwa unta yang akan dikendarainya adalah tetap unta "Askar", maka jilal-nya "Askar" diganti dengan jilal lain, tanpa sepengetahuan Sitti A.isyah r.a. Ummul Mukminin merasa puas dengan unta yang dikatakan bukan "Askar" itu.

Sementara itu Al-Asytar dari Madinah mengirim sepucuk surat kepada Sitti A.isyah r.a. Tulis Al- Asytar: "Ibu adalah isteri Rasul A.llah s.a.w. Beliau telah memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah. Jika Ibu menuruti perintah beliau, bagi Ibu itu lebib baik. Tetapi jika Ibu tetap tidak mau selain hendak memegang pentung, menanggalkan baju kerudung dan menampakkan kesucian diri di depan mata orang banyak, Ibu akan kami perangi, sampai kami dapat memulangkan Ibu kembali ke rumah, tempat yang sudah diridhoi Allah bagi Ibu." 
Sebagai jawaban atas surat Al-Asytar itu, Sitti Aisyah r.a. menulis: "Engkau adalah orang Arab pertama yang melancarkan fitnah, menganjurkan perpecahan dan membelakangi para Imam, yakni para Khalifah. Engkau mengerti bahwa dirimu tidak akan dapat melemahkan Allah. Engkau akan menerima pembalasan dari Allah atas perbuatanmu yang dzalim terhadap seorang Khalifah, yakni Utsman bin Affan. Suratmu sudah kuterima dan aku sudah memahami apa yang ada di dalamnya. Allah sajalah yang akan melindungi diriku dari perbuatanmu. Akan lumpuhlah semua orang yang sesat dan durhaka seperti engkau itu, insyaa Allah!"

Waktu perjalanan Sitti Aisyah r.a. sampai di Hau'ab, yaitu tempat sumber air kepunyaan Bani Amir Sha'sha'ah, ia digonggong banyak anjing, sampai unta yang dikendarainya lari kencang sukar dikendalikan. Waktu itu terdengarlah suara orang berteriak: "Hai, tahukah kalian, betapa banyaknya anjing di Hau'ab ini dan alangkah keras gonggongannya!"
Mendengar teriakan itu, Sitti Aisyah r.a. menarik tali kekang sekeras-kerasnya sambil berteriak kuat: "Itu anjing-anjing Hau'ab! Kembalikan aku! Aku mendengar sendiri Rasul Allah pernah mengatakan...," ia menyebut apa yang pernah dikatakan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Saat itu Sitti Aisyah mendengar suara orang lain mengatakan: "Pelan-pelan! Kita sudah melewati Hau'ab!"
"Apakah ada saksi yang membenarkan perkataanmu?" tanya Sitti Aisyah r.a. mengejar suara tadi.
Kemudian beberapa orang Badui yang menjadi pengawal meneriakkan sumpah, bahwa benarbenar tempat itu sudah bukan Hau'ab lagi. Oleh karena itu Sitti Aisyah r.a. lalu melanjutkan perjalanan.

Ketika Sitti Aisyah r.a. tiba di Harf Abi Musa, dekat Bashrah, penguasa daerah Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Imam Ali r.a., bernama Utsman bin Hanif, mengirim Abul Aswad Ad Dualiy guna menemui rombongan. Abul Aswad bertemu dengan Sitti Aisyah r.a. dan menanyakan maksud perjalanannya. Kepada Abul Aswad, Sitti Aisyah r.a. menjelaskan, bahwa ia datang untuk menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan. Menanggapi keterangan Sitti Aisyah r.a. itu, Abul Aswad mengatakan, bahwa di Bashrah tidak ada seorang pun yang ikut ambil bagian dalam peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan. Engkau benar, kata Sitti Aisyah r.a. menukas. Tetapi ada orang-orang yang bersama-sama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Aku datang untuk mengerahkan penduduk Bashrah supaya bangkit memerangi dia. Kalau kami bisa marah karena kalian dicambuk oleh Utsman, mengapa kami tak bisa marah terhadap mereka yang mengangkat pedang terhadap Utsman?
Menjawab pernyataan Sitti Aisyah r.a. tadi, Abul Aswad berkata: Ibu adalah wanita pingitan Rasul Allah s.a.w. Beliau memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah dan membaca Kitab Allah. Tidak ada kewajiban perang bagi wanita. Wanita juga tidak layak menuntut balas atas terbunuhnya seseorang. Bagi Utsman, Ali sebenarnya lebih baik dari pada Ibu. Ia lebih dekat hubungan silaturahminya, karena dua-duanya sama-sama putera keturunan Abdi Manaf.

Sitti Aisyah r.a. tak memperdulikan kata-kata Abul Aswad itu. Ia tetap menyatakan kebulatan tekadnya: Aku tidak akan pergi sebelum melaksanakan maksudku. Hai Abul Aswad, tanya Sitti Aisyah r.a., apakah engkau mengira akan ada orang di Bashrah ini yang hendak memerangi aku? Demi Allah, kata Abul Aswad, perang yang hendak Ibu cetuskan itu akan sangat hebat. Waktu Abul Aswad beranjak hendak meninggalkan tempat, datanglah Zubair bin Al-'Awwam. Kepadanya Abul Aswad berkata: "Hai Abu Abdullah --nama panggilan Zubair-- banyak orang yang menyaksikan, waktu Abu Bakar dahulu dibai'at sebagai Khalifah engkau mengangkat pedangmu sambil berkata: "Tidak ada orang yang lebih afdhal untuk memegang kepempimpinan ummat selain Ali bin Abi Thalib. Bagaimana keadaanmu sekarang dengan pernyataanmu itu?"
"Datanglah engkau menemui Thalhah dan dengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya!" kata Zubair, menanggapi pertanyaan Abul Aswad tadi.
Abul Aswad terus pergi menemui Thalhah. Dari dialog yang berlangsung antara dia dengan Thalhah, Abul Aswad mengetahui, bahwa Thalhah sudah bertekad bulat melancarkan pemberontakan bersenjata.
Waktu Sitti Aisyah r.a. mendengar, bahwa pasukan Imam Ali r.a. sudah tiba dekat Bashrah, dari jurusan lain, ia segera menulis surat kepada Zaid bin Shuhan Al-Abdiy: "Dari Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq, isteri Nabi s.a.w., kepada ananda yang setia Zaid bin Shuhan. Hendaknya engkau tetap tinggal di rumah. Cegahlah orang-orang jangan sampai membantu Ali. Kuharap dapat segera menerima kabar tentang yang kuinginkan darimu. Bagiku, engkau adalah seorang kerabat yang paling dapat dipercaya. Wassalam."

Menjawab surat Sitti Aisyah r.a. di atas, Zaid bin Shuhan menulis: "Dari Zaid bin Shuhan kepada Aisyah binti Abu Bakar. Sesungguhnya Allah telah memberi perintah kepada Ibu dan kepadaku. Ibu diperintahkan supaya tetap tinggal di rumah, dan aku diperintahkan supaya berjuang. Surat Ibu sudah kuterima. Ibu memerintahkan supaya aku menjalankan sesuatu yang berlainan dari pada apa yang diperintahkan Allah kepadaku. Aku akan berbuat seperti apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan hendaknya Ibu pun berbuat seperti yang diperintahkan Allah kepada Ibu. Perintah Ibu tidak dapat kupatuhi, dan surat Ibu tidak akan terjawab lagi. Wassalam." Menurut Abu Bikrah, ketika Asy Syi'biy menceritakan pengalamannya dalam perang "Jamal" (Unta) mengatakan, bahwa waktu Thalhah dan Zubair datang menjumpai Sitti Aisyah, kulihat semua perintah dan larangan berada di tangannya. Waktu itu aku segera teringat kepadasebuah hadits yang kudengar berasal dari Rasul Allah s.a.w. yang mengatakan: "Sesuatu kaum  tidak akan berhasil jika urusannya dipimpin oleh seorang wanita."
Teringat itu aku cepat-cepat menjauhkan diri. Dalam peperangan tersebut, unta yang bernama "Askar" (yang dikendarai Siti Aisyah r.a.) merupakan lambang satu-satunya bagi pasukan Thalhah.

Waktu pasukan Thalhah dan pasukan Imam Ali r.a. masing-masing telah siaga untuk bertempur, Sitti Aisyah r.a. mengucapkan pidato. Pidatonya juga ditujukan kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a.: "…Kita telah bertekad hendak menuntut balas atas kematian Utsman melalui jalan kekerasan. Ia adalah seorang Amirul Mukminin, tempat bernaung dan tempat berlindung yang terbaik. Bukankah dulu kalian minta kepadanya supaya ia bersedia memenuhi keinginan kalian? 
Hal itu sudah ia penuhi. Tetapi setelah kalian memandangnya sebagai orang yang suci bersih seperti baju yang baru dicuci, kemudian kalian memusuhinya. Lantas kalian berdosa dengan menumpahkan darahnya secara haram. Demi Allah, ia adalah orang yang jauh lebih bersih dan lebih bertaqwa kepada Allah dibanding kalian…!"
Hampir dalam waktu yang bersamaan, Imam Ali r.a. selaku Amirul Mukminin, juga mengucapkan pidato, sambil memberi instruksi-instruksi: "…Janganlah kalian memerangi mereka sebelum mereka menyerang lebih dulu. Alhamdulillah, kalian berada di atas hujjah (alasan) yang benar. Kalian harus berhenti memerangi mereka jika mereka mengajukan hujjah lain kepada kalian. Tetapi jika kalian terpaksa harus berperang, janganlah kalian menganiaya orang-orang yang luka parah.
"Jika kalian berhasil mengalahkan mereka, janganlah kalian mengejar mereka dengan cara-cara yang licik. Janganlah membuka hal-hal yang memalukan mereka dan janganlah sampai mencincang orang yang sudah tewas."
"Jika kalian tiba di tempat pemukiman mereka, janganlah kalian melanggar kesopanan, janganlah kalian memasuki rumah, janganlah kalian mengambil hak milik mereka walau sedikit, jangan sekali-sekali menggelisahkan dan mengganggu wanita, walau mereka itu mencaci-maki kalian atau mencerca pemimpin-pemimpin dan orang-orang shaleh yang ada di tengah-tengah kalian. Sebab mereka itu adalah manusia-manusia yang lemah jasmani, jiwa dan fikiran. Kitasemua telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya supaya membiarkan kaum wanita, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Jika sampai ada lelaki yang memukul mereka dengan tongkat atau dengan pelepah kurma, lelaki itu sungguh amat tercela dan akan menerima hukuman di kemudian hari…"
Sebelum salah satu fihak menyulut api peperangan, Ali bin Abi Thalib r.a. menulis sepucuk surat kepada Thalhah dan Zubair. Isinya sebagai berikut:
"Kalian maklum bahwa aku tidak pernah minta dibai'at oleh mereka, tetapi mereka sendirilah yang membai'at diriku. Kalian berdua termasuk orang-orang yang memilih dan membai'a't diriku. Orang tidak membai'at diriku untuk suatu kekuasaan istimewa. Jika kalian membai'atku karena terpaksa, aku mempunyai alasan untuk bertindak terhadap kalian, sebab kalian berpura-pura taat, tetapi sebenarnya menyembunyikan rasa permusuhan. Namun jika kalian membai'atku benar-benar karena taat, hendaklah kalian segera kembali ke jalan Allah."

"Hai Zubair, engkau dahulu adalah seorang pasukan berkuda Rasul Allah s.a.w. dan pembela beliau. Dan engkau hai Thalhah, engkau adalah salah seorang kami-tua kaum Muhajirin. Seandainya dulu kalian tidak mau membai'atku, itu akan lebih mudah bagi kalian untuk keluar dari bai'at yang sudah kalian ikrarkan sendiri.
"Kalian menuduh aku telah membunuh Utsman. Padahal aku, kalian dan penduduk Madinah semua mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Kalian menuduh aku melindungi para pembunuh Utsman. Padahal anak-anak Utsman sendiri semuanya menyatakan taat kepadaku dan mengadukan orang-orang yang membunuh ayah mereka kepadaku. Tetapi kalau ternyata Utsman memang mati terbunuh karena madzlum atau dzalim, misalnya, lantas kalian berdua mau apa?! Kalian berdua telah mengikrarkan bai'at kepadaku, tetapi sekarang kalian melakukan dua perbuatan yang amat tercela: menciderai bai'at kalian sendiri dan menghasut Ummul Mukminin hingga meninggalkan rumah."
Sedang kepada Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. mengirim sepucuk surat. Isinya antara lain:
"Bunda telah keluar meninggalkan rumah dengan perasaan marah demi Allah dan Rasul-Nya. Bunda menuntut suatu persoalan yang bukan menjadi urusan Bunda. Apa urusan kaum wanita dengan peperangan atau pertempuran? Bunda menuntut balas atas kematian Utsman, demi Allah, orang-orang yang menghadapkan Bunda kepada marabahaya serta menghasut Bunda supaya berbuat pelanggaran, jauh lebih besar dosanya terhadap diri Bunda dibanding dengan pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan. Aku tidak marah jika Bunda tidak marah, dan aku tidak membuat kegoncangan jika Bunda tidak membuat kegoncangan. Kuharap supaya Bunda tetap bertaqwa kepada Allah dan pulang kembali ke rumah Bunda."
Sebagai jawaban terhadap surat Imam Ali r.a., Thalhah dan Zubair menulis: "Engkau telah menempuh jalan seperti yang kau tempuh sepeninggal Utsman sekarang ini; dan engkau tidak akan kembali lagi selama engkau merasa perlu menempuh jalan yang sedang kautempuh. Jalankanlah apa yang menjadi kemauanmu. Engkau tidak akan merasa puas selama kami belum taat, dan kami tidak akan taat kepadamu untuk selama-lamanya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau perbuat."
Sedangkan Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a. hanya menulis jawaban singkat: "Persoalannya sudah jelas. Engkau tidak perlu menyalahkan lagi. Wassalam."


Sumber

Buku : Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh : H.M.H. Al Hamid Al Husaini

Share this article :

Post a Comment

 
TEMPLATE ASWAJA| Umar Bin Khattab - All Rights Reserved