Al-Mustakfi Billah, Abu Ar-Rabi’ Sulaiman bin Al-Mutawakkil.
Dia dibaiat sebagai khalifah (1446-1455 M) berdasarkan wasiat saudara
kandungnya, Al-Mu’tadhid Billah. Ayahnya menuliskan teks surat pengangkatan
dirinya sebagai berikut:
“Ini surat kesaksian yang saya tulis untuk jiwa bersih yang Allah jaga dan Allah lindungi dari berbagai kotoran. Pemuka dan junjungan kami, jiwa yang bersih dan suci, yang mengalir dalam dirinya sifat kepemimpinan dan kemuliaan, serta darah Bani Abbas dan kekerabatan dengan Rasulullah. Amirul Mukminin Al-Mu’tadhid Billah Abu Al-Fath Dawud, yang Allah kokohkan agama dengannya dia telah mewasiatkan agar khilafah ini dipegang oleh saudara kandungnya, junjungan kami Abu Ar-Rabi’ Sulaiman Al-Mustakfi Billah. Semoga Allah memberikan keagungan dalam dirinya dalam mengurusi kekhilafahan yang diagungkan ini.”
“Ini surat kesaksian yang saya tulis untuk jiwa bersih yang Allah jaga dan Allah lindungi dari berbagai kotoran. Pemuka dan junjungan kami, jiwa yang bersih dan suci, yang mengalir dalam dirinya sifat kepemimpinan dan kemuliaan, serta darah Bani Abbas dan kekerabatan dengan Rasulullah. Amirul Mukminin Al-Mu’tadhid Billah Abu Al-Fath Dawud, yang Allah kokohkan agama dengannya dia telah mewasiatkan agar khilafah ini dipegang oleh saudara kandungnya, junjungan kami Abu Ar-Rabi’ Sulaiman Al-Mustakfi Billah. Semoga Allah memberikan keagungan dalam dirinya dalam mengurusi kekhilafahan yang diagungkan ini.”
Al-Mu’tadhid
menjadikan saudaranya sebagai khalifah setelah dirinya menjadi imam kaum
Muslimin. Ini sebuah wasiat yang sah menurut syariat, yang resmi dan diridhai
sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban dirinya demi mewujudkan kemaslahatan
orang-orang yang mentauhidkan Allah. Juga sebagai usaha meneladani sunnah para
Khulafaur Rasyidin dan para imam yang mendapat petunjuk.
Ini semua dilakukan karena Al-Mu’tadhid mengetahui
tentang kebaikan agama, keluhuran akhlak, dan keadilannya. Al-Mustakfi memiliki
kemampuan yang memadai untuk memangku jabatan ini. Al-Mu’tadhid merasa yakin,
orang yang dia pilih adalah orang yang paling takwa di sisi Allah dan paling
berhak menerimanya.
Menurut
Al-Mu’tadhid, jika tidak menentukan pilihan, maka hal itu akan banyak merepotkan
ahlul halli wal aqdi dalam
menetapkan imam setelah dirinya. Dia segera berwasiat tentang khilafah ini agar
mereka terbebas dari beban, dan perkara ini sampai kepada orang yang benar-benar
berhak.
Khalifah Al-Mustakfi
adalah seorang khalifah Bani Abbas yang memiliki nilai-nilai kesalehan. Dia
sangat taat beragama dan dikenal sebagai ahli ibadah. Gemar membaca ayat Allah,
senantiasa mengerjakan shalat, serta sering bermunajat kepada Allah. “Saya tidak
pernah melihat Sulaiman sejak masa kecilnya melakukan dosa-dosa besar,” kata
Al-Mu’tadhid tentang perilaku saudaranya itu.
Menurut Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’, ayahnya memiliki posisi
terhormat, pandangannya dalam dan sangat dihormati. Mereka besar di lingkungan
dan di tengah kemuliaan akhlak dan perilaku. Keluarganya adalah keluarga yang
baik dalam ibadah dan muamalah. “Saya tidak pernah melihat sebuah keluarga
setelah keluarga Umar bin Abdul Azis yang memiliki nilai-nilai ibadah yang
demikian kokoh seperti keluarga khalifah ini,” tulis Suyuthi.
Al-Mustakfi wafat pada Jumat akhir Dzulhijjah 854 H
dalam usia 63 tahun. Sedangkan ayah Imam As-Suyuthi, meninggal 40 hari setelah
meninggalnya Khalifah Al-Mustakfi. Ketika dimakamkan, Sultan Azh-Zhahir (Jaqmaq)
mengiringinya ke pemakaman dan membawa keranda jenazah Khalifah.
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni